Grup itu memproduksi konten provokatif dengan mengeksploitasi konten suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA) sejak November 2015. Menurut penjelasan pihak Kepolisian Negara RI, sindikat anggota Saracen tersebar di Indonesia. Tiga orang telah ditangkap, yakni JAS yang disebut sebagai Ketua Saracen, MFT yang disebut sebagai Ketua Bidang Media Informasi Saracen, dan SRN sebagai Koordinator Wilayah Jawa Barat.
Mengutip penjelasan Kepala Subdirektorat I Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Kombes Irwan Anwar, sekitar 800.000 akun di media sosial bekerja untuk menyebarkan konten yang diproduksi Saracen. Konten itu ada yang menyudutkan agama Islam, tetapi ada juga yang menyudutkan agama Nasrani. Puluhan ribu akun mengarah kepada pemerintah dan tokoh politik. "Setiap konten hoaks itu dihargai puluhan juta rupiah," kata Irwan.
Fakta itu menunjukkan kebohongan (fake news), ujaran kebencian (hate speech) telah menjadi industri. Kita menduga selain kepentingan ekonomi komersial, bisa juga ada muatan politik di balik industri hoaks tersebut. Industri seperti itu subur di tengah tingginya penetrasi internet dan penetrasi media sosial di Indonesia.
Jumlah pengguna Facebook di Indonesia 111 juta orang, peringkat keenam di dunia. Penyebaran konten hoaks, apalagi yang mengeksploitasi isu SARA, sangat riskan dan berbahaya bagi kohesivitas masyarakat Indonesia.
Adalah kenyataan, revolusi digital telah melahirkan bisnis baru, yakni industri kebohongan untuk kepentingan ekonomi dan politik. Di era yang banyak disebut orang sebagai post truth (pasca-kebenaran), fakta yang sebenarnya bisa kalah dengan keyakinan opini. Kebenaran adalah apa yang diyakini. Orang akan membagikan konten jika konten itu sejalan dengan keyakinannya. Akibatnya, polarisasi akan makin tajam.
Di era post truth society, industri kebohongan yang bermotif politik dan ekonomi mendapatkan tempat. Situasi ini tidak bisa dibiarkan. Selain langkah hukum untuk mengungkap semua jaringan Saracen dan konsumen, pendidikan literasi digital juga amat dibutuhkan. Masyarakat harus dididik menyikapi berbagai konten di dunia maya yang kadang sangat provokatif dan merusak kohesivitas bangsa. Kita dorong kepolisian mengungkap tuntas siapa saja yang terlibat dalam produsen kebohongan itu. Siapa pemesan konten hoaks dan apa kepentingannya. Pada sisi lain, penyedia platform media sosial juga dituntut pertanggungjawabannya untuk membantu menangkal konten negatif. Pemerintah bisa berperan untuk bertemu dengan penyedia platform guna mengatasi masalah itu.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Kebohongan Jadi Industri".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar