Kata safe house dalam Agustus ini beberapa kali terdengar di televisi, digunakan dalam selisih pendapat antara tim panel Angket DPR dan KPK.
Dari tayangan televisi, kita tahu bahwasafe house adalah rumah atau ruang dalam rumah tempat saksi suatu perkara pelanggaran hukum/kejahatan "disinggahkan" (tinggal) sementara untuk kepentingan pengadilan. Dalam safe house, seorang saksi dapat terjaga dari pengaruh luar yang bisa mengganggudue process of law .
Hanya saja, dua kata dalam bahasa Inggris itu bukanlah sebutan yang benar untuk rumah seorang saksi dijaga dari pengaruh luar. Oxford Advanced Learner's Dictionary memuat jejar safe house sebagai "house used by criminals, secret agents, etc, where somebody can be kept without being discovered or disturbed" (tidak diterangkan sebagai tempat aparat hukum melindungi saksi). Media Barat dalam bahasa Inggris biasanya mengartikan safe house sebagai tempat penjahat mencari perlindungan.
Karena itu, barangkali sebutan safe house untuk tempat/rumah aparat hukum (KPK) memberi perlindungan atas saksi rasanya tidak mengena dan tentu juga rumah aman sebagai terjemahannya karena mempunyai konotasi yang sama. Kalau memang diperlukan sebutan resminya, tentu banyak pilihan sebutan yang lebih sesuai dengan tujuannya untuk melindungi saksi.
Misalnya, rumah singgah peradilan, suatu konstruksi yang diperlukan sebagai konsekuensi dari tugas untuk melindungi saksi. Jadi, kerahasiaannya perlu dijaga bersama.
Banyak konstruksi dalam kosakata berbagai bahasa menggunakan penghalus, eufemisme. Tentang keluh kesah seorang saksi atas kondisi di kamarsafe house bisa dimengerti karena barangkali biasanya di rumahnya serba enak, nyaman, dan bersih. Sekarang serba kurang dari semestinya.
SOEGIO SOSROSOEMARTO, JALAN KEPODANG, BINTARO JAYA, TANGERANG SELATAN
Ganjil Genap Jalan Tol
Wacana penerapan nomor polisi kendaraan ganjil genap di jalan tol menimbulkan pro kontra. Mungkin benar jalan pikirnya: apabila jalan tol telah sangat padat, melebihi kapasitas, sudah seharusnya masuknya kendaraan dibatasi. Namun, penerapan ganjil genap akan menimbulkan banyak masalah dari segi teknis ataupun penegakan hukum.
Dapat dibayangkan, akan banyak mobil yang ditilang karena melanggar peraturan, baik karena kealpaan akan tanggal dan waktu maupun karena ketidaktahuan (misalnya kendaraan yang datang dari luar kota).
Akan lebih sederhana apabila dilakukan penutupan pintu masuk tol di tempat-tempat tertentu pada jam tertentu sehingga akan membatasi kendaraan yang masuk ke jalan tol yang memang sudah sangat padat. Penutupan seperti ini dapat dibenarkan karena apabila kendaraan dibiarkan tetap masuk, yang dirugikan adalah kendaraan itu sendiri karena sudah membayar tiket tol, tetapi menemui kemacetan.
Penutupan ini harus disosialisasikan jauh hari sebelumnya untuk memberi kesempatan kepada mereka yang biasa melewati pintu tol tersebut mencari alternatif. Bisa dengan menggunakan pengangkut umum, melalui jalan alternatif, atau mengubah waktu kepergian. Dengan cara ini, pengelola jalan tol dapat dengan fleksibel menetapkan waktu untuk penutupan pintu masuk tol.
DHARMA K WIDYA, JALAN TANAH TINGGI RT 015 RW 002 JAKARTA PUSAT
Galian Lagi
Sudah lama saya memendam keheranan dan kejengkelan yang sama dengan beberapa kawan. Sampai beberapa hari lalu seorang kawan menulis di Facebook: "Sudah sejak tahun 1990 tinggal di Cinere, kayaknya setiap saat selalu ada galian."
Bisa galian apa saja. Listrik, telepon, entah apa lagi. "Bagaimana koordinasinya?" gugat warga. Namun, justru koordinasi menjadi kambing hitam.
Apakah tidak ada solusi yang lebih "pintar" sedikit sesuai dengan jargon yang dipakai salah satu perusahaan yang memiliki jaringan itu? Misalnya, membuat sistem ducting. Dalam bayangan saya, ada semacam saluran khusus untuk berbagai utilitas berbentuk tetap, berukuran tertentu, terbuat dari besi beton atau lainnya, dilengkapi dengan lubang kontrol.
Dengan saluran tetap begitu, siapa pun atau instansi mana pun dapat menggunakan saluran tanpa perlu menggali-gali lagi sehingga tidak bikin rugi masyarakat (toko mesti tutup, jalan macet, dan kecelakaan).
IGNATIUS WIDYANANDA, LIMO, DEPOK
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar