Ini sebuah realitas yang memprihatinkan. Dunia baru bernama media sosial alih-alih semakin membuat penggunanya komunikatif, justru membuat penggunanya semakin sering terlibat konflik. Padahal, konflik adalah gejala yang menandai kegagalan komunikasi.Bill Gates mengatakan, the world in just the finger. Sekarang, konflik pun sering kali bermula dari ujung jari.
Dari luar, persoalan ini tampak sederhana, yakni kegagapan anak-anak muda menghadapi teknologi baru. Akan tetapi, jika ditelusuri lebih jauh, ada persoalan cukup rumit yang melibatkan distribusi pengetahuan, perubahan nilai, dan pembentukan kultur baru dalam masyarakat.
Persoalan-persoalan inilah yang membuat media sosial jadi perhatian banyak pihak. Presiden Joko Widodo sendiri sering menyampaikan imbauan agar berhati-hati menggunakan media sosial. Peringatan yang sama disampaikan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir dalam pidato resmi Peringatan Ke-72 Kemerdekaan RI yang dibacakan oleh semua rektor perguruan tinggi negeri di Indonesia. Ia mengimbau mahasiswa agar berhati-hati menggunakan media sosial.
Benarkah persoalan media sosial sudah berkembang demikian membahayakan? Teknologi adalah produk tradisi di komunitas penciptanya dan melahirkan tradisi baru di komunitas yang menerimanya. Di komunitas penciptanya, teknologi lahir beserta perangkat pengetahuan yang menyertainya. Karena itulah, komunitas pencipta paham betul batas-batas penggunaannya. Para perancang teknologi tak ubahnya seperti Doraemon yang tahu persis cara menggunakan berbagai perkakas dari kantong ajaibnya secara proporsional.
Di komunitas penerimanya,teknologi itu sering kali diterima semata-mata sebagai produk jadi. Nilai-nilai yang menyertainya ditinggalkan. Pengguna teknologi itu tidak menerima pesan itu sebagai produk yang telah dan sedang berproses. Perangkat nilai dan pengetahuan yang menyertainya ditinggalkan begitu saja. Akibatnya, komunitas pengguna sering kali gagal paham batas etis penggunaan teknologi itu. Mereka bersikap seperti Nobita yang karena ketidaktahuan dan kecerobohannya mengeksploitasi alat-alat dari kantong ajaib sesuka hatinya.
Internet membuat produk teknologi informasi bisa didistribusikan dalam hitungan detik melalui marketplace. Produk itu dapat terpasang di gawai dalam hitungan detik pula. Akan tetapi, untuk "memasang" pengetahuan dan nilai tentang teknologi tersebut diperlukan beberapa pekan, bulan, atau bahkan tahun. Di sinilah terjadi ketumpangtindihan. Kecanggihan teknologi menyalip jauh kecerdasan dan kearifan penggunanya.
Tindakan berbahasa
Catatan menunjukkan, sebagian besar persoalan yang muncul di media sosial berkaitan dengan bahasa. Variasinya cukup banyak dan akan terus bertambah, antara lain berupa penghinaan, fitnah, penghasutan, dan ujaran kebencian. Keempatnya menjadi semacam lubang tak tampak yang siap membuat pengguna media sosial mana pun terperosok.
Meskipun berformat tulisan (simbol grafis), tradisi bertutur di media sosial sejatinya adalah tradisi lisan. Tulisan yang lahir di media sosial lebih menyerupai obrolan, rumpian, atau gunjingan yang lahir spontan. Karakter tulisan di media sosial berbeda dengan tulisan yang lahir pada era sebelumnya. Sebelum era media sosial, tulisan adalah buah pikir yang dikerjakan secara serius. Di media sosial, orang menulis, tetapi pada dasarnya berbicara sesuka hati (Betawi: nyablak).
Pada satu sisi, spontanitas berbahasa di media sosial selevel dengan gosip, tetapi di sisi lain konsekuensi sosial dan hukumnya seketat dan seberat bahasa tulis. Pembicaraan di media sosial ditulis tanpa proses berpikir panjang, tetapi karena wujudnya tulisan dapat didokumentasikan dan dibaca ribuan orang seketika. Paduan ganjil inilah yang melahirkan masalah serius dalam komunikasi di media sosial.
Perbincangan lisan memiliki kelemahan yang sekaligus keunggulan karena jangkauannya terbatas. Keterbatasan ini membuat perbincangan sangat personal, memiliki konteks yang sangat spesifik, dengan pendengar yang relatif homogen. Media sosial memilikikeunggulan yang sekaligus menjadi kelemahannya. Jangkauan tanpa batas membuat keintiman hilang, konteksnya jadi tidak jelas, dan bisa dijangkau oleh pembaca mana pun dengan latar belakang dan tujuan sangat beragam.
Beberapa dekade sebelum kelahiran media sosial, filsuf John Searle (1969) telah mengingatkan bahwa bahasa adalah sebuah tindakan. Ketika seseorang memproduksi tuturan tertentu, pada dasarnya ia melakukan tindakan lain. Karena itulah, setiap tindakan berbahasa melahirkan rangkaian akibat yang lebih dari sekadar tindakan berbahasa. Pada konteks media sosial, akibat itu bisa bersifat masif dan simultan.
Dengan cara kerja demikian, pengguna media sosial tidak bisa lagi berlindung pada argumentasi konvensional. Misalnya, "sekadar curhat", "hanya nyetatus", atau "bebas berpendapat". Tindakan berbahasa yang "hanya" dan "sekadar" itu memiliki dampak yang kerap kali di luar kendali penulisnya. Kesalahpahaman, kebencian, ketegangan sosial, dan konflik yang lahir akibat komunikasi di media sosial tidak bisa diabaikan oleh argumentasi "hanya" dan atau "sekadar" tadi.
Prinsip kesantunan
Dalam penggunaan media sosial dewasa ini, ada perbedaan kontras antara pengguna berusia muda dan pengguna dewasa. Pengguna muda memiliki penguasaan teknis yang berkali-kali lipat lebih baik. Sebagai digital native mereka memiliki keterampilan teknis yang mengagumkan, tetapi tidakdiiringi refleksi nilai yang memadai. Orang dewasa cenderung berkebalikan: gagap secara teknis, tetapi memiliki refleksi yang mendalam.
Kondisi inilah yang perlu diantisipasi dengan memperkenalkan nilai-nilai kepada pengguna media sosial pemula. Salah satunya adalah memperkenalkan kesantunan sebagai nilai yang tak terpisahkan dalam komunikasi.
Linguis berkebangsaan Inggris, Geofrey Leech (1983), merinci ada enam unsur kesantunan: kebijaksanaan; kedermawanan; kerendahhatian; penghargaan; kesetujuan; dan simpati. Dari enam prinsip itu, bisa diturunkan tiga panduan sederhana untuk menghindari konflik di media sosial. Pertama, utamakanlah memberi keuntungan kepada orang lain, baru keuntungan diri sendiri. Kedua, berilah apresiasi gagasan dan tindakan orang lain, hindari mengapresiasi diri sendiri. Ketiga, berusahalah merasakan hal yang dirasakan orang lain, hindari menjustifikasi.
FATHUR ROKHMAN, REKTOR UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG; PROFESOR SOSIOLINGUISTIK
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul "Kesantunan di Media Sosial".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar