Menteri Luar Negeri Palestina Riyadh al-Maliki bersama Menlu Mesir Sameh Shoukry dan Menlu Jordania Ayman al-Safadi di Kairo, menyambut positif normalisasi itu. Al-Maliki mengatakan, Mesir mengemban wewenang dari Liga Arab untuk mewujudkan rekonsiliasi Palestina.
Riyadh meminta Hamas berperan mengakhiri perpecahan internal di Palestina, khususnya antara Hamas dan Fatah. Perpecahan Hamas-Fatah terjadi setelah Hamas mengambil alih kekuasaan di Jalur Gaza tahun 2007.
Hubungan Mesir dan Hamas memburuk sejak penggulingan presiden terpilih Mesir, Muhammad Mursi, tahun 2013 oleh militer. Presiden El-Sisi memandang Hamas bagian dari jaringan Ikhwanul Muslimin. Setelah itu, Mesir memblokade Jalur Gaza yang dikontrol Hamas.
Mesir dan Hamas berbeda ideologi, tetapi keduanya saling membutuhkan. Hamas butuh Mesir untuk membuka Jalur Gaza, pintu gerbang satu-satunya menuju dunia luar, tanpa melalui wilayah Israel. Mesir butuh Hamas untuk mencegah penyusupan senjata dan kelompok radikal dari Jalur Gaza ke Semenanjung Sinai utara.
Berkali-kali sayap NIIS menyerang Mesir setelah penggulingan Mursi. Kairo meyakini kelompok radikal itu masuk ke Mesir melalui Gaza. Kamis lalu, seorang aparat Hamas tewas akibat serangan bunuh diri seorang aktivis radikal yang ingin ke Mesir dari Gaza. Inilah bom bunuh diri pertama yang menewaskan militan Hamas.
Dalam beberapa bulan terakhir sebelum krisis Teluk yang ditandai pemutusan hubungan diplomatik empat negara Arab dengan Qatar, Mesir menerima banyak tamu, termasuk pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh. Dalam perundingan terakhir di Kairo, Hamas dan Mesir sepakat menciptakan daerah penyangga untuk mencegah kelompok radikal masuk lewat Gaza ke Mesir atau sebaliknya.
Normalisasi tersebut kian mengukuhkan peran Mesir di Timur Tengah yang terus menurun sejak Hosni Mubarak terguling tahun 2011. Kepemimpinan El-Sisi yang berasal dari militer menjadi penanda kebangkitan Mesir. Bersama Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Bahrain, Mesir memutus hubungan diplomatik dengan Qatar yang dituduh mendanai kelompok radikal, termasuk Hamas.
Apakah normalisasi hanya sekadar meminimalkan serangan terorisme yang melalui Jalur Gaza, atau perwujudan dari ambisi El-Sisi untuk menjadi pemain utama di Timur Tengah? Akankah kedekatan Mesir dan Hamas membuat hubungan Arab Saudi dan Mesir tegang?
Arab Saudi menganggap Hamas kelompok teroris yang didukung Qatar, sedangkan Mesir mengirim pasukan ke Yaman untuk membantu koalisi pimpinan Arab Saudi. Politik "dua kaki" Mesir ini dapat berdampak positif atau negatif bagi kepentingan nasionalnya dan peta politik kawasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar