Dengan stagnasi pertumbuhan ekonomi kuartal II-2017 pada level 5,01 persen (sama dengan kuartal I)—menyusul pertumbuhan 2016 sebesar 5,02 persen—sejumlah ekonom, seperti Didiek Rachbini, Rizal Ramli, dan Carmelita Hartoto, mengungkapkan perlunya langkah pelonggaran (relaksasi) pemajakan dari regulasi dan pelaksanaannya di lapangan. Pertanyaannya ialah apakah relaksasi pajak di masa stagnasi penerimaan dan rasio pajak dapat mendorong pertumbuhan ekonomi?
Secara ekonomi (pembangunan dan pertumbuhan), pemajakan dengan basis luas (broad-tax base) dan tarif rendah (low-tax rate) dianggap lebih baik dibandingkan dengan pemajakan berbasis sempit (small-tax base) dan tarif tinggi (high-tax rate). Pembangunan ekonomi merupakan salah satu faktor penting yang memengaruhi keluasan, variasi, dan besaran basis pemajakan (Alex Radian, 1980). Studi kapasitas pemajakan negara berkembang menunjukkan bahwa hambatan kapabilitas peningkatan penerimaan adalah termasuk pertumbuhan ekonomi, pendapatan penduduk, dominasi sektor agraris dan informal, perkembangan sektor manufaktur dan perdagangan.
Urgensi relaksasi
Pembangunan merupakan mekanisme utama peningkatan penerimaan dan rasio pajak dengan mengurangi hambatan dan perluasan kesempatan pemajakan. Selain menaikkan pendapatan dan kesejahteraan rakyat, pembangunan juga mengembangkan struktur ekonomi dari produksi yang sulit pemajakannya (hard-to tax), seperti sektor agraris dan industri rumah tangga dan dominasi sektor informal, ke sektor produksi dan perdagangan yang mudah pemajakannya (easy-to tax), seperti industri manufaktur dan perdagangan maju serta dominasi sektor formal.
Negara maju lebih mampu memobilisasi banyak dana ketimbang negara berkembang karena memiliki jumlah obyek pemajakan lebih besar dan ragam basis pemajakan yang terakses mekanisme administrasi pemajakan yang efektif dan efisien. Dalam Alex Radian (Mobilizing Resources in Poor Countries, 1980), Musgrave menjelaskan kemajuan ekonomi mengurangi hambatan pemajakan melalui perluasan kesempatan pemajakan sehingga penerimaan dan rasio pajak naik.
Ia mendalilkan bahwa sifat dan karakter basis pemajakan akan berubah sejalan dengan perubahan struktur ekonomi karena pembangunan ekonomi, dan dengan penanganan sistem pemajakan yang tepat dapat memobilisasi penerimaan dengan efektif dan efisien. Pembangunan mengubah struktur ekonomi dari produk agraris dan manufaktur menjadi industri yang lebih kompleks dan berskala besar.
Sejumlah besar warga bekerja dalam perusahaan besar berskala nasional, regional, bahkan multinasional yang jumlahnya sedikit. Dalam tingkatan ekonomi demikian, hampir semua arus uang (potensi pajak penghasilan), barang dan jasa (potensi pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan), mengalir otomatis lewat sistem jaringan (online) pasar yang terorganisasi sehingga dapat dialihkan ke kas negara setiap saat. Karena itu, teori konvensional Harley Hinrichs (1966) menyatakan bagian dari produk domestik bruto pemerintah berupa penerimaan pajak meningkat sejalan dengan kemajuan pembangunan ekonomi. Semakin maju ekonomi, makin besar pajak yang dapat dimobilisasi. Desain dan pelaksanaan pemajakan memengaruhi kegiatan pembangunan dan capaian pertumbuhan ekonomi.
Secara teoretis, kebijakan pemajakan dalam rangka penelarasan dengan kondisi ekonomi dapat didesain, misalnya lewat pengetatan pemungutan pada masa booming ekonomi dan relaksasi pada masa stagnan dan kelesuan ekonomi, agar pembangunan maju dan pertumbuhan meningkat. Dalam rangka stabilisasi ekonomi, Musgrave (1989) menyebut struktur pajak yang baik harus memfasilitasi penyusunan kebijakan fiskal untuk stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi. Anggaran pemerintah umumnya berfungsi sebagai unsur otomatisasi stabilisasi ekonomi agar terjadi percepatan roda perekonomian dan peningkatan pertumbuhan. Selain penambahan atau percepatan belanja pemerintah, Matthijs Alink & Victor van Kommer (2015) menyebut kemungkinan penurunan penerimaan karena relaksasi pajak.
Untuk mencapai target pertumbuhan 5,2 persen, langkah relaksasi pemajakan Indonesia seperti diserukan beberapa ekonom di atas mungkin perlu untuk dipertimbangkan agar investasi, bisnis, dan kegiatan ekonomi terpacu. Relaksasi atau pengenduran pemajakan dapat dilakukan pada aspek kebijakan (regulasi) ataupun administrasi (pengendalianenforcement dan pelaksanaan regulasi di lapangan).
Namun, perlu desain saksama dan pengendalian agar efektif dan efisien, tidak kontraproduktif dan memperburuk iklim usaha dan investasi. Selain pelonggaran regulasi dan pelaksanaannya; relaksasi dapat berupa pemberian insentif atau keringanan, yang secara politik dan ekonomi mungkin tak terelakkan dalam rangka mendorong iklim usaha dan investasi pada sektor strategis dan sektor yang menguasai hajat hidup rakyat banyak agar terjadi pertumbuhan dan pemerataan. Pemerataan penghasilan, apabila diikuti penanganan pemungutan pajak secara merata dan terstruktur, misalnya melaluiwithholding system dan dilaksanakan dengan efektif, dapat mengurangi ketimpangan pemajakan antara Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Karyawan dengan PPh Pasal 25/29 Usahawan yang sebetulnya sebagian pajaknya telah dipungut melalui Pasal 21 dan Pasal 23 serta Pasal 22.
Obyek relaksasi
Dari target penerimaan tahun 2017 sebesar Rp 1.307 triliun, hingga Juli terealisasi Rp 601,1 triliun (46,8 persen), dengan pertumbuhan 12,4 persen (dari target 18 persen). Oleh karena itu, secara optimistis, pengamat perpajakan Yustinus Prastowo menyebut penerimaan 2017 berkisar 85-91 persen dari target. Untuk menggapai penerimaan 2017, pemerintah memerlukan upaya ekstra dan maksimal melalui regulasi, seperti Perppu No 1 Tahun 2017 tentang akses data perbankan, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 213 Tahun 2016 tentangTransfer Pricing Documentation (TPDocs), dan PMK No 107 Tahun 2017 tentang Perusahaan Asing Terkendali. Dari upaya ekstra diharap ada tambahan penerimaan Rp 59,5 triliun.
Lebih dari tiga dasawarsa, sistem self assessment (wajib pajak menghitung, membayar dan melaporkan sendiri pajaknya) dengan voluntary compliance(kepatuhan sukarela) sudah berlaku di Bumi Pertiwi. Beberapa kekurangan, seperti kesadaran dan kemauan patuh masyarakat, enforced compliance melaluiwithholding tax (pajak yang dipotong oleh pihak ketiga) dan pelaporan data pihak ketiga, sentuhan teknologi informasi deteksi dini ketidakpatuhan, pengawasan kepatuhan massal melalui analisis data matching, telah menyebabkan stagnasi rasio pajak di angka 11 persen dan kepatuhan 63 persen.
Bahkan kepatuhan di sektor perkebunan sawit untuk WP Badan pada 2015 sekitar 46,3 persen, (2011: -70,6 persen), dan WP Orang Pribadi 6,3 persen (2011: 42,3 persen). Untuk membalikkan penurunan menjadi kenaikan kepatuhan, administrasi pajak harus tanpa henti membina, menjaga dan memupuk kesadaran dan kemauan masyarakat mematuhi UU Pajak. Dalam sistem self assessment, administrasi pajak harus terus memaksimalkan kepatuhan pada UU Pajak. Sesuai teori deterrent effect, kepatuhan akan meningkat jika probabilitas deteksi tinggi dan pengenaan sanksi berat sehingga biaya patuh lebih murah dari tidak patuh.
Namun, kegiatan penegakan hukum (seperti pemeriksaan) berbiaya mahal, sedang intensifikasi pemeriksaan dapat mengganggu iklim bisnis dan investasi dan memperberat biaya kepatuhan dan masyarakat dapat frustrasi. Potensi defisit penerimaan dapat memotong kemampuan pemerintah menggelontorkan anggaran agar pembangunan dan pertumbuhan meningkat. Namun, agar kepatuhan meningkat sehingga defisit minimal, pengawasan secara hati-hati harus dilakukan.
Di lain pihak, agar iklim bisnis dan investasi tetap bergairah sehingga potensi pajak berkembang, relaksasi regulasi dan pelaksanaan administrasi tidak dapat begitu saja diabaikan. Relaksasi misalnya terhadap: (1) PMK 213/2016 dibatasi hanya berlaku pada transaksi antarpihak dengan hubungan istimewa sesuai Pasal 18(4) UU PPh dengan omzet minimal Rp 50 miliar saja. Selain biaya pematuhannya mahal, TPDocs tidak berpengaruh pada pemeriksaan; (2) PMK 107/2017 hanya berlaku terbatas pada kepemilikan langsung (individual atau kolektif) lebih dari 50 persen sehingga sederhana dan efektif sesuai Pasal 18(2) UU PPh.
Kemudian, (3) pemanfaatan data perbankan dan harta pengampunan pajak terbatas pada data potensial; (4) transaksi pada pengusaha ritel tanpa pembatasan dan jika omzet setahun lebih dari Rp 4,8 miliar kukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sesuai Pasal 2 UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UUKUP); dan (5) deemedBentuk Usaha Tetap (BUT) atas pengusaha berbasis e-dagang (termasuk Google Pacific Ltd Pte) yang diikuti dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Baya (SKPKB) PPh Pasal 23 pada WP Dalam Negeri (WPDN) pengguna jasa dibatasi pada tahun berjalan saja (2017) dan dapat dihitung sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Semoga relaksasi kebijakan pajak dan pelaksanaannya dapat mendorong pembangunan, pertumbuhan, dan kesejahteraan rakyat sehingga menjadi potensi penerimaan pajak yang dapat terealisasi menjadi penerimaan.
GUNADI, GURU BESAR PERPAJAKAN FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI UI
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Relaksasi Pajak dan Ekonomi".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar