Dalam tahun ketiga pelaksanaannya, nilai defisit yang terjadi tidak menyurut jumlahnya, tetapi cenderung meningkat jauh lebih besar. Agar penyelenggaraan program JKN bisa terjaga kelangsungannya, apalagi dalam kondisi fiskal yang masih terbatas kapasitasnya untuk menyerap risiko yang muncul akibat terjadinya ketidakpastian (uncertainty) dalam pendanaan program JKN, maka kondisi ini harus sesegera mungkin dievaluasi secara lebih komprehensif dan akurat.
Setidaknya terdapat dua variabel utama yang harus segera dan sangat menentukan untuk segera ditindaklanjuti. Perluasan kelompok peserta yang mempunyai tingkat kesehatan yang lebih baik sekaligus punya kemampuan untuk membayar iuran dalam jangka panjang, khususnya kelompok peserta penerima upah badan usaha (PPU-BU), merupakan sasaran utama yang harus segera dicapai dalam jangka waktu dekat dan menengah. Hal ini akan menjadikan struktur kepesertaan menjadi lebih baik dalam menopang keberlangsungan program JKN. Pencapaian sasaran peserta yang mencakup seluruh penduduk Indonesia (universal health coverage/ UHC) yang tanpa didahului dengan tahapan ini ditengarai akan menimbulkan risiko defisit yang semakin fantastis. Langkah strategis lain yang juga harus segera dilakukan adalah evaluasi terhadap sistem pembiayaan program JKN.
Pembiayaan program JKN selama ini digunakan pada sistem kapitasi bagi fasilitas-fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP), seperti halnya puskesmas, klinik bersama, dan praktik dokter perorangan. Berdasarkan sistem ini, keseluruhan peserta JKN dibagi habis ke dalam FKTP-FKTP sesuai dengan pilihan peserta karena faktor kedekatan dengan tempat tinggal ataupun tempat bekerjanya. Sementara untuk perawatan dan pengobatan di fasilitas-fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (FKTL) di rumah sakit-rumah sakit, baik untuk rawat jalan maupun rawat inap, diberlakukan sistem INA-CBG, yakni pembayaran dilakukan secara paket sesuai dengan rata-rata biaya yang diperlukan dalam suatu kelompok diagnosis.
Dalam pelaksanaannya terdapat banyak permasalahan terkait dengan sistem kapitasi dan INA-CBG. Permasalahan mendasar yang mengemuka dalam implementasi sistem kapitasi-dan banyak dijumpai di sejumlah daerah-adalah terjadinya penumpukan kepesertaan di FKTP tertentu, masih cukup tingginya tingkat rujukan ke FKTL, masih sangat rendahnya tingkat rujuk balik dari FKTL ke FKTP, serta adanya kesenjangan antara kemampuan teknis dokter-dokter di FKTP dibandingkan dengan tuntutannya. Pada sisi lain, pembiayaan rawat jalan ataupun rawat inap di FKTL yang didasarkan pada sistem INA-CBG menimbulkan permasalahan yang jauh lebih kompleks dan kait-mengait serta mempunyai konsekuensi biaya yang sangat besar.
Pembiayaan FKTP
Pada dasarnya pelaksanaan program JKN diharapkan dapat ditopang oleh sistem perawatan kesehatan dan pengobatan pada FKTP. Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2014, setiap FKTP wajib menguasai 155 diagnosis non-spesialistik. Dengan demikian, perawatan ataupun pengobatan lanjutan di FKTL hanya ditujukan kepada para peserta yang benar-benar tidak dapat ditangani oleh FKTP. Dalam kondisi seperti ini, pemberlakuan sistem kapitasi menjadi strategi yang sangat efektif bagi BPJS Kesehatan untuk mengendalikan pembiayaan kesehatan kepada para pesertanya.
Dalam implementasinya, FKTP belum sepenuhnya dapat dijadikan sebagai penopang utama program JKN sehingga terjadi tingkat rujukan yang cukup tinggi dari FKTP untuk diteruskan pengobatannya ke FKTL. Hal ini pada umumnya disebabkan faktor-faktor nonteknis medis.
Banyak peserta yang belum sepenuhnya memahami konsep perawatan kesehatan program JKN. Adanya anggapan bahwa pengobatan di FKTL lebih memberikan harapan cepat sembuh menyebabkan para peserta program JKN datang ke FKTP hanya untuk mendapatkan surat pengantar FKTL. Di beberapa daerah di luar Jawa bahkan banyak di antaranya yang datang langsung ke FKTL, baru kemudian meminta surat rujukan dari FKTP-nya.
Kondisi sebaliknya juga terjadi saat peserta JKN yang sudah memperoleh perawatan lanjutan tidak dirujuk balik ke FKTP-nya dan tetap "dipelihara" oleh FKTL. Hal ini tentunya tak bisa diteruskan karena akan menyebabkan terjadinya duplikasi pembiayaan oleh BPJS Kesehatan. Selain itu, tingkat rujukan yang cukup tinggi juga dipengaruhi oleh adanya kesenjangan antara tuntutan untuk memenuhi 155 diagnosis non-spesialistik dan kemampuan FKTP yang bahkan masih lebih rendah daripada ketentuan KKI (Konsil Kedokteran Indonesia) yang hanya mencakup 144 diagnosis yang tergolong level 4A.
Permasalahan mendasar lain, yang secara langsung ataupun tidak langsung menjadi penyebab belum terlaksananya sistem kapitasi sebagaimana yang diharapkan, adalah adanya penyebaran dan pendistribusian peserta JKN yang tidak merata dan tidak proporsional. Di banyak daerah terjadi penumpukan kepesertaan pada suatu FKTP tertentu sehingga selain menimbulkan masalah kualitas pelayanan juga masalah inefisiensi dan inefektivitas pembiayaan.
Penumpukan kepesertaan JKN yang sangat mencolok bisa dijumpai di beberapa puskesmas yang berada di wilayah DKI Jakarta dan daerah penyangganya. Pada satu sisi, tingkat utilisasi pemanfaatan-atau rasio antara jumlah kunjungan peserta dibandingkan dengan jumlah peserta yang dicakup-kondisinya cukup rendah. Pada sisi lain, tingkat rujukan dari FKTP ke FKTL, baik untuk rawat jalan maupun rawat inap, cukup besar persentasenya. Kalaupun diupayakan peningkatan utilisasi FKTP tersebut, juga menjadi pertanyaan bagaimana kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan dengan sarana, prasarana, dan jumlah dokter yang juga terbatas. Guna mengatasi ketidakseimbangan tersebut, pemberian kewenangan kepada BPJS Kesehatan untuk melakukan redistribusi kepesertaan secara kesisteman, dan dengan menutup celah terjadinya penyalahgunaan, selain dapat memperbaiki kualitas pelayanan, juga dapat dijadikan sebagai sarana meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembiayaan program JKN.
Walaupun saat ini BPJS Kesehatan telah melakukan modifikasi terhadap sistem kapitasi yang dikaitkan dengan kinerja FKTP (performance based capitation) dan telah berhasil menekan besaran pembiayaan berdasarkan sistem kapitasi, tetapi secara keseluruhan belum cukup signifikan untuk membantu pengurangan defisit. Oleh karena itu, program penguatan FKTP dan edukasi kepada para peserta untuk lebih mengoptimalkan pemanfaatan FKTP perlu segera dilakukan secara lebih masif.
Selain itu, sudah saatnya dilakukan pembahasan yang lebih intens terhadap alternatif sistem pembiayaan lain, seperti halnya free for service (FFS) atau sistem kombinasi lain yang lebih efisien dan efektif. Hal ini tentunya harus terlebih dahulu diketahui dengan akurat bagaimana tingkat morbiditas atau angka kesakitan dan pola penyakit yang sebenarnya sehingga dapat diprediksi dengan lebih akurat nilai pembiayaan program JKN. Faktor kesejahteraan para dokter, tenaga kesehatan, dan tenaga pendukung lain juga perlu dijadikan sebagai bahan pertimbangan.
Pembiayaan FKTL
Prinsip dasar dalam penyelenggaraan program JKN yang didasarkan pada pemanfaatan FKTP seoptimal mungkin belum dapat terlaksana karena pada kenyataannya justru bergeser pada sangat besarnya peran FKTL. Sebagaimana tecermin dari besaran pembiayaan kesehatan oleh BPJS Kesehatan pada 2016, sebesar Rp 79,1 triliun, hanya 15 persen saja yang digunakan untuk membiayai pengobatan dan perawatan peserta di FKTP. Sebagian besar lain justru digunakan untuk membiayai rawat jalan ataupun rawat inap di FKTL, khususnya untuk perawatan tingkat lanjutan.
Pembiayaan rawat jalan dan rawat inap di FKTL yang didasarkan pada sistem INA-CBG selama ini masih menimbulkan banyak permasalahan yang sangat mendasar dan seharusnya tidak perlu terjadi. Sebutlah seperti adanya beragam pembedaan perlakuan dari FKTL kepada para peserta JKN, masih adanya keharusan bagi peserta untuk mengeluarkan biaya tambahan (out of pocket), pembatasan jumlah hari rawat inap sebelum masanya untuk kemudian diminta dirawat kembali, sampai pada beban yang sangat berat bagi BPJS Kesehatan untuk melakukan verifikasi terhadap hasil pemeriksaan dokter. Selain itu, keterbatasan jumlah FKTL, terutama di luar kota-kota besar, juga menjadi kendala yang sangat berat dan menjadikan FKTL yang ada harus dapat dimanfaatkan, bagaimana dan apa pun kondisinya, mengingat ketiadaan alternatif lain.
Mengingat dampak keuangan yang sangat besar dan pengaruh pada citra publik yang sangat kuat, implementasi sistem pembiayaan FKTL harus segera dievaluasi secara komprehensif. Tanpa upaya yang serius dan terkoordinasi di antara semua pemangku kepentingan, pelaksanaan program JKN akan terus diwarnai permasalahan defisit yang tidak berkesudahan.
TAUFIK HIDAYAT
Anggota DJSN dan Dosen Program Magister Manajemen Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar