Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 25 Agustus 2017

ARTIKEL OPINI: Jalan Lain Menurunkan Angka Kemiskinan (BAGONG SUYANTO)

Tekad pemerintah menekan dan menurunkan angka kemiskinan tampaknya masih harus menghadapi sejumlah tantangan.

Optimisme pemerintah menurunkan angka kemiskinan pada 2017 ini menjadi 10,4 persen, dan pada 2018 menjadi satu digit atau di bawah 10 persen,besar kemungkinan tidak akan tercapai jika pemerintah masih mengandalkan program-program yang namanya berbeda, tetapi secara substansial tetap sama dengan program tahun-tahun sebelumnya.

Saat ini, sejumlah program yang jadi maskot untuk menurunkan angka kemiskinan, antara lain, perluasan konversi beras sejahtera jadi layanan nontunai di semua kota dan sebagian besar kabupaten, penyaluran subsidi energi dan elpiji 3 kilogram nontunai, serta perluasan target sasaran Program Keluarga Harapan (PKH) dan perluasan jangkauan pelayanan dasar, seperti air bersih, sanitasi, dan identitas kependudukan. Selain itu, pemerintah juga akan memberikan subsidi kredit usaha rakyat (KUR), revitalisasi pasartradisional, pengucuran dana desa, pembangunan infrastruktur, dan melakukan reforma agraria.

Sejumlah program yang dirumuskan di atas kertas memang sangat menjanjikan. Namun, semua program yang digagas itu sesungguhnya program gaya lama yang sudah dikembangkan bertahun-tahun di Indonesia sejak era pemerintahan Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono tanpa hasil yang seperti diharapkan, sehingga mengharapkan tahun depan angka kemiskinan di bawah 10 persen bisa jadi adalah target yang terlalu optimistis.

Tak adanya komitmen serius untuk merumuskan program alternatif yang bisa ditempuh untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan niscaya hasilnya akan mengecewakan.

Persoalannya bukan seberapa besar alokasi dana program penanggulangan kemiskinan sudah ditambah, melainkan yang terpenting seberapa jauh program yang dirumuskan benar-benar menyentuh akar masalah, membenahi hal yang fundamental dan menyentuh aspek-aspek yang esensial.

Sejumlah kekeliruan

Secara politis, langkah paling mudah untuk mendemonstrasikan kepedulian pemerintah terhadap upaya penanggulangan kemiskinan adalah melalui program-program yang sifatnya amal- karitatif. Tulang punggung dari program pemerintah adalah melalui PKH, yang menurut rencana akan diperluas dari 600.000 pada 2017 menjadi 10 juta peserta pada 2018. Selain itu, program lain yang juga jadi andalan adalah Program Indonesia Pintar (KIP) dan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Sejumlah program dalam bentuk bantuan sosial bagi keluarga miskin ini tidak saja dari sisi administrasi pelaporan keuangannya mudah dilakukan, tetapi juga dinilai hasilnya akan lebih terukur. Namun, berharap program yang sifatnya amal-karitatif ini mampu menimbulkan daya ungkit untuk mengurangi jumlah penduduk miskin tentu tidak pada tempatnya.

Layaknya program batuan sosial, manfaat dari program PKH, KIP, dan JKN niscaya hanya mengurangi kadar kerentanan keluarga miskin, bukan memberdayakan keluarga miskin agar dapat naik kelas memperbaiki tingkat kesejahteraannya.

Keengganan pemerintah mencari jalan lain yang secara substansial lebih menjanjikan adalah faktor utama mengapa upaya mengurangi penduduk miskin hingga kini tidak dapat tercapai. Secara garis besar, dua kekeliruan besar yang dilakukan pemerintah, yang kemudian menyebabkan angka kemiskinan di Indonesia tidak kunjung turun secara signifikan.

Pertama, kebijakan yang menempatkan penduduk miskin tetap sebagai warga pinggiran yang tidak memiliki akses bersaing di jalur perekonomian firma dan tidak didistribusikannya terlebih dahulu aset yang layak bagi masyarakat miskin. Inilah faktor penyebab kegagalan dari sejumlah program penanggulangan kemiskinan yang selama ini telah digulirkan pemerintah. Bagaimana mungkin para buruh tani yang tidak memiliki lahan atau petani gurem yang hanya memiliki lahan sempit dapat mengembangkan usaha yang menguntungkan jika batas minimal sebuah usaha tani yang layak tidak dimilikinya?

Kedua, kebijakan yang menempatkan sektor informal justru sebagai pengganggu dan penghambat pembangunan. Alih-alih memfasilitasi dan mendukung perkembangan sektor informal, di sejumlah daerah sering terjadi kehadiran sektor informal justru dibatasi. Sebab, kebijakan penataan ruang yang dikembangkan lebih banyak ditentukan kepentingan komersial daripada merepresentasikan kepentingan masyarakat miskin.

Sektor informal, yang disebut- sebut Hernando de Soto (1989) sebagai kekuatan utama masyarakat miskin, diakui atau tidak sering kali masih ditempatkan sebagai sektor yang non-produktif, tidak memiliki akses pada lembaga perbankan, dan dinilai tidak memiliki aset yang layak. Alhasil, peluang masyarakat miskin memanfaatkan sektor informal ini sebagai fondasi membangun potensi ekonominya jadi terhambat. Dalam banyak kasus, kehadiran perekonomian firma yang menyasar pangsa pasar usaha berskala kecil-menengah menjadikan peluang sektor informal untuk bersaing secara terbuka menjadi makin kecil.

Jalan lain

Dalam bukunya yang terkenal, The Mystery of Capital: Why Capitalism Thriumphs in the West and Fails Everywhere Else (2000), Hernando de Soto menyatakan, salah satu prasyarat yang dibutuhkan untuk memberikan kesempatan masyarakat miskin mengembangkan usahanya adalah reformasi hak kepemilikan, yaitu jaminan kepemilikan aset yang terdokumentasi atau sah, yang bisa dijadikan modal untuk bersaing di sektor perekonomian.

Jokowi-JK sendiri, dalam berbagai kesempatan, telah mengungkapkan keinginan untuk melakukan reforma agraria dan memberikan hak kepada masyarakat untuk memiliki lahan yang sah. Program redistribusi aset seperti ini harus diakui sangat strategis dan salah satu jawaban dari apa yang digagas De Soto. Akan tetapi, di luar program reforma agraria, untuk menjamin masyarakat miskin memiliki peluang mengakses sumber-sumber permodalan dan pasar, yang dibutuhkan adalah keberanian pemerintah beserta aparaturnya di daerah, adalah menjamin hak masyarakat miskin mengembangkan potensi sosial-ekonominya di tengah keterbatasan yang membelenggu mereka.

Jalan lain program penanggulangan kemiskinan, mau tidak mau, memang menuntut perubahan dan kebijakan yang sifatnya struktural. Masalahnya adalah sejauh mana negara mampu menghindari—dan bahkan melawan tekanan—kekuatan komersial dan sektor perekonomian firma yang selama ini sudah banyak menikmati kemudahan dan perlindungan kekuasaan? Komitmen untuk menurunkan angka kemiskinan niscaya hanya tinggal slogan jika tidak ditindaklanjuti dengan program-program yang berani melawan arus.

BAGONG SUYANTO, DOSEN MATA KULIAH KEMISKINAN DAN KESENJANGAN SOSIAL DI PROGRAM PASCASARJANA ILMU SOSIAL FISIP UNIVERSITAS AIRLANGGA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Jalan Lain Menurunkan Angka Kemiskinan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger