Politisasi pendidikan lebih mengutamakan gelojoh kekuasaan ketimbang niat tulus memperbaiki kualitas pendidikan. Kebijakan pendidikan tidak boleh mendasarkan diri pada tekanan politik kekuasaan dan pendekatan politik partisan.
Politisasi pendidikan demi kepentingan kelompok tertentu justru akan merugikan kepentingan pendidikan nasional. Bahkan, fenomena politisasi pendidikan yang mempergunakan model pengerahan massa justru semakin menunjukkan bahwa kelompok kepentingan ini semakin irasional, tidak logis, terutama dalam mengusahakan dan merumuskan konstatasi kebenaran yang sedang diperjuangkan.
Lemah dan absurd
Argumentasi penolakan PBNU yang didukung partai politik tertentu atas kebijakan hari sekolah lemah. Dasar untuk menolak kebijakan hari sekolah selain lemah dan absurd, juga bertentangan dengan kenyataan. Faktanya, sekolah lima hari sudah banyak dilakukan di sekolah-sekolah jauh sebelum Permendikbud No 23/2017 dikeluarkan. Nyatanya, praktik ini tidak mematikan madrasah diniyah (madin) seperti yang dikhawatirkan. Dalam berbagai bentuk, kolaborasi antara sekolah dan madrasah justru terjadi begitu baik, misalnya ada madin yang justru mempergunakan sarana sekolah dalam pemelajarannya.
Selain bertentangan dengan fakta-fakta di lapangan, penolakan kebijakan tentang hari sekolah juga bertolak belakang dengan fakta psikologis dan sosial lain. Secara psikologis dan sosial, jika kita bertanya kepada guru dan siswa, apakah mereka lebih suka memilih sekolah lima hari atau enam hari, mereka lebih banyak memilih sekolah lima hari. Banyak yang menginginkan pada Sabtu sebagai hari libur agar bisa memiliki waktu entah untuk beristirahat, melakukan kegiatan lain, atau membangun intensitas relasi dalam keluarga setelah orangtua dan guru bekerja lima hari.
Argumentasi lain yang absurd adalah penggunaan istilah full day school yang direproduksi terus-menerus, padahal faktanya tak ada kebijakan ini. Dalam logika, cara argumentasi ini sering disebut dengan distorsi, yaitu sebuah proses berargumentasi di mana orang yang berargumentasi mendistorsi gagasan pokok argumentasi lawan dengan membelokkannya pada konsep atau istilah lain yang seolah mirip. Caranya dengan menyalahtafsirkan, mengecoh, atau menyerang seolah gagasan atau ide lawan argumentasi itu buruk, jelek, dan akhirnya si pengargumen menyimpulkan bahwa kebijakan seperti versi pemahamannya yang sudah didistorsi ini buruk. Padahal, pokok persoalannya tidak di sana.
Full day school tak pernah jadi kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Penolakan kebijakan hari sekolah dengan mengatasnamakan full day school ibaratnya menggonggong di pohon yang salah atau menciptakan sebuah hantu yang sebenarnya tidak ada, tetapi karena dikisahkan secara terus-menerus, lama-lama si pengisah percaya hantu yang ia ciptakan itu ada.
Dasar kebijakan lima hari sekolah adalah keputusan presiden. Kebijakan tentang hari kerja pegawai negeri sipil, sebagaimana diatur dalam Keppres No 68/1995 tentang Hari Kerja di Lingkungan Lembaga Pemerintahan, adalah lima hari kerja, mulai Senin sampai Jumat dengan jumlah jam kerja efektif 37,5 per minggu.
Salah satu kebijakan yang tertuang dalam Permendikbud No 23/2017 terkait Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) adalah melakukan penyelarasan hari kerja guru PNS dengan mengacu pada keppres ini. Meskipun guru dari tingkat SD sampai SMA dikecualikan dari aturan lima hari sekolah ini, penentuan implementasi hari kerja diatur oleh menteri atau pimpinan lembaga setelah berkonsultasi dan mendapat persetujuan dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara.
Penyelarasan ini dilakukan bukan karena sudah ada Keppres No 68/1995, tetapi lebih didasari keprihatinan tentang minimnya komunikasi antara orangtua dan anak di rumah serta keprihatinan akan adanya guru yang tak mampu memenuhi beban kerja tatap muka 24 jam selama seminggu seperti diamanatkan dalam UU Guru dan Dosen. Jadi, kebijakan sekolah lima hari memiliki unsur edukatif, yaitu mengembalikan peran orangtua dalam pendidikan anak serta membantu meningkatkan kesejahteraan guru selama UU Guru dan Dosen tentang beban kerja guru belum direvisi.
Mengubah kebijakan hari sekolah dari enam hari jadi lima hari tak mengubah banyak pemelajaran karena struktur kurikulum tidak berubah. Alokasi belajar hari Sabtu hanya dibagi disesuaikan dengan ritme lima hari sekolah. Penambahannya tak lebih dari satu jam dibandingkan dengan pembelajaran enam hari. Jadi, kesimpulan bahwa Permendikbud No 23/2017 adalah menambah jam pelajaran di sekolah tidaklah benar.
Dalam perubahan jadwal dari enam hari ke lima hari, siswa SD paling lama menyelesaikan kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler adalah pukul 12.10 atau paling lama 12.30. Jika madin umumnya dimulai sekitar pukul 15.00, siswa di SD yang melaksanakan kebijakan lima hari sekolah tetap dapat mengikuti pendidikan di madin.
Kebijakan PPK yang mengembalikan tripusat pendidikan Ki Hajar Dewantara (sekolah, keluarga, dan masyarakat) bahkan memperkuat keberadaan madin karena hubungan antara lembaga pendidikan dan berbagai inisiatif edukasi di masyarakat menjadi lebih dekat. Pendidikan tak bisa melepaskan diri dari konteks sosial, budaya, dan tradisi daerah yang mencerminkan terjaganya kearifan lokal. Kebijakan PPK memperkukuh ikatan kultural ini. Jadi, sangat tidak masuk akal menyimpulkan bahwa kebijakan hari sekolah mematikan madin.
Persoalan lain
Keberadaan madin yang sebagian besar terbentuk karena partisipasi masyarakat yang peduli pada pendidikan agama dan moral anak-anak tentu patut diapresiasi. Mematikan ini jelas memangkas akar tradisi spiritual yang dimiliki bangsa ini. Keberadaan madin yang membantu pembentukan karakter anak-anak Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Namun, adanya fakta bahwa keberadaan madin mulai sepi peminat dan orangtua tak banyak menyekolahkan anaknya di madin merupakan pokok persoalan lain yang tidak terkait dengan kebijakan hari sekolah.
Nanang Martono (2017) dalam penelitiannya menemukan fakta tentang sepinya minat orangtua menyekolahkan anak-anak mereka ke madin. Rendahnya animo orangtua menyekolahkan anak- anak mereka ke madin terjadi, salah satunya, karena adanya kehadiran sekolah-sekolah Islam modern terpadu yang mempergunakan kurikulum terintegrasi mengadopsi kurikulum madin. Artinya, kehadiran sekolah-sekolah Islam modern yang juga mengajarkan apa yang diajarkan sebagai kurikulum di madin-lah yang menjadi alasan mengapa orangtua tidak lagi memilih madin yang dicitrakan sebagai lebih tradisional.
Kebijakan hari sekolah yang memberikan perspektif baru dalam mengelola pendidikan dari enam hari menjadi lima hari memiliki dasar yuridis, sosiologis, dan pedagogis kuat. Permendikbud No 23/2017 jelas memberikan pengecualian bagi daerah/sekolah yang tak siap. Jadi, kebijakan lima hari atau enam hari sebenarnya hanyalah pilihan sarana.
Membenturkan sesama anak bangsa melalui politisasi kebijakan lima hari sekolah jelas merupakan skenario politik yang buruk. Harganya terlalu mahal bagi keutuhan bangsa ini.
DONI KOESOEMA A, PEMERHATI PENDIDIKAN DAN PENGAJAR DI UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA, SERPONG
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul "Politisasi Lima Hari Sekolah".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar