Pernyataan senada pernah disampaikan Muhammadiyah, yang menegaskan posisi Indonesia sebagai negara perjanjian dan persaksian (daarul ahdi was syahadah) sebagai bentuk ikrar politik kebangsaan Muhammadiyah terhadap Indonesia.
Apa yang dilontarkan dua figur organisasi masyarakat yang jadi panutan jutaan warganya itu meniscayakan adanya pengakuan bahwa sesungguhnya Indonesia yang ditopang elemen dasarnya, yaitu Pancasila—meminjam istilah Buya Syafii Maarif (Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan)—berada dalam satu tarikan napas. Ia saling komplementer dengan ajaran agama apa pun, terutama Islam, yang tidak patut dipertentangkan lagi.
Dari sekian persaksian tentang pentingnya mengintegrasikan bangunan keindonesiaan dan keberagaman dalam mewujudkan nalar kebangsaan yang sublimatik, menjadi sine qua none bagi siapa pun untuk menaati dan mematuhi fondasi kebernegaraan: Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Oleh karena itu, ketika para ulama dan berbagai elemen warga lain yang terlibat dalam peneguhan semangat mencintai Tanah Air, sesungguhnya menjadi bagian ikrar kesetiaan kepada Indonesia yang patut kita teladani untuk berjanji menjunjung tinggi dan mewarisi hasil kesepakatan para ulama, pahlawan, dan para pendiri bangsa ketika membentuk NKRI.
Perikatan yang agung
Dalam kaitan ini, suri teladan yang ditunjukkan para ulama, tokoh masyarakat, dan warga kebanyakan yang selama ini selalu komitmen dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi oase di tengah hiruk pikuk sebagian kelompok yang masih ingin mengingkari kesepakatan para pendahulu dan pendiri negara ini.
Sekian seremoni dan ritus kebangsaan yang diselenggarakan di berbagai momentum dapat dipahami sebagai bentuk recharging memori kebangsaan agar perjuangan masa lalu tidak berhenti sebagai romantisisme dan kegetiran sejarah. Setidaknya, dengan seremoni tersebut, kita selalu berupaya untuk jangan sekali-kali menghilangkan jasa ulama (Jas Hijau) dan jangan sekali-kali melupakan sejarah (Jas Merah) yang berperan penting bagi lahirnya republik ini.
Dalam recharging ini, kita akan selalu diingatkan oleh perikatan yang agung (Mitsaqon ghalidzon), yang menjadi landasan kontraktual bagi setiap orang yang mengikrarkan diri sebagai penduduk Indonesia. Perikatan tersebut mengacu pada konsiderans utama bernama Pancasila.
Di samping itu, seremoni tahunan yang kita rayakan untuk mengenang lahirnya kemerdekaan Indonesia, setiap 17 Agustus, juga turut serta dalam membingkai kesadaran luhur kita agar perjalanan negara ini yang memasuki usia ke-72 tidak disia-siakan. Ibarat dunia pernikahan, keberadaan hubungan kita dengan Indonesia harus selalu terlibat dalam keintiman yang mesra dalam merejuvenasi rasa cinta agar hubungan kita dengan Indonesia selalu menjadisakinah, mawaddah, wa rahmah.
Dalam konteks kebangsaan, termasakinah menandakan adanya pengakuan bahwa sudah seharusnya kita menjadi warga yang menjunjung tinggi suasana yang nyaman, damai, dan bangga dengan Indonesia. Tak sepatutnya kita terlibat dalam berbagai aksi negatif yang berpotensi sebagai pengguncang sendi-sendi kebangsaan. Jika kita selalu berkomitmen memperjuangkan Indonesia sebagai negara yang sakinah, kita perlu melakukan pengasahan dan peneguhan secara terus-menerus untuk menciptakan mawaddah (rasa pengharapan) agar negara ini diberkahi dan dilindungi Tuhan dari segala mara bahaya.
Kuncinya terletak pada diri kita untuk menunjukkan integritas kita sebagai bangsa yang ingin memajukan negara ini. Dengan begitu, dampak dari adanyamawaddah tersebut, kita akan selalu mengangeni Indonesia sebagai negara yang sakinah.
Implikasinya, pada gilirannya nilai-nilairahmah (kasih sayang) akan selalu terbalut dalam pikiran, perasaan, sikap, dan tindakan kita. Dalam kaitan ini, rahmah adalah puncak rasa memiliki terhadap negara ini, di mana dalam suasana tersebut di antara kita akan selalu menjaga negara ini dari segala bentuk ancaman, seperti terorisme, radikalisme, ekstremisme, korupsi, dan lain sebagainya yang bisa merusak marwah keindonesiaan kita.
Jika psikografi kebangsaan sakinah,mawaddah, wa rahmah kita pancangkan dalam kehidupan bernegara kita, yang ada dalam benak kita adalah membangun kesadaran untuk mengedepankan kepentingan bersama. Dalam konteks ini, ketika perikatan agung ini bisa kita internalisasi dan dimanifestasikan dalam karakter kebangsaan kita, kita tidak segan larut dalam semangat perjanjian untuk setia pada Pancasila dan cinta pada Tanah Air.
Kepentingan bersama
Secara sosiologis, terbentuknya semangat perjanjian yang diikrarkan setiap warganya, merujuk pada pandangan JJ Rousseau dalam Social Contract, adalah untuk menciptakan kepentingan bersama. Setidaknya, ketika negara ini sudah diwujudkan dan dirumuskan berdasarkan Pancasila, sesungguhnya untuk menghindari dan bahkan menegasi salah satu kecenderungan antar-perorangan yang masih ingin menggunakan pandangan dan ideologinya secara parokial dan sepihak dalam bernegara.
Oleh karena itu, salah satu tugas kita adalah bagaimana merendahkan egosentrisme kita yang selama ini dibalut aneka latar belakang keyakinan agama, suku, ras, dan lainnya serta meleburkannya dalam ikrar kebangsaan yang dibentuk dalam rangka kepentingan bersama.
Sebagai bangsa yang selama 72 tahun sudah dibesarkan oleh Indonesia, ada baiknya kita mengedepankan kedewasaan berpikir dan kearifan sikap demi kepentingan bersama sebagaimana pernah ditunjukkan KH Wahid Hasyim dan para pendiri bangsa yang beragama Islam. Di mana, pada 18 Agustus 1945, berlangsung perundingan perihal kesediaan mereka menghapus tujuh kata dalam sila pertama Pancasila yang berbunyi "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya". Tindakan itu dilakukan demi memenuhi permintaan rakyat Indonesia dari wilayah timur dan terjalinnya semangat kebangsaan di bawah naungan Indonesia.
Dalam laku serupa, kearifan sikap demi menjunjung kepentingan bersama juga pernah ditunjukkan Nabi Muhammad dalam perjanjian Hudaibiyah yang melibatkan kaum Quraisy Mekkah. Ketika kedua belah pihak terlibat dalam perundingan, pihak Quraisy mengajukan permohonan penghapusan tujuh kata dalam isi perjanjian yang berisi "bi, ismi, Allah, Ar-Rahman, Ar-rahim, Rasul, dan Allah" dan lebih mengedepankan nama Muhammad bin Abdullah (Quraish Shihab, Sirah Nabawiyah)
Apa yang dilakukan Nabi Muhammad dengan mengorbankan egosentrisme identitas dirinya dan kekuatan massa, yang saat itu jumlah umat Islam sudah mencapai ribuan, kemudian menerima permintaan kaum Quraisy—yang sebenarnya saat itu jumlahnya lebih kecil—adalah agar tercipta kepentingan bersama. Di antara kepentingan bersama yang diinginkan Nabi adalah agar umat Islam yang hendak melaksanakan ibadah haji tidak diganggu kaum Quraisy dan agar keberadaan umat Islam di Madinah diakui kaum Quraisy Mekkah.
Dalam kaitan ini, apa yang dilakukan Nabi Muhammad dan para pendiri republik ini yang sudah mewariskan sebuah keteladanan dalam memperlakukan laku kepentingan bersama dalam kehidupan kiranya menjadi contoh bagaimana kepentingan bersama harus ditegakkan dalam situasi apa pun. Sebab, hanya dengan menyadari pentingnya kepentingan bersama tersebut jalan keluar akan bisa ditemukan dan setiap masalah yang sering kali menjebak pikiran kita akan terurai dengan mudah.
Semoga, perayaan ke-72 kemerdekaan memberikan pelajaran berharga bagi kita untuk setia kepada Indonesia dan berikrar menjalankan janji suci sebagai bangsa yang cinta terhadap Tanah Air dan komitmen menegakkan fondasi kebernegaraan: Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.
FATHORRAHMAN GHUFRON,
WAKIL KATIB SYURIYAH PWNU; DOSEN FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SUNAN KALIJAGA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul "Negara Perjanjian".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar