Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 24 Agustus 2017

TAJUK RENCANA: Keadilan Kembali Tercoreng (Kompas)

Penangkapan panitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Tarmizi, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi kian mencoreng wajah peradilan.

Tarmizi ditangkap KPK, Senin (21/8), karena diduga menerima suap Rp 400 juta dari Akhmadi Zaini, pengacara PT Aquamarine Divindo Inspection (ADI). Penyuapan itu diduga terkait perkara perdata, PT ADI digugat membayar ganti rugi 7,6 juta dollar Amerika Serikat dan 131.000 dollar Singapura oleh Eastern Jason Fabrication Services (EJFS) sejak Oktober 2016. Tarmizi diharapkan bisa memengaruhi putusan majelis hakim.

KPK belum menemukan hubungan antara Tarmizi dan majelis hakim yang menangani perkara itu. Namun, penangkapan itu kian menegaskan bahwa peradilan di negeri ini rentan penyimpangan, khususnya penyuapan, yang dapat memengaruhi putusan. Putusan pengadilan yang dipengaruhi suap pasti mengusik rasa keadilan.

Tarmizi bukan panitera pertama yang tertangkap terkait kasus penyuapan atau korupsi. Selama empat tahun terakhir, sesuai data Kompas, setidaknya lima panitera di pengadilan negeri di Jakarta, Bandung, dan Medan tertangkap, serta sebagian sudah diadili dan dihukum, karena terbukti menerima suap. Selain panitera, sejumlah hakim, pengacara, polisi, dan jaksa yang terkait sistem peradilan juga ditangkap dan diadili gara-gara suap.

Bisa dipastikan, penyuapan itu adalah untuk memengaruhi proses peradilan. Rasa keadilan di masyarakat dipermainkan. Padahal, dalam banyak kejadian, sekalipun penanganan perkara itu diwarnai penyuapan dan beragam tekanan, keadilan pasti akan menemukan jalannya sendiri untuk muncul di masyarakat.

Mahkamah Agung sebagai puncak lembaga peradilan sudah melakukan berbagai upaya untuk menekan penyimpangan dalam proses pencarian keadilan melalui pengadilan. Ini terlihat dari hasil Survei Global Corruption Barometer 2017, yang disusun Transparency International Indonesia (TII), yang menempatkan pengadilan bukan lagi sebagai lima lembaga terkorup di negeri ini. Pengadilan berada di urutan keenam, dengan nilai 32, di bawah DPR, birokrasi, DPRD, polisi, dan kementerian.

Panitera berada di garis depan, jika ingin melakukan penyimpangan, karena mereka yang mencatat jalannya persidangan dan mengelola perkara sehingga bisa memengaruhi hakim dalam membuat putusan.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah menjelaskan, komisi antirasuah itu hingga awal Januari 2017 menangani 43 hakim dan staf pengadilan yang terlibat korupsi, serta sebagian besar terkait penyuapan. Padahal, pepatah Latin, abite nummi, ego vos mergam, ne mergar a vobis (pergilah wahai uang, saya akan menenggelamkan kamu sehingga kamu tak bisa menenggelamkan saya), mengingatkan, suap bisa menenggelamkan kehormatan seorang manusia.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Keadilan Kembali Tercoreng".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger