Secara kebetulan penulis sewaktu berpangkat mayor hingga mayor jenderal menangani urusan perpolitikan nasional di Staf Sospol ABRI, DPR, Dephankam dan Mabes TNI AD. Jadi, tidak terlalu sulit untuk membandingkan tata kelola negara saat itu dengan setelah reformasi, yang pada intinya berakibat pada sistem kenegaraan yang amburadul serta dampaknya pada hiruk-pikuk perpolitikan nasional, karena tidak ada rujukan yang logis, konsisten, dan apalagi sistemik.
Secara substansial, demokrasi Pancasila dalam arti sebuah sistem kenegaraan lengkap dengan tata kelolanya yang didasari keseluruhan nilai-nilai luhur Pancasila belum pernah dirumuskan oleh para pendiri bangsa kita dan juga generasi penerusnya. Kondisi ini membuat tak sedikit UU yang isinya tak sejalan atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
Maka, menjadi wajar kalau di umurnya yang ke-72 tahun, tata kehidupan bangsa dan negara dirasakan kian menjauh dari niat, tekad, dan cita-cita luhur yang mengantar berdirinya NKRI.
Pelajaran berharga
Orde Baru dengan komitmen untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, kemudian menyatukan bangsa dengan menempatkan komunisme dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai musuh bersama. Namun, dalam praktiknya, Orba justru menggunakan tool yang lazim diterapkan di negara komunis.
Di negara komunis rakyat dibelah menjadi dua, bagi yang berpolitik hanya ada satu partai, yaitu partai komunis. Rakyat yang tidak berpolitik diawasi oleh politbiro partai komunis. Dan, di negara komunis dikenal adanya lembagascreening ideologi dan politik yang juga diperankan oleh politbiro partai komunis.
Selama Orde Baru, rakyat juga dibelah menjadi dua. Bagi yang berpolitik hanya ada satu partai, yaitu partai Orde Baru dengan tiga nama, PPP, Golkar, dan PDI, dan ketiganya wajib dalam satu wadah, yaitu Orde Baru. Dalam Orde Baru juga dikenal lembaga screening ideologi dan politik yang diperankan oleh ABRI. Dan, dengan kewenangan yang sah, ABRI, dalam hal ini khususnya TNI AD, juga melakukan kontrol sosial terlebih terhadap rakyat yang kritis, tidak sejalan dan apalagi yang menentang Orde Baru.
Dan, masih banyak lagi peran penting lainnya yang membuat ABRI dengan konsep Dwi Fungsi-nya diperankan layaknya politbiro partai komunis dalam negara komunis, di samping tugas pokoknya di bidang hankam.
Namun kalau mau jujur, sesungguhnya ABRI pada masa Orde Baru hanyalah alat kekuasaan Pak Harto semata. Dan, itulah kehebatan Pak Harto yang mampu menjungkirbalikkan ilmu tata negara yang secara universal dianut lebih dari 200 negara. Secara tak sadar dalam hal tata kelola negara, para ahli kita dan masyarakat luas dikelabui hingga tidak bisa lagi membedakan salah dan benar, sebagaimana yang sering diungkap almarhum Gus Dur: "minyak babi diberi cap minyak zaitun menjadi halal".
Masih banyak lagi tata kelola kekuasaan negara di bidang politik, ekonomi, dan juga sosial lainnya yang menggunakan model dari ideologi lain, tetapi dicap Pancasila. Seperti dalam negara otoriter, UUD 1945 yang asli juga tak memilah atau memisah negara dan pemerintah sehingga kelemahan pemerintah otomatis sama dengan kelemahan negara.
Hasil amandemen juga belum mengatur pemisahan atau pemilahan termaksud. Dan, menjadi tambah semrawut ketika norma dasar demokrasi, yang menempatkan kepala negara sebagai lembaga tertinggi negara yang dilengkapi sejumlah hak prerogatif antara lain dalam menyelamatkan musibah kemanusiaan, juga belum diaturnya. Hal tersebut membuat rakyat Porong, Sidoarjo, sempat merasakan seolah tidak ada negara karena negara tidak hadir saat mereka tertimpa musibah kemanusiaan akibat kasus lumpur Lapindo.
Sistem presidensial kemudian begitu saja dicampur dengan sistem parlementer, tanpa menghitung dampak yang bakal ditimbulkan. Ketika presiden dipilih langsung melalui pemilu, DPR-nya bukan sebagai wakil rakyat, tapi wakil partai. Lantas, rumus dari mana asas check and balance akan bisa terwujud. Memang betul hasil amandemen telah mengatur keberadaan partai dan pemilu, tapi rumusan yang ada belum dikaitkan dengan pilihan sistem demokrasi. Padahal keberadaan partai ataupun pemilu dalam sistem parlementer jauh berbeda dan bahkan berseberangan dengan keberadaan partai ataupun pemilu dalam sistem presidensial.
Begitu pula struktur kenegaraan, semula sama persis dengan struktur negara komunis dalam hal ini eks Uni Soviet dengan tambahan satu lembaga tinggi negara versi konstitusi Hindia Belanda, yaitu DPA, kemudian diubah dengan mengganti Utusan Daerah/Utusan Golongan dengan DPD dan menghapus lembaga DPA. Namun, keberadaan DPD dan juga MPR tanpa kejelasan konsep politik yang hendak diwujudkan, padahal biaya politiknya harus ditanggung rakyat, setidaknya anggaran.
Dan masih banyak lagi kesemrawutan di bidang politik dan juga bidang lain yang akhirnya melahirkan praktik oligarki dan kartel kekuasaan dan ekonomi. Praktik-praktik mafia terjadi di semua aspek kehidupan, termasuk juga di jajaran lembaga peradilan. Belum lagi bobroknya moral sebagian elite bangsa dan rusaknya birokrasi pemerintahan yang ditandai dengan maraknya korupsi berjemaah.
Tata ulang demokrasi
Warisan belenggu dan pasungan realitas yang begitu kuat sebagaimana gambaran di atas, oleh Presiden Jokowi kini sedang didobrak. Dengan sekuat tenaga yang bengkok diluruskan, yang salah dibetulkan, dan yang merusak negara dihentikan. Dan agar kelak presiden berikutnya tidak kembali menerapkan cara-cara lama, kita perlu mendorong agar Presiden Jokowi bisa memberi warisan yang mulia kepada generasi penerus bangsa, berupa sistem kenegaraan yang betul-betul dilandasi nilai-nilai Pancasila, melalui amandemen UUD 1945 yang kelima.
Karena demokrasi adalah produk peradaban, ke depan sistem kenegaraan kita haruslah dilandasi nilai-nilai universal, termasuk ciri dan asas serta norma-norma dasar demokrasi yang kebenarannya telah dibuktikan di banyak negara. Bangsa ini juga harus punya ketegasan dalam menentukan pilihan demokrasi, apakah model presidensial, parlementer, atau sekalian campuran keduanya sebagaimana yang diterapkan sejumlah negara seperti Perancis dan Timor-Leste.
Dengan didasari nilai-nilai luhur Pancasila sebagai dasar negara, arsitektur sistem kenegaraan, termasuk eksistensi keberadaan seluruh lembaga demokrasi dan tata hubungannya, serta mekanisme politik yang ada perlu didesain ulang. Sebaliknya, nilai-nilai luhur Pancasila dan nilai-nilai lain yang tertuang dalam pembukaan harus dijabarkan dalam batang tubuh UUD.
Dengan demikian, nilai-nilai intrinsik yang terkandung di dalamnya secara sempurna dijelmakan menjadi nilai-nilai operasional yang tertuang dalam batang tubuh UUD 1945 sehingga jadi hukum positif yang mengikat semua pihak. Dan melalui amandemen kelima, ke depan tidak ada lagi nilai yang sumbernya dari impor begitu saja diadopsi dan kemudian diberi cap Pancasila tak peduli isinya bertentangan dengan semangat, jiwa, kearifan dan adat istiadat, serta budaya bangsa kita.
Dengan kata lain, ke depan sistem demokrasi kita sepenuhnya menggunakan cita rasa Indonesia. Sehingga dalam mengatur hak berserikat dan kebebasan menyampaikan pendapat, umpamanya, kita tidak perlu memilih model Amerika atau Jerman karena kita punya paham sendiri yang menempatkan kepentingan negara dan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan. Bagi kita, norma itu sama sekali tak merugikan kepentingan pribadi dan golongan yang mana pun karena keduanya melekat dalam kepentingan yang lebih besar, bangsa dan negara.
Sebagai masyarakat "arisan", gotong royong, komunal, syariah, dan apa pun sebutannya, maka dalam berdemokrasi kita tidak mungkin menerapkan norma mayoritas seperti yang dianut negara-negara demokrasi yang berbasis pada konsep nation state. Hal ini terkait realitas bahwa yang ada di kita baru sebatas keberadaan suku-suku bangsa, belum Indonesia sebagai bangsa.
Ke depan, nilai "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan" diwujudkan dalam bentuk proses musyawarah dalam pembikinan perundang-undangan, haruslah dilakukan oleh orang-orang ahli di bidangnya. Kita tak boleh lagi menyerahkan penyusunan hal-hal prinsip kenegaraan seperti UU dan apalagi UUD kepada mereka yang bukan ahlinya, tak terkecuali anggota DPR dan MPR sekalipun, meski untuk pengesahan tetap oleh lembaga demokrasi terkait, yaitu untuk UU oleh DPR dan untuk amandemen UUD oleh MPR.
Begitu pula terhadap produk perundang-undangan yang dihasilkan, ke depan bicara UUD ataupun UU bukanlah sekadar persoalan sah atau tidak sah secara yuridis formal, tapi amanat yang dikandungnya secara obyektif rasional harus dapat diuji kebenaran dan validitas keilmuannya. Dengan demikian, makna kedaulatan rakyat yang diatur dalam UUD tidak terganjal atau terdistorsi dan apalagi ternegasikan justru oleh UU turunannya. Karena ke depan, anak bangsa siapa pun ia tidak boleh jadi korban dan apalagi dizalimi oleh negara atas nama hukum, seperti yang banyak terjadi selama ini.
SAURIP KADI, MAYOR JENDERAL TNI (PURN)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul "Menuju Demokrasi Pancasila".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar