Waktu itu yang terganggu adalah satelit Palapa B-1, mulai dari Jumat pagi, 31 Agustus 1985. Kini, satelit Telkom 1 terganggu sejak Jumat sore, 25 Agustus 2017.
Saat itu, layanan Palapa B-1 dapat dipulihkan sehari kemudian. Penempatan kembali Palapa B-1 ke posisi aslinya harus dibayar dengan penyalaan roket secara ekstra, yang artinya harus ditebus dengan memendeknya umur. Dalam hal Telkom 1, ada anomali arah antena satelit, yang konsekuensinya membuat antena penangkap sinyal di Bumi tidak bisa menangkap sinyal dari satelit.
Dampak dari gangguan tersebut membuat sekitar 8.000 mesin ATM kehilangan akses layanan dan banyak pengguna jasa perbankan lain mengalami problem sama. Jika pada masa lalu satelit lebih banyak digunakan untuk sambungan telepon dan siaran televisi, sekarang ini ditambah lagi dengan komunikasi data, yang secara luas dimanfaatkan perbankan.
Kita berharap problem yang ditimbulkan satelit Telkom 1 bisa segera diatasi. Direktur Utama PT Telkom Alex J Sinaga, Senin (28/8), mengatakan, penanggulangan masalah dilakukan dengan mengalihkan pengguna jasa Telkom 1 ke satelit Telkom 2, Telkom 3S, dan satelit asing. Adapun penggunaan Telkom 1 akan diputuskan kemudian.
Bijak pandangan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, sebagaimana dikutip CNN Indonesia, agar operator lebih dini mempersiapkan satelit pengganti atau serep (back-up) sehingga tidak menunggu masalah muncul dari penggunaan satelit uzur. Harus dikatakan Telkom 1 sebenarnya memang sudah masuk kategori itu. Satelit buatan Lockheed Martin ini diluncurkan Agustus 1999 dan memang dijadwalkan pensiun tahun 2018.
Memang tidak bisa disangkal, dari waktu ke waktu peranan satelit yang sudah mulai kita manfaatkan sejak tahun 1976 dengan Palapa A1 semakin besar. Pemerintah, korporasi, dan perbankan bisa disebut sebagai pihak-pihak yang banyak membutuhkan jasa satelit yang mengorbit di ketinggian mendekati 36.000 kilometer ini.
Karena meningkatnya aktivitas pembangunan, kebutuhan akan transponder satelit pun bertambah. Namun, karena investasinya yang besar—tipikal satelit modern dewasa ini harganya sekitar Rp 2,5 triliun—tidak semua pihak yang butuh bisa menyediakannya. Indonesia pun masih banyak menyewa transponder satelit asing.
Selain menyediakan investasi, yang tidak kalah penting adalah menyiapkan sumber daya manusia, ahli dan operator satelit yang andal. Ini karena layanan yang dipercayakan pada jasa satelit umumnya bersifat kritikal, menuntut keandalan.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Satelit dan Tantangannya".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar