Indonesia juga pernah menjadi tuan rumah Konferensi Perubahan Iklim Ke-13 di Bali pada 2007 yang dihadiri 180 negara dan 10.000 peserta. Meski demikian, Indonesia belum menyelesaikan cetak biru nasional tentang Climate Diplomacy atau Diplomasi Iklim yang memuat semua aspek politik luar negeri tentang perubahan iklim, baik pada kawasan daratan maupun lautan secara manunggal.
Hal ini telah menyebabkan, antara lain, adanya persepsi yang tak imbang dalam persoalan emisi karbon di mana Indonesia sering kali dinilai sebagai salah satu emiten karbon 10 terbesar dunia. Kemampuan Blue Carbon (karbon biru) atau daya serap karbon hutan mangrove dan padang lamun di pantai tak pernah diperhitungkan secara ilmiah dan dipertahankan secara gigih dalam diskursus emisi global.
Di sisi lain, Indonesia adalah pemimpin tradisional diskursus global masalah kemaritiman dan hukum laut internasional. Indonesia kini dinilai memimpin dunia dalam menghadapi sampah plastik di laut dan perjuangan melawan pencurian ikan. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia juga tengah menyusun cetak biruMaritime Diplomacy atau Diplomasi Maritim sebagai salah satu implementasi Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI).
Diplomasi Maritim selama ini dimaknai sebagai perundingan batas maritim atau kerja sama dan latihan bersama antara TNI AL dan kekuatan angkatan laut negara sahabat, seperti operasi Cooperation Afloat Readiness and Training (CARAT) Indonesia-AS pada 7 September 2017 atau 3
Diplomasi Maritim lebih luas dari perundingan batas maritim atau sengketa kedaulatan tentang kepemilikan pulau kecil. Diplomasi Maritim adalah suatu pelaksanaan politik luar negeri yang terkait dengan berbagai aspek kelautan tingkat bilateral, regional, dan global, baik yang menggunakan aset kelautan sipil maupun militer untuk memenuhi kepentingan nasional Indonesia sesuai dengan ketentuan nasional dan hukum internasional.
Strategi kebijakan diplomasi maritim, antara lain, meliputi (1) kepemimpinan di dalam berbagai kerja sama di bidang kelautan pada tingkat bilateral, regional dan multilateral; (2) peran aktif dalam upaya menciptakan dan menjaga perdamaian dan keamanan dunia melalui bidang kelautan; (3) kepemimpinan atau peran aktif dalam penyusunan berbagai norma internasional bidang kelautan; dan (4) penyelesaian penetapan batas maritim. Indonesia diakui dunia dalam pelaksanaan strategi ketiga di atas dalam konteks perundingan Konvensi Hukum Laut 1982.
Namun, kiprah pembentukan norma baru hukum internasional tentang kelautan dari Indonesia pada masa ini masih ditunggu.
Abaikan laut
Sebagai negara kepulauan yang terbesar yang juga memiliki hutan tropis dalam jajaran lima terbesar dunia serta adanya dampak nyata perubahan iklim terhadap pantai dan sumber daya alam laut Indonesia, tampak terlihat adanya gap yang besar antara Diplomasi Iklim dan Diplomasi Maritim.
Sejumlah hasil kesepakatan global tentang pentingnya laut dalam perubahan iklim yang terdapat dalam KTT Bumi 1992, Pertemuan Puncak tentang Pembangunan Berkelanjutan 2002 serta Konferensi Rio+20: Masa Depan yang Kita Inginkan Tahun 2012, 17 Sasaran Pembangunan Berkelanjutan, resolusi SMU PBB "critical role of oceans and seas for climate regulation, food security, livelihoods, human well-being, and more generally for the global economy" 2014, dijawab oleh Kesepakatan Paris hanya dengan satu kata ocean dalam paragraf pembukaan saja dan sama sekali tidak diatur dalam paragraf operasional.
Artinya, Kesepakatan Paris tidak memiliki landasan hukum operasional membahas kaitan perubahan iklim dan laut atau pun sebaliknya. Pada kesempatan perumusan Kesepakatan Paris, masalah kelautan hanya menjadi acara tambahan (side event) dalam acara Ocean Day dengan 28 pembicara tingkat tinggi tanpa adanya pembicara dari Indonesia dalam ruangan dengan kapasitas kursi hampir 1.000 orang, hanya diisi sekitar 200 orang saja.
Terdapat argumentasi masuknya isu kelautan dalam negosiasi Kesepakatan Paris akan menciptakan komplikasi yang rumit. Mungkin ada benarnya, tetapi pengalaman saya dalam berbagai perundingan menunjukkan bahwa faktor subyektif latar belakang negosiator sangat berpengaruh dalam proses dan hasil perundingan. Faktanya, mayoritas perunding perubahan iklim dunia adalah pejabat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau bahkan pertanian yang budaya dan latar belakang diplomasinya bersifat teresterial.
Jumlah ahli hukum laut internasional diperkirakan sangat sedikit. Insting para negosiator berlatar belakang "hijau" ini sangat berbeda dengan mereka yang berlatar belakang "biru". Negosiator dengan latar belakang "biru" atau maritim, kelautan, dan hukum laut internasional akan secara langsung merujuk Konvensi Hukum Laut 1982 yang memuat bab khusus perlindungan lingkungan laut.
Konvensi Hukum Laut 1982 tak hanya mengatur soal kedaulatan, kapal perang, kapal nuklir dan perompakan, tetapi juga secara komprehensif mengatur tentang pelestarian sumber daya hayati laut dan perlindungan lingkungan laut dari berbagai polusi. Ibaratnya suatu pertandingan antara Konvensi Hukum Laut 1982 dan Kesepakatan Paris dalam perlindungan lingkungan laut, matra mayoritas planet Bumi, maka skornya adalah Konvensi Hukum Laut 1982 menang KO. Sulit dibayangkan mengapa matra terluas planet Bumi yang menjadi salah satu kunci kehidupan manusia dan isi planet ini diabaikan oleh Kesepakatan Paris.
Melihat sejarah kepemimpinan Indonesia dalam mewujudkan negara kepulauan dari sekadar konsep dan klaim unilateral menjadi prinsip hukum internasional oleh para diplomat senior Indonesia dalam berbagai forum dengan kondisi terbatas, maka bagi generasi penerus keberadaan gap dalam Kesepakatan Paris tersebut sudah sewajarnya merupakan salah satu tantangan bersama di mana Indonesia sepatutnya menjadi pemimpin..
Strategi nasional
Dokumen First Nationally Determined Contribution 2016 yang telah menggunakan pendekatan tata ruang komprehensif yang mencakup darat, pantai, dan laut, dapat menjadi dasar bagi Indonesia untuk mengajukan amandemen Kesepakatan Paris pada waktu yang tepat. Menjadi pemimpin dunia dalam hal ini juga akan membantu permasalahan negara-negara kepulauan dan negara kontinen yang memiliki pantai yang labil mengingat kenaikan air laut berdampak langsung terhadap posisi garis pangkal yang akan menentukan zona laut teritorial, zona tambahan, ZEE, dan landas kontinen setiap negara.
Jika pantai barat Sumatera, selatan Jawa, dan gugus Natuna tenggelam hingga 1 meter, Indonesia berpotensi kehilangan wilayah kedaulatan dan hak berdaulat yang luas. Pandangan saya adalah bahwa penentuan zona maritim tetap berdasarkan garis pangkal yang ditentukan melalui regulasi nasional. Meski demikian, sependek pengetahuan saya, belum ada satu pun pakar hukum internasional di Indonesia, Asia Tenggara, dan Asia Timur yang pernah melakukan analisis hukum delimitasi batas maritim internasional atas dampak kenaikan air laut.
Indonesia perlu menyusun strategi komprehensif dalam menutup gap tersebut yang meliputi bantuan teknis kepada negaranegara kecil dalam adaptasi perubahan iklim di kawasan pesisir, pembentukan aliansi dengan memberikan negara-negara kepulauan dan negara-negara pulau tanpa memandang tingkat pembangunan ekonomi atau besaran wilayah daratan, dan pengarusutamaan masalah kelautan dalam forum-forum global perubahan iklim.
Forum yang tepat antara lain adalah ASEAN melalui joint-session pertemuan kementerian pertanian dan kehutanan dengan ASEAN Maritime Forum, EAS, COP-23 November 2017 mendatang, dan COP selanjutnya, Our Ocean Conference2018, dan Archipelagic and Island StatesForum yang akan diluncurkan Indonesia pada 2018.
Indonesia sebenarnya memiliki landasan filosofi yang sangat mendasar dalam sinergi diplomasi iklim dan diplomasi maritim yang telah lama ada tetapi sering dilupakan, yaitu Soempah Pemoeda 1928 yang antara lain menegaskan "Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah air Indonesia". Tanah-Air/teresterial-maritim/Kesepakatam Paris-Konvensi Hukum Laut 1982. Kita tak perlu reinvent the wheel. Just apply it, with passion.
ARIF HAVAS OEGROSENO
Deputi I Kementerian Koordinator Kemaritiman
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Oktober 2017, di halaman 7 dengan judul "Diplomasi Iklim, Diplomasi Maritim".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar