Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 22 September 2017

Menjadi Bangsa Pembaca (AGUS RIFAI)

Ada yang menarik di balik peristiwa peresmian Gedung Layanan Perpustakaan Nasional oleh Presiden Joko Widodo, 14 September lalu. Lewat acara peresmian gedung 24 lantai yang dikaitkan tersebut, muncul semacam komitmen bersama untuk mewujudkan bangsa Indonesia sebagai bangsa pembaca.

Sekalipun komitmen menjadi bangsa pembaca ini tidak secara eksplisit disampaikan mereka yang terlibat langsung dalam gerakan minat dan budaya baca, atau oleh pimpinan negeri ini, tetapi melalui acara peresmian tersebut semangat itu mulai terasa.

Membaca sebagai isu kebangsaan 

Pertama, pemilihan bulan September pada acara seremonial tersebut. Pemilihan bulan dan tanggal acara peresmian tentu bukan hal yang kebetulan, melainkan memiliki tujuan tertentu. Bulan September merupakan Bulan Gemar Membaca dan Hari Kunjung Perpustakaan.

Hari Kunjung Perpustakaan sendiri ditetapkan setiap 14 September. Sekadar mengingatkan kembali, bulan September sebagai Bulan Gemar Membaca dan Hari Kunjung Perpustakaan telah ditetapkan sejak tahun 1995 oleh Presiden Soeharto. Tujuan utamanya adalah meningkatkan minat baca bangsa Indonesia yang masih rendah.

Oleh karena itu, dalam konteks ini, peresmian gedung layanan perpustakaan memiliki makna tersirat akan pentingnya permasalahan minat dan budaya membaca sebagai isu bersama yang menyangkut identitas bangsa. Masalah literasi dan budaya baca tidak lagi menjadi isu sektoral, tetapi harus menjadi permasalahan bangsa yang harus menjadi perhatian bersama.

Kedua, penetapan peresmian gedung  fasilitas layanan Perpustakaan Nasional yang bertepatan dengan Hari Kunjung Perpustakaan dan Bulan Gemar Membaca memiliki arti sebagai peneguhan kembali sekaligus komitmen Perpustakaan Nasional RI pada isu minat dan budaya baca sebagai isu kebangsaan. Sebagai isu kebangsaan, Perpustakaan Nasional RI tampaknya menyadari bahwa hal ini harus menjadi tugas bersama yang tidak hanya terbatas oleh perpustakaan, tetapi harus melibatkan banyak pemangku kepentingan, baik dari kalangan pemerintah, swasta, bisnis, profesional, maupun pegiat sosial atau LSM.  

Menarik apa yang diungkapkan Najwa Shihab selaku Duta Baca Nasional pada acara tersebut, yaitu bahwa dengan peresmian ini, Gedung Layanan Perpustakaan Nasional RI akan jadi rumah bersama bagi pejuang literasi untuk mewujudkan  apa yang dicita-citakan pendiri bangsa ini: mewujudkan kecerdasan bangsa. Bangsa yang cerdas dalam hal ini dapat dipahami sebagai bangsa pembaca.

Tidak ada definisi yang pasti mengenai bangsa pembaca. Namun, sangat jelas bahwa membangun kecerdasan sangat erat kaitannya dengan upaya membangun bangsa pembaca. Bangsa pembaca  adalah bangsa yang masyarakatnya menjadikan kegiatan membaca sebagai bagian dari kehidupannya.

Masyarakat atau bangsa pembaca memiliki karakteristik sebagai berikut. Pertama, bangsa pembaca adalah bangsa yang terbebas dari buta aksara. Membangun bangsa pembaca dimulai dengan meningkatkan keberaksaraan (literasi) masyarakat melalui pengenalan aksara serta pengajaran kemampuan dan kemahiran membaca verbal. Data menunjukkan masih terdapat 2,07 persen atau sekitar 3,4 juta masyarakat Indonesia buta huruf. Jumlah ini, sekalipun kecil, jika dibandingkan keseluruhan pendudukan Indonesia, masih menyisakan pekerjaan bersama dalam meningkatkan tingkat keberaksaraan bangsa.

Kedua, bangsa pembaca adalah bangsa dengan budaya membaca yang tinggi. Budaya membaca merupakan budaya bangsa yang cerdas, budaya bangsa maju. Jika bangsa ini mau jadi bangsa yang maju, dan dikatakan bangsa yang cerdas yang setara dengan negara-negara maju lain, maka persoalan rendahnya minat dan budaya baca harus jadi prioritas.

Beberapa studi menyebutkan, tingkat minat baca masyarakat Indonesia masih rendah. Misalnya, Central Connecticut State University pada Maret 2016 menyebutkan bahwa bangsa Indonesia menempati urutan ke-56 dari 60 negara dalam hal minat baca. Studi terkait minat baca yang dilakukan Programme for International Student Assessment (PISA)  tahun 2015 juga masih menempatkan Indonesia di urutan ke-69 dari 76 negara yang disurvei. Demikian pula hasil survei yang dilakukan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), di mana tingkat minat baca bangsa Indonesia menempati posisi kedua terendah dari 61 negara yang disurvei.

Hasil-hasil studi ini menunjukkan pentingnya kerja keras dan kerja cerdas dalam membangun minat dan kebiasaan membaca masyarakat Indonesia sebagai fondasi membangun bangsa pembaca. Belajar dari negara Jepang, seperti dikutip InspirasiData.com, bahwa Jepang telah menjadikan kegiatan membaca menjadi suatu gerakan kultural bangsa yang disebutnya sebagai tachiyomi, atau budaya membaca sambil berdiri. Masyarakat Jepang telah terbiasa membaca apa pun kondisinya meski harus sambil berdiri.

Ketiga, bangsa pembaca adalah bangsa yang mampu menggunakan apa yang dibacanya untuk meningkatkan taraf kehidupannya. Membangun bangsa pembaca tidak boleh berhenti pada peningkatan keberaksaraan dan minat membaca. Namun, yang lebih penting lagi adalah membangun mental membaca.

Orang yang memiliki mental membaca selain mengetahui kebutuhan diri akan bahan bacaannya, juga mampu memilih dan memilah apa yang dibacanya. Ia mampu membedakan kebenaran isi yang dibacanya, dan tidak mudah menyebarluaskan hasil bacaannya sebelum meneliti kebenarannya. Ia tidak mudah percaya dengan berita atau informasi yang belum diketahui kebenarannya (hoaks), apalagi menyebarluaskannya.

Selain itu, bangsa pembaca adalah bangsa cerdas, yang memiliki jiwa kreatif dan inovatif berdasarkan pengetahuan atau hasil bacaan yang dimilikinya. Mereka dapat secara bijak memanfaatkan pengetahuan hasil bacaannya untuk kehidupannya dan kehidupan sekitar menjadi lebih baik. Dengan kata lain, bangsa pembaca adalah bangsa cerdas, yang mampu membangun peradaban berdasarkan pengetahuan yang diperolehnya. Sejarah membuktikan hanya bangsa pembaca yang bisa jadi bangsa maju dan memiliki peradaban yang dapat dibanggakan.

Perpustakaan Nasional dan bangsa pembaca

Sebagai isu kebangsaan, mewujudkan bangsa pembaca bukan tanggung jawab satu lembaga atau instansi tertentu, melainkan harus menjadi kerja bersama. Meski demikian, sebagaimana tersurat dalam pembukaan UUD 1945, tanggung jawab ini secara jelas dan tegas diamanatkan bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan tugas utama pemerintah.

Dalam kaitan ini, Perpustakaan Nasional RI  sebagai lembaga  pemerintah memiliki peran penting dalam membangun kecerdasan bangsa. Membangun bangsa pembaca sebagai karakter dari bangsa yang cerdas merupakan tanggung jawab perpustakaan sebagaimana telah tercantum dalam UU No 43/2007. Perpustakaan merupakan salah satu penentu dari kemajuan suatu bangsa. Dalam hal ini, menarik apa yang dikatakan seorang jurnalis The Guardian,Gaiman, (2013), dalam satu tulisannya bahwa kehidupan masa depan akan sangat bergantung pada perpustakaan dan kegiatan membaca. Perpustakaan, meskipun bukan satu-satunya, adalah institusi strategis bagi keberlangsungan kegiatan membaca dan pembentukan budaya baca masyarakat menuju terwujudnya bangsa pembaca.

Oleh karena itu, momentum September 2017 dan peresmian penggunaan gedung layanan perpustakaan di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta, itu sudah seharusnya jadi tonggak baru bagi Perpustakaan Nasional untuk mengorientasikan dan merumuskan arah penyusunan kebijakan dan program kerja yang strategis. Dengan demikian, Perpustakaan Nasional menjadi yang terdepan dalam upaya menegaskan kembali orientasi politik kepustakawanan Indonesia untuk membangun bangsa pembaca, bangsa yang cerdas dan berkeadaban, sebagaimana diamanatkan UU.

AGUS RIFAI

PUSTAKAWAN DAN PEGIAT LITERASI UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 September 2017, di halaman 7 dengan judul "Menjadi Bangsa Pembaca".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger