Oleh karena itu, kesadaran politik demokrasi selalu merepresentasikan diri dalam praktik- praktik politik yang bertujuan pada kebaikan umum, yaitu penegakan hukum, keadilan, dan kemanusiaan. Berbagai praktik politik demokrasi tersebut adalah representasi imparsialisme politik.
Bagaimana ketika praktik sebagian elite muncul dalam bentuk melindungi atau memperjuangkan kejahatan korupsi? Pada praktik politik tersebut, maka para elite adalah representasi parsialisme politik. Mereka adalah representasi politik yang mampu menggagalkan demokrasi mencapai tujuan negara.
Kegagalan demokrasi
Demokrasi sebagai sistem selalu merupakan interaksi dinamis antara prosedur dan substansi. Sistemlah yang menjadi infrastruktur bagi tercapainya tujuan negara, sebagaimana termaktub dalam konstitusi. Namun, tujuan negara tidak akan mewujud secara konkret ketika praktik-praktik politik para elite dalam struktur negara direproduksi sebagai representasi parsialisme politik.
Norma paling umum dari parsialisme politik, menurut Susan Mendus dalam bukunya, Impartiality in Moral and Political Philosophy (2002), adalah memperjuangkan serta melindungi kepentingan kelompok.
Norma yang pada gilirannya muncul sebagai praktik kemudian mendistorsi sistem demokrasi. Pendistorsian sistem demokrasi selalu mencakup pendistorsian prosedur dan substansi.
Prosedur adalah bentuk tertulis atau aturan-aturan tentang kewenangan, kewajiban, dan hak dari posisi struktural. Tujuan utama prosedur adalah mengoptimalkan satu peranan menjalankan fungsi pokoknya. Ketika fungsi pokok dari peranan posisi tertentu berjalan ideal, maka tercipta tertib politik, yaitu kondisi keseimbangan kerja sama setiap peranan secara produktif.
Sementara di sisi lain, substansi demokrasi merujuk pada fondasi pengetahuan yang akan menentukan warna praktik elite dalam menciptakan kebijakan berbasis pada kepentingan umum, antara lain keadilan dan kemanusiaan. Secara sosiologis, prosedur dan substansi harus hadir simultan sebagai interaksi dinamis sehingga mencapai tertib politik dan kepentingan umum.
Sebagai contoh, elite politik dalam legislatif bisa disebut mencapai tingkat prosedur dan substansi demokrasi ketika praktik politik berada dalam area fungsi pokok yang berorientasi pada kepentingan umum.
Lalu, bagaimana dengan praktik mengirim surat permintaan penundaan pemeriksaan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar penyidikan salah seorang anggota DPR ditunda? Praktik ini jelas keluar dari fungsi pokok DPR dalam legislasi, penganggaran dan pengawasan.
Praktik mengirim surat permintaan penundaan pemeriksaan kepada KPK tidak bisa disebut sebagai fungsi pengawasan, tetapi sebagai praktik melindungi kepentingan individu dan kelompok politik.
Pada saat bersamaan, praktik tersebut tidak memiliki akar substansi demokrasi. Pemberantasan korupsi merupakan bagian dari keadilan dalam hukum, sedangkan penghalangan, dalam bentuk surat penundaan, menegasi keadilan.
Masyarakat digital
Distorsi sistem demokrasi masih direproduksi oleh parsialisme para elite politik, baik di tingkat pusat dan daerah, eksekutif, maupun legislatif. Mekanisme kontrol tidak bisa diserahkan semata pada fungsi kelembagaan politik formal ketika elite-elite di dalamnya terjebak pada kondisi parsialisme politik.
Harapan bagi terciptanya kontrol salah satunya pada konteks era ini adalah masyarakat digital. Permasalahan muncul pada harapan ini ketika masyarakat digital yang hidup di ruang media sosial terfragmentasi.
Secara garis besar ada tiga fragmen masyarakat digital. Pertama, masyarakat digital berkesadaran semu yang aktif menikmati dan mengonsumsi berbagai produk kapitalisme. Fragmen ini biasanya apatis terhadap masalah lingkungan sosial politik.
Kedua, masyarakat digital sinistik. Fragmen ini memberikan porsi kritik terhadap masalah lingkungan sosial politik, tetapi tidak memiliki kecukupan pengetahuan dan visi konstruktif. Ruang publik digital penuh oleh pernyataan yang bisa mencederai substansi demokrasi, seperti stigma, caci maki, sampai fitnah karakter personal.
Ketiga adalah fragmen masyarakat digital kritis yang memiliki cadangan pengetahuan cukup serta memiliki komitmen terhadap substansi demokrasi, seperti kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, dan nirkekerasan. Fragmen masyarakat digital ini memberikan porsi besar terhadap praktik kritis yang mengontrol masalah lingkungan sosial politik.
Argumentasi mereka berdasarkan pada akar pengetahuan yang sahih dan mendalam terkait isu yang sedang dijadikan sebagai obyek wacana. Sayangnya, fragmen ini adalah minoritas.
Wacana kritis berbaur dalam keriuhan dominasi konsumsi dan sinisme. Hal ini menyebabkan wacana kritis terhadap parsialisme politik terancam mengalami peminggiran dan pemusnahan.
Walaupun demikian, masyarakat digital kritis masih ada sebagai entitas sosial penting dalam bentuk masyarakat kontemporer. Beberapa kasus pembatalan proyek di luar nalar kemanusiaan dan keadilan para elite dalam struktur kekuasaan-baik di pusat maupun di daerah-merupakan kontribusi dari masyarakat ini.
Negara, melalui para elite imparsial, perlu merawat dan mengembangkan dukungan terhadap terbentuknya masyarakat kritis digital. Kebijakan peraturan, seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik, harus diimplementasikan dengan tujuan, salah satunya untuk menciptakan masyarakat digital kritis.
NOVRI SUSAN
SOSIOLOG POLITIK UNIVERSITAS AIRLANGGA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Parsialisme Elite Politik".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar