Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 04 Oktober 2017

Menata Bisnis LNG Indonesia (SALIS S APRILIAN)

Kesimpangsiuran informasi tentang bisnis gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) di Indonesia yang sempat menjadi topik hangat beberapa pekan terakhir lebih disebabkan kurangnya pemahaman tentang bisnis energi ini yang sebetulnya sudah kita geluti sejak 40 tahun yang lalu.

Bisnis LNG adalah bisnis yang berbeda dengan bisnis minyak atau bisnis gas sekalipun.. LNG atau liquified natural gasadalah gas alam yang dicairkan melalui proses pendinginan secara ekstrem hingga minus 160 derajat celsius. Tujuan pencairan gas ini adalah untuk menghasilkan volume yang efisien untuk diangkut dari sumber gas ke konsumen.

Dengan proses pendinginan ini, volume gas akan susut menjadi seperenam ratusnya sehingga pengangkutannya dapat menggunakan kapal tanker, kapal kecil, ataupun isotank (tanki berlapis bahan cryogenic) yang dapat dibawa kapal barang atau truk.

Jika kita berbisnis minyak, maka dari hulu kita dapat memproduksikan, menyimpan, dan mendistribusikan untuk kemudian dijual kepada pembeli dengan leluasa. Sementara dalam bisnis gas alam kita harus mempertimbangkan jarak dan volume gas yang akan disalurkan kepada konsumen, apakah cukup dengan pipa, atau harus dijadikan CNG (compressed natural gas), atau LNG. Pemilihan metode pengangkutan ini akan dijadikan dasar kontrak jual-beli untuk jangka waktu tertentu dengan volume tertentu.

Dari sanalah kemudian disepakati harga gas yang akan berlaku untuk jangka pendek, menengah, atau jangka panjang. Hal yang juga akan berpengaruh terhadap harga gas adalah sifat fisik dan kimia dari gas itu sendiri, seperti tekanan, wujud gas, dan komposisi kimianya.

Kita tahu bahwa kita tidak dapat menyimpan gas dalam waktu yang lama seperti halnya minyak sehingga gas harus langsung disalurkan kepada pembeli. Kalaupun kita dapat menyimpan dalam bentuk LNG, itu hanya dalam beberapa saat karena volumenya akan berkurang. Keunggulannya dibandingkan dengan gas pipa, LNG secara ekonomis dapat menjangkau pembeli yang berjarak puluhan ribu kilometer, yakni dengan menggunakan kapal besar yang didesain khusus untuk mengangkut LNG.

Dari sisi pemanfaatannya, umumnya LNG untuk bahan bakar pembangkit listrik, yakni dengan menjadikannya gas kembali melalui proses regasifikasi. Sementara penggunaan lain adalah untuk bahan bakar transportasi laut dan darat atau untuk kebutuhan rumah tangga layaknyan LPG dengan cara memasang perangkat konversi (converter kits) yang akan menyeimbangkan suhu mengubah gas alam dari bentuk cair ke gas yang menjadikannya bahan bakar.

Ekspor dan kebutuhan

dalam negeri

Lalu, mengapa LNG kita diekspor ke negara lain sementara kita membutuhkannya? Pertanyaan inilah yang sering mengemuka dalam diskusi tentang kebijakan energi yang terkait dengan keberadaan LNG kita. Jawaban yang mudah adalah karena kita sudah terikat kontrak jangka panjang dengan pembeli-pembeli "tradisional", seperti Jepang, Korea, dan Taiwan. Mereka sudah berkomitmen dari awal pengembangan industri LNG ini, pada saat orang masih mendewakan minyak sebagai bahan bakar dan belum banyak yang memanfaatkan gas.

Pertanyaan berikutnya adalah apakah kontrak tersebut tidak dapat dinegosiasikan kembali? Jawabannya tentu bisa, tetapi ada risiko legal, komersial, dan reputasi yang harus dipertaruhkan. Negosiasi harga LNG memang ada dalam klausul peninjauan harga (price review) yang termaktub dalam kontrak jual-beli LNG. Biasanya peninjauan harga ini dilakukan dalam kurun waktu lima tahunan atau waktu yang disepakati bersama jika memang terdapat kondisi yang sangat ekstrem terkait formula harga dan perubahan data teknis (seperti cadangan atau komposisi gas), data komersial (volume atau jangka waktu), dan lain-lain.

Cara lain yang sekarang sedang dicoba Pertamina adalah dengan cara swap(menukar) LNG dari sumber satu dengan sumber yang lain untuk pembeli tertentu dengan mempertimbangkan aspek keekonomian, komersial, dan infrastruktur yang tersedia. Inilah yang memerlukan perubahan paradigma, dari penjual LNG menjadi pembeli LNG yang kemudian memainkan bisnis portofolio atau yang populer dengan sebutan LNG trader.

Posisi Indonesia

Sebagai trader tentunya harus memiliki kemampuan menjual dan membeli LNG serta mempunyai sarana dan prasarana (infrastruktur) logistik yang mendukungnya, seperti kilang LNG, tangki penyimpan, pelabuhan, kapal pengangkut, sistem pengelolaan, pengalaman, dan reputasi. Itulah tren yang sedang dilakukan beberapa negara di dunia yang selama ini menikmati bisnis LNG sekaligus untuk memenuhi kebutuhan energi di dalam negerinya, serta bisnis turunannya. Jepang, Amerika, China, dan terakhir Singapura adalah contoh negara-negara yang ingin memasuki dunia perdagangan LNG.

Jepang dan Singapura bahkan merupakan dua negara yang tidak memiliki sumber daya gas sebagai LNG, tetapi ingin memainkan peranan penting dalam bisnis LNG. Mereka sudah menjalin ikatan kontrak dengan beberapa negara produsen LNG, seperti Australia, Qatar, Amerika Serikat, Angola, Mozambik, dan dalam waktu yang sama membangun kerja sama dan menyusun nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) atau bahkan HoA (heads of agreement) untuk menjajaki penjualan LNG pada masa mendatang dengan penyiapan infrastruktur dan mata rantai logistik di negara-negara yang haus energi nanti.

Di situlah Indonesia masuk dalam pusaran bisnis LNG yang mau tidak mau harus dihadapi dengan lebih sigap dan cerdik agar dapat memanfaatkan pergeseran bisnis energi ini yang makin kompetitif. Maka, pembangunan infrastruktur dan alur logistik yang andal serta efisien menjadi taruhannya. Jika hal itu tidak segera dibereskan, kita akan tertinggal dan sangat tergantung dari permainan negara-negara yang telah lebih dulu melangkah sebagai LNG trader.

Pengembangan lapangan gas dalam negeri, seperti Masela dan Natuna D-Alpha, mungkin akan tertahan aspek keekonomian dan komersialitas di tengah banjirnya LNG dunia dengan harga yang makin kompetitif.

Selain membangun infrastruktur, yang kita perlukan sekarang adalah membuat aturan pemanfaatan (tata kelola) LNG untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi di saat yang sama juga tetap mengambil keuntungan dari ekspor LNG yang mendatangkan devisa besar.

Langkah strategis ini antara lain dengan membuka keleluasaan ekspor-impor bagi perusahaan yang memang sudah lama berpengalaman dalam mengelola LNG. Kebijakan selanjutnya yang perlu diperbaiki adalah dalam pembangunan infrastruktur, misalnya LNG to Power(pemanfaatan LNG untuk pembangkit listrik), yakni dengan mendorong BUMN energi (Pertamina, PGN, dan PLN), pemerintah daerah maupun swasta untuk bersinergi membangun pembangkit listrik berikut fasilitas regasifikasinya.

Jika semua itu dapat dilakukan, selain terpenuhinya target elektrifikasi di seluruh pelosok Tanah Air, juga sekaligus menjadikan LNG ini sebagai perekat pulau-pulau dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semoga.

SALIS S APRILIAN

Technical Expert/Strategic Advisor Direktorat Gas PT Pertamina (Persero)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Oktober 2017, di halaman 7 dengan judul "Menata Bisnis LNG Indonesia".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger