Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 25 Agustus 2017

TAJUK RENCANA: Melunakkan Korut yang Keras Kepala (Kompas)

Ketegangan akibat adu retorika antara Amerika Serikat dan Korea Utara mulai mereda. Namun, tidak berarti Korut menghentikan program nuklir.

Entah apa yang membuat Presiden Amerika Serikat Donald Trump dalam pidatonya, Selasa (22/8), menyebut rezim Korut mulai menghormati AS. Bisa jadi karena melunaknya sikap pemimpin rezim Korut Kim Jong Un, yang pernah mengancam akan meluncurkan rudal ke Guam, teritori AS di Samudra Pasifik, tetapi akhirnya membatalkan ide itu.

Ditambah dengan pernyataan Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson bahwa AS dan Korut punya peluang untuk berdialog di masa depan, pernyataan Trump seolah memperlihatkan upaya dialog dua seteru ini semakin dekat.

Namun, ada satu persyaratan untuk dialog yang belum dipenuhi. AS dan dua sekutunya, Korea Selatan dan Jepang, mendesak Korut untuk menghentikan program pengembangan nuklir dan uji coba rudal sebelum memulai perundingan. Hal ini yang sulit terpenuhi, karena Korut bersikeras melanjutkan program yang menurut mereka adalah upaya untuk mempertahankan diri.

Sikap keras kepala Korut ini terlihat dari perintah Kim Jong Un untuk memproduksi lebih banyak mesin roket berbahan bakar padat. Bahan bakar padat membuat persiapan peluncuran rudal lebih cepat sehingga sulit terdeteksi satelit dan mudah diluncurkan dari mana saja.

Sinyal lain adalah diagram roket tiga tingkat Hwasong-13 yang terlihat di belakang Kim Jong Un dalam kunjungannya ke Akademi Ilmu Pertahanan. Hal ini lebih maju dari Hwasong-14, rudal dengan roket dua tingkat yang diuji coba dua kali, Juli lalu. Para analis meyakini, Hwasong-13 akan memiliki daya jangkau lebih jauh, bukti bahwa Korut terus mengembangkan rudal balistik antarbenua.

Sikap keras kepala Pyongyang hanya akan membuat masalah di Semenanjung Korea berlarut-larut. Dengan terus menebar ancaman dan tanpa niat baik untuk berdialog, Korut membuat dunia internasional tak punya pilihan untuk terus memberikan tekanan serius sambil berusaha keras menghindari aksi militer.

Data yang dipublikasikan China memperlihatkan, sanksi yang dijatuhkan PBB untuk Korut mulai menuai hasil. Impor China dari Korut, yang mencapai 90 persen dari ekspor Korut, pada Juli tercatat 156,3 juta dollar AS, turun 3 persen dari Juni, atau anjlok 30 persen dari Juli 2016. China sudah berjanji menghentikan impor batubara, bijih besi, timah, dan produk makanan laut dari Korut.

Namun, sanksi ekonomi yang memasuki putaran ketujuh terbukti tidak menghentikan langkah Korut. AS, Korsel, Jepang, China, dan Rusia yang tergabung dalam Dialog Enam Pihak, beserta PBB, perlu mencari pendekatan lain untuk mengajak Korut menghentikan program nuklir dan bergerak ke meja perundingan. Diplomasi lunak, atau soft diplomacy, kiranya bisa menjadi pilihan.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Melunakkan Korut yang Keras Kepala".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger