Sebagian besar dari citra negatif ini memang sudah sepantasnya, apalagi dilihat dari ekspektasi dalam euforia pasca-1998 yang mengharapkan demokrasi dan pemerintahan yang bersih. Namun, jika kita lihat lebih dekat, banyak juga bagian-bagian DPR yang berbuat usaha terpuji untuk kebaikan masyarakat meski hasilnya tidak selalu menggembirakan.
Salah satu kegiatan legislatif yang baik itu adalah upaya terusmenerus untuk menghasilkan UU Masyarakat Adat yang dimulai tahun 2012. Banyak langkah maju sejak itu, banyak juga langkah mundur. Tahun ini kita menyaksikan usaha terbaru untuk menghasilkan legislasi terobosan tersebut.
Dasar penyelesaian konflik
Indonesia belum pernah punya UU mengenai masyarakat adat walaupun hak masyarakat adat dijamin oleh konstitusi. UU seperti reforma agraria seharusnya menghasilkan hak-hak komunal yang berdampingan dengan hak-hak individu. Jika UU terkait hak masyarakat adat berhasil dibuat, UU ini akan melengkapi konstitusi yang sudah kita pakai selama 72 tahun. Masyarakat adat adalah bagian yang penting dari masyarakat kita karena mereka sudah ada sebelum negara ini dibangun.
Diskusi-diskusi awal dilakukan pada tahun 2012 dan menerima dorongan yang besar ketika Presiden Joko Widodo terpilih pada tahun 2014. Presiden Jokowi membawa komitmen untuk mendukung hak-hak masyarakat adat. Pada tahun 2016, draf yang dibahas di DPR sudah hampir masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas), tetapi kemudian tidak berjalan lebih jauh. Jadi, seluruh proses itu harus diulang pada tahun berikutnya karena draf legislatif tidak bisa dibawakan atau di-carry over dari tahun ke tahun. Ini menyebabkan keprihatinan pada pihak pemangku kepentingan.
Oleh karena itu, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengimbau masyarakat agar tidak membiarkan kesempatan legislatif ini luput. UU ini sangat penting dan tahun ini adalah titik kritis untuk menghasilkannya. Dalam ketiadaan hukum, berbagai masalah muncul bagi pemerintah dan rakyat. Walaupun pemerintah terlihat punya komitmen pada hak masyarakat adat, pelaksanaan komitmen itu sangat susah di lapangan jika tanpa ada payung hukum berupa UU.
UU Masyarakat Adat mesti sukses di tahun ini karena ia sebagai langkah dasar untuk menyelesaikan konflik-konflik yang melibatkan masyarakat. Mahkamah Agung pernah mengungkapkan berkas-berkas dokumen kasus yang tidak terselesaikan di lembaganya, bahkan ada berkas yang sudah tahun 1945. Tercatat ada sekitar 16.000 kasus, separuhnya adalah konflik lahan dan masyarakat adat.
Pada Agustus lalu, Presiden Jokowi menjanjikan akan mengembalikan sekitar 700.000 hektar hutan ke masyarakat adat. Maka, jika nanti janji ini tidak diwujudkan atau diwujudkan, tetapi implementasinya tidak efektif, konflik-konflik yang begitu banyak ini sulit dibayangkan akan berhenti begitu saja.
Tanpa UU Masyarakat Adat, empat tahun setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang mengeluarkan hutan adat dari hutan negara, pun tetap tidak ada perkembangan yang berarti. Ini menyedihkan-tetapi tentu tidak mengejutkan-karena regulasi perundangannya tidak kuat. Kalaupun ada regulasi positif, hanyalah berupa regulasiregulasi daerah yang hanya sedikit jumlahnya.
UU seperti apa yang diinginkan? Tentu saja UU yang mampu menyelesaikan masalah utama, yaitu menjadikan masyarakat adat tampak di mata hukum dan diakui dalam administrasi hukum nasional sebagai subyek hukum. Subyek hukum berarti mereka memiliki hak hukum yang melekat pada diri mereka, seperti hak asal-usul, hak atas wilayah, dan hak berdaulat yang berarti mereka menentukan prioritasprioritas pembangunan di wilayah mereka.
Sebetulnya sekarang sudah banyak regulasi yang terkait masyarakat adat, tetapi tidak bisa dijalankan selama belum ada payung hukumnya. Contohnya, pemberdayaan desa adat oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, program-program Kementerian Sosial yang salah arah, dan program hutan adat yang tidak berjalan karena banyak syarat, termasuk harus adanya pengakuan regulasi daerah.
UU Masyarakat Adat harus bisa bergerak antarregulasi yang ada, berarti membatalkan peraturan yang berlaku seperti keharusan adanya pengakuan regulasi daerah. UU ini pada akhirnya akan memperkuat otonomi daerah dan masyarakat yang juga menguntungkan negara melalui pemasukan berupa pajak.
Tujuan UU Masyarakat Adat, pertama, koordinasi lintas sektor pemerintahan. Dengan demikian, kelak tidak ada lagi institusi yang bergerak sendiri-sendiri dan akhirnya malah menghambat hak masyarakat adat. Kedua, resolusi konflik akibat keadaan sekarang, di mana 70 persen wilayah masyarakat adat tidak di tangan masyarakat adat. Ketiga, kewajiban masyarakat adat. Keempat, terkait tanggung jawab negara, yaitu pemberdayaan masyarakat adat.
Konflik antarinstitusi
Masalah utama sekarang adalah konflik antarinstitusi. Institusi agraria, misalnya, tidak menganut verklaring sehingga jika ada tanah yang tidak bisa dibuktikan pemiliknya, tanah tersebut tidak dianggap aset negara. Walaupun sebaliknya, pengaturan kehutanan menganut verklaring sehingga kawasan yang tidak bisa dibuktikan dianggap aset negara.
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai hutan adat pun tidak efektif karena Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan masih menganut cara-cara pengelolaan kehutanan yang selama ini berlaku. Maka, seharusnya UU Kehutanan pun seyogianya harus diubah.
UU Masyarakat Adat harus bisa melibatkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT), Kementerian Sosial (Kemensos), Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Prosedur pembuatan dan pengesahan UU memang sangat rumit dan memerlukan ahli-ahli legislatif, baik yang berada di dalam staf ahli DPR maupun di luar. Namun, di balik kerumitan prosedural sebetulnya yang lebih mengkhawatirkan adalah adanya kepentingan-kepentingan usaha atau bisnis besar yang terkait dengan politik setempat yang memanfaatkan kehampaan hukum. Marak klaim de factopenggunaan tanah masyarakat adat secara komersial, seperti perkebunan dan pertambangan.
WIMAR WITOELAR
KONSULTAN KOMUNIKASI EKONOMI HIJAU
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Oktober 2017, di halaman 7 dengan judul "Menunggu UU Masyarakat Adat".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar