Namun, sekarang lagi-lagi ada omongan bahwa jalan seperti Rasuna Said dan Sudirman mau total ditutup untuk sepeda motor pada hari kerja. Benarkah?
Di sini saya hanya bisa mengulang yang saya tulis sepuluh tahun lalu: kalau itu terjadi, itu tak kurang perang terbuka kelas priayi, para pemilik Indonesia, terhadap orang kecil.
Betul, kami para pemakai kendaraan beroda duapantas ditegur. Motor memang paling tak disiplin. Lampu merah, kaki lima, jalan satu arah, jarak yang aman, sopan santun perhatian biasa terhadap sesama pemakai jalan, belum lagi manuver-manuver berani ala Valentino Rossi (kadang-kadang satu keluarga lengkap): tak ada yang tidak dicuekkan. Maka, kalau peraturan yang sudah berlaku mau dilaksanakan dengan lebih tegas, dengan hukuman atas pelanggaran efektif lebih keras, akan dimengerti dan diterima.
Namun, menutup jalan penting yang setiap hari diperlukan untuk ke tempat kerja atau melakukan tugas, itu lain perkara. Katanya, supaya masyarakat jadi biasa memakai angkutan umum. Tetapi, angkutan umum harus direalisasikan dulu, baru bisa ditawarkan. Coba berapa waktu saya butuhkan dari Jembatan Serong di Jalan Percetakan Negara menuju Dikti di Senayan kalau harus pakai kendaraan umum?
Lagi pula, yang bikin macet jelas bukan sepeda motor. Kalau semua pemakai sedan ganti memakai motor, tak akan ada kemacetan. Lihat saja Jalan Gatot Subroto, foto-foto kemacetannya: yang bikin macet mobil. Jalan yang sudah tertutup bagi motor tetap macet. Dikatakan bahwa sepeda motor paling banyak menjadi korban kecelakaan.
Perhatian itu mengharukan, tetapi munafik. Kalau jutaan orang setiap hari pagi-sore dipersulit memakai motor, jauh lebih banyak orang akan sakit paru-paru dan saraf daripada yang ketabrak. Biar saja rakyat sendiri memutuskan apa mau mengambil risiko ketabrak daripada sakit menunggu kendaraan umum atau putar-putar di jalan tikus.
Kebebasan, perjuangan
Saya ulangi yang saya tulis sepuluh tahun lalu: Apakah Anda pernah mencoba memahami apa arti sepeda motor bagi rakyat biasa? Sepeda motor merupakan salah satu barang paling berharga dan bermanfaat bagi pemilik dan keluarganya. Para pemilik sepeda motor rata-rata orang-orang paling produktif di DKI, para pekerja keras dalam segala macam usaha dan kantoran.
Sepeda motor bagi mereka membuka jendela sebuah kebebasan baru: bebas dari keharusan berada selama empat jam per hari dalam bus dan angkot yang jorok dan tak aman. Bebas dari biaya mencekik pemakaian angkutan umum. Bebas untuk cepat ke tempat yang perlu. Dan, bebas untuk pada waktu di luar kerja membawa keluarga, misalnya, ke tempat rekreasi secara murah.
Lagi pula, sepeda motor bagi mereka hasil sebuah perjuangan. Mereka tidak mengiri pada pemakai sedan yang ber-AC dan dikemudikan oleh sopir. Tetapi, mereka mengharapkan agar hasil perjuangan mereka yang begitu berarti, ya kebebasan baru kepemilikan sepeda motor, diakui juga. Lalu, saya mau bertanya: tersediakah sekarang, September 2017, angkutan umum untuk mengangkut jutaan warga yang sekarang memakai motor?
Sekali lagi: melarang lima juta lebih pemakai sepeda motor menggunakan poros-poros utama lalu lintas di DKI tak kurang merupakan pernyataan perang terhadap masyarakatnya yang sederhana. Ora ilok mereka yang enak-enak duduk dalam mobil bikin hidup orang kecil betul-betul menderita (miserable). Sebuah catatan: yang akan dipersalahkan sebagai antirakyat sudah pasti pemerintah. Sudah dipertimbangkan?
FRANZ MAGNIS-SUSENO, GURU BESAR EMERITUS SEKOLAH TINGGI FILSAFAT DRIYARKARA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar