Moral hazard dapat terjadi di segala sektor kehidupan oleh pihak mana pun. Dalam bidang asuransi, moral hazard timbul, pertama, karena adanya informasi asimetris antara perusahaan asuransi dan nasabah di mana nasabah dianggap mengetahui hal ihwal mengenai risiko yang akan diasuransikan dibanding yang dapat diketahui oleh pengetahuan dan teknik underwriting (proses identifikasi dan seleksi risiko dari calon tertanggung) perusahaan asuransi.
Moral hazard ini menimbulkan kerugian yang tidak sedikit bagi perusahaan asuransi, seperti contoh asuransi kesehatan yang banyak menimbulkan kerugian bagi perusahaan asuransi di negara-negara maju seperti AS.
Kedua, moral hazard timbul karena sikap antiseleksi dari nasabah yang hanya mengasuransikan risiko yang dinilai tinggi sehingga menimbulkan kerugian bagi perusahaan asuransi karena tidak tercapainya hukum bilangan besar yang menjadi dasar berlakunya mekanisme asuransi. Sebaliknya, perusahaan asuransi hanya menerima risiko tinggi demi meraup premi yang besar atau sebaliknya menerima risiko rendah dengan maksud memperoleh keuntungan yang tinggi.
Ketiga, moral hazard timbul karena insentif dari peraturan perundang-undangan atau kebijakan pemerintah seperti rencana pembentukan LPP yang diamanatkan UU No 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang disinyalir dapat menyuburkan perilaku moral hazard bagi industri asuransi lantaran sudah ada lembaga yang menjadi "penjaga gawangnya" ("Quo Vadis Industri Asuransi", Haryo Kuncoro,Kompas, 2/9/2017)
Contoh lain, ketentuan dalam UU No 40 Tahun 2014 yang melarang pialang dan agen menahan dan menggelapkan premi, tetapi ketentuan yang sama tak berlaku bagi perusahaan asuransi terhadap reasuransi, melainkan sebatas kewajiban bagi asuransi memelihara kesehatan keuangan. Hal ini menimbulkan tanda tanya mengenai sikap eksklusif UU yang tak memperlakukan semua pelaku perasuransian pada aturan main yang setara (level playing field ).
Solvabilitas dan gagal bayar perusahaan asuransi
Hal lain tampak pada belum diaturnya payung hukum bagi usaha bersama asuransi (mutual) seperti diamanatkan UU Perasuransian. Amanat putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materi terhadap substansi Pasal 7 Ayat 3 UU No 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian 3 April 2014 memutuskan harus dibuat UU tentang usaha bersama paling lambat 2 Oktober 2016.
Hal ini sejalan dengan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan-peraturan Perundangan yang menyebutkan bahwa hasil keputusan MK harus diatur dengan UU. Berbeda dengan putusan MK tersebut, UU No 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian menyatakan bahwa ketentuan mengenai usaha bersama akan diatur dalam peraturan pemerintah yang hingga kini belum terwujud.
Akibatnya, Asuransi Bumiputera sebagai usaha bersama asuransi satu-satunya sejak lama mengalami masalah solvabilitas yang belum terpecahkan hingga kini karena menggunakan ukuran-ukuran kesehatan keuangan perseroan berbasis modal yang tak dimiliki pada usaha bersama asuransi. Akibat dari ketiadaan aturan ini, timbul masalah tata kelola yang membuka peluang moral hazard dari berbagai pihak baik internal maupun eksternal. Bahkan, upaya restrukturisasi yang tengah dilakukan dengan mengundang investor tak kunjung membuahkan hasil.
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan No 6 /SEOJK.05/2017 tentang penetapan tarif premi asuransi harta benda dan asuransi kendaraan bermotor membenarkan perusahaan asuransi dapat memberikan bagian dari premi dalam bentuk komisi kepada pihak ketiga yang terkait dengan perolehan bisnis asuransi termasuk kepada nasabah.
Hal ini berpotensi memicu moral hazardterkait larangan gratifikasi bagi penyelenggaraan negara apabila berkenaan dengan nasabah asuransi BUMN atau kementerian dan lembaga negara. Padahal, UU menegaskan komisi hanya diberikan kepada pialang dan agen.
Perlindungan
pemegang polis
Berbagai contoh di atas menimbulkan kekhawatiran skema perlindungan pemegang polis akan menjadi beban bagi pilar jaring pengaman sistem keuangan (JPSK) jika berbagai peraturan yang ada belum mengacu kepada best practice dan mengandung potensi moral hazardseperti terbukti ditutupnya beberapa asuransi oleh regulator.
Terlebih, perusahaan asuransi banyak melakukan kerja sama pemasaran melalui bancassurance dengan perbankan. Maka, jika perusahaan asuransi mengalami gagal bayar terhadap nasabah, hal itu dapat serta-merta berimbas terhadap meningkatnya kredit bermasalah perbankan.
Menjadi ironi jika sekarang dengan UU No 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPSK) fasilitas dana talangan (bail out) perbankan berdampak sistemik tidak lagi dapat diberikan, tetapi praktik moral hazard dimungkinkan terjadi pada industri keuangan lain yang menjadi mitra perbankan.
Sebenarnya UU perasuransian telah mengandung berbagai lapis perlindungan bagi pemegang polis apabila perusahaan asuransi mengalami gagal bayar.
Lapis pertama, dengan adanya dana jaminan yang wajib disesuaikan dengan perkembangan usaha, tidak boleh diagunkan atau dibebani dengan hak apa pun dan hanya bisa dicairkan dengan peraturan OJK.
Lapis kedua, OJK dapat menonaktifkan direksi dan komisaris serta menetapkan pengelola statuter mengambil alih kepengurusan perusahaan asuransi dalam hal menurut pertimbangan OJK perusahaan diperkirakan tak mampu memenuhi kewajiban atau akan menghentikan kewajiban jatuh tempo.
Lapis ketiga, sanksi administratif dari mulai peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, larangan untuk memasarkan produk asuransi yang berujung pada perintah penambahan modal dan pemblokiran kekayaan perusahaan asuransi.
Maka, skema perlindungan polis yang menjadi amanat UU No 40 Tahun 2014 diusulkan sepenuhnya didanai dari iuran pelaku usaha asuransi berbasis risiko, yakni pelaku usaha asuransi membayar iuran sesuai dengan profil risiko. Asuransi yang memiliki risiko lebih tinggi diukur dari rendahnya tingkat kesehatan keuangan membayar iuran yang lebih tinggi. Sebaliknya asuransi yang memiliki risiko lebih rendah dilihat dari tingginya tingkat kesehatan keuangan membayar iuran yang lebih rendah.
Untuk mempercepat pembentukannya, karena tidak masuk dalam daftar Prolegnas RUU Prioritas tahun 2017, program penjaminan polis dapat dilakukan dengan mengamendemen UU No 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai satu UU untuk penjaminan simpanan nasabah bank sekaligus perlindungan pemegang polis asuransi.
Semoga momentum bersih- bersih OJK 2017-2022 yang baru dilantik dapat menempatkan skema perlindungan pemegang polis dalam satu napas jaring pengaman sistem keuangan yang bebas dari moral hazard dan pemburu rente.
IRVAN RAHARDJOKOMISARIS INDEPENDEN AJB BUMIPUTERA 1912,TAHUN 2012-2013
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Oktober 2017, di halaman 7 dengan judul "Aji Mumpung Asuransi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar