Di Arab Saudi, Sadr diterima Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman, 19 Juli lalu. Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Zayed al-Nahyan menerima Sadr di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Kehadiran Sadr ini menunjukkan kerasnya persaingan pengaruh di kawasan antara Arab Saudi dan Iran, sekaligus persaingan merebut simpati kelompok Syiah di Irak.
Bahkan, Arab Saudi berencana membuka perbatasannya dengan Irak yang sudah 27 tahun ditutup, sejak Saddam Hussein menyerbu Kuwait di tahun 1990. Iran mulai dekat dengan Irak setelah penggulingan Saddam Hussein. Apalagi, setelah Kepala Pemerintahan Amerika Serikat di Irak, Paul Bremer, menyerahkan kepada Perdana Menteri Sementara Iyed Allawi yang berasal dari kelompok Syiah.
Berbeda dengan Iran, Sadr ingin Presiden Suriah Bashar al-Assad mengundurkan diri. Dan, setelah Mosul direbut pasukan pemerintah dari wilayah kekuasaan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), Sadr ingin milisi Syiah di Irak, Hashd al-Shaabi, juga dibubarkan. Iran yang ingin mencengkeram lebih dalam Irak berniat mempertahankan keberadaan milisi ini.
Sebelumnya, pada Juni lalu, Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi juga mengunjungi Arab Saudi. Kunjungan ini untuk membalas kunjungan Menlu Arab Saudi Adel al-Jubeir, Februari 2017, ke Irak. Saling balas kunjungan di antara pejabat kedua negara kini jadi hal lumrah.
Para pengamat menilai, Abadi akan sulit merebut kursi perdana menteri pada pemilu 2018 karena Iran akan berusaha keras untuk memenangkan calon yang dianggapnya loyal. Bahkan, Fanar Haddad, peneliti di Institut Timur Tengah di Washington, mengingatkan Arab Saudi dan Emirat Arab tidak terlalu berharap banyak.
Memang, keterlibatan Iran dalam bidang ekonomi, sosial, militer, dan agama cukup mendalam setelah Saddam Hussein yang Sunni terguling. Ekspor Iran ke Irak antara tahun 2008 dan 2015 meningkat tiga kali lipat mencapai 6,2 miliar dollar AS.
"Selama ini, Iran bisa memainkan hampir semua senar gitar Syiah di Irak, tetapi kini beberapa senar itu, seperti Moqtada al-Sadr, sudah di luar kekuasaannya," kata ahli politik Irak, Hashem al-Hashemi.
Dampak perpecahan kelompok Syiah Irak bisa dilihat pada pemilu legislatif nanti di awal 2018. Apakah loyalis Iran yang menang atau kelompok Sadr dan Abadi dengan bantuan Arab Saudi yang unggul?
Perpecahan dapat menimbulkan masalah baru di Irak, yang baru merebut Mosul dari tangan NIIS. Ataukah ada agenda tersembunyi dari Arab Saudi dan koalisinya untuk kembali mendudukkan kaum Sunni di kekuasaan Irak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar