Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 24 Agustus 2017

ARTIKEL OPIN: Kerugian Investasi, OJK, dan Keuangan Berkelanjutan (POPPY ISMALINA)

Konflik antara investor, penduduk lokal, dan kemudian melibatkan intervensi pemerintah, baik pusat maupun daerah (provinsi atau kabupaten/kota), sering terjadi di Indonesia.

Alasan paling sering muncul adalah investasi tersebut mengganggu ketenangan masyarakat atau kelestarian alam, bahkan berpotensi merusak ekosistem alam tempat rencana pembangunan itu akan dijalankan. Kasus pembangunan pabrik semen di Rembang, misalnya, membuktikan bahwa rencana investasi yang berpotensi merusak lingkungan akan melahirkan biaya politik dan ekonomi tinggi.

Biaya oportunitas realisasi investasi tersebut menjadimahal karena realisasi rencana investasi sudah separuh jalan di tengah konflik dengan penduduk lokal. Belum lagi jika kita menimbang produktivitas petani lokal menjadi menurun drastis karena harus terus-menerus melakukan perlawanan demi menjamin keberlangsungan hidup ekosistem Pegunungan Kendeng.

Pertanyaannya, bagaimana peran negara di dalam mencegah kasus seperti investasi semen di Rembang dapat terjadi?

Dengan adanya PP No 27/2012, Indonesia telah memiliki instrumen regulasi tentang izin lingkungan bagi setiap industri. Setiap industri wajib membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup (amdal) atau upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan (UKL/UPL) untuk mendapatkan izin lingkungan dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Sudah banyak analisis kritis terkait penerapan dan penegakan hukum dari PP tersebut dan memberikan masukan kepada pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tetapi nyatanya masih banyak kasus seperti kasus investasi semen di Rembang. Karena itu, harus ada perangkat regulasi lain yang mendampingi PP tersebut untuk mendiversifikasi cara intervensi negara dalam isu ini.

Dalam siklus aktivitas ekonomi/produksi, selain adanya interaksi produsen (perusahaan) dan konsumen, ada interaksi lain, yaitu produsen/perusahaan dan penyedia modal/investor. Investor dapat berhubungan langsung dengan perusahaan untuk memberikan modal usaha. Ada pula yang menggunakan lembaga perantara, yaitu lembaga-lembaga keuangan atau institusi jasa keuangan. Institusi jasa keuangan melakukan diversifikasi produk untuk memperluas jangkauan investor yang bersedia menyimpan uangnya di institusinya (kreditor) untuk disalurkan kepada para peminjam (debitor) untuk kepentingan usahanya.

Peran jasa keuangan

Dalam sejarah diversifikasi produk dari lembaga keuangan/perbankan di dunia, institusi tersebut memiliki peran strategis dalam mencegah kerusakan lingkungan akibat aktivitas ekonomi/bisnis melalui penyediaan produkhijau ataupun melakukan pembiayaan bagi aktivitas ekonomi hijau. Aksi itu dapat dilakukan sukarela ataupun implikasi dari adanya peraturan yang ditetapkan negara tempat mereka beroperasi.

Negara dapat secara efektif memiliki peran dalam institusi jasa keuangan mendorong praktik bisnis berkelanjutan. Di negara-negara sedang berkembang, China, Nigeria, dan Banglades adalah negara yang aktif mendorong peran institusi jasa keuangan untuk berinovasi produk-produk/investasi berkelanjutan.

Di negara "Tirai Bambu", mereka melalui Bank Sentral China (People Bank of China) mengembangkan kebijakan Kredit Hijau. Kebijakan ini kerja sama tingkat tinggi antara Kementerian Lingkungan Hidup, China Banking Regulatory Commission,dan People's Bank of China (PBOC, Bank Sentral China). Nigeria tidak ketinggalan dari China. Bank Sentral Nigeria pada 12 September 2012 mengeluarkan edaran berisi instruksi tentang implementasi prinsip bank berkelanjutan untuk lembaga keuangan.

Sementara itu, Banglades memulai proses adopsi konsep lembaga keuangan yang berkelanjutan pada 2011 saat bank sentral negara tersebut mengeluarkan petunjuk teknis tentang bank berkelanjutan.

Di Indonesia, sesuai UU No 21/2011, lembaga yang memiliki kewenangan mengawasi dan mengatur institusi jasa keuangan dalam mewujudkan perekonomian nasional yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Salah satu langkah OJK dalam menjawab amanah UU tersebut, pada l 5 Desember 2015, OJK menerbitkan Peta Jalan Keuangan Berkelanjutan yang mencakuprencana jangka menengahdan jangkapanjang untuk pengembangan pembiayaan yang mendukung pembangunan berkelanjutan.

Sebagai kelanjutan dari peta jalan tersebut, akhir Juli 2017 OJK mengeluarkan peraturan tentang keuangan berkelanjutan atau disebut POJK Keuangan Berkelanjutan. Aturan ini merupakan aturan yang lebih rinci dan mengikat di dalam mendorong pelaksanaan keuangan berkelanjutan di Indonesia. POJK Keuangan Berkelanjutan mengamanatkan OJK untuk mengawasi dan mengatur institusi jasa keuangan dalam menerapkan keuangan berkelanjutan dalam aktivitas bisnisnya.

Tugas OJK dalam kaitan ini adalah bagaimana OJK dapat mengawasi pelaku sektor jasa keuangan agar tidak menyediakan produk ataupun pembiayaan pada aktivitas bisnis yang tidak mendukung pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan peningkatan kualitas lingkungan. Pesan inti dari definisi keuangan berkelanjutan di dalam POJK tersebut adalah dukungan institusi jasa keuangan terhadap penciptaan pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan peningkatan kualitas lingkungan hidup.

Lahirnya POJK adalah angin segar bagi implementasi pembangunan berkelanjutan di Indonesia dan tentu upaya pencapaian target SDGs di Indonesia. Dalam implementasi POJK tersebut, OJK akan bekerja keras mendorong lembaga keuangan/perbankan memberikan layanan keuangan yang menyelaraskan kriteria lingkungan, sosial, dan ekonomi ke dalam analisis risiko penyediaannya.

POPPY ISMALINA, EKONOM LINGKUNGAN, ENERGI, DAN SUMBER DAYA ALAM PADA FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS UNIVERSITAS GADJAH MADA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul "Kerugian Investasi, OJK, dan Keuangan Berkelanjutan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger