Pemprov DKI Jakarta sudah berencana memperlebar trotoar di Jalan Thamrin-Sudirman dengan tujuan membuat pejalan kaki aman dan nyaman. Namun, sangat disayangkan bahwa proyek itu akan menghilangkan ribuan pohon yang selama ini peneduh bagi jalan protokol tersebut.
Memang, menurut Pemprov DKI, pohon-pohon itu bukan ditebang, melainkan dipindahkan ke kawasan lain, seperti kebun bibit Srengseng, Ciganjur, dan beberapa ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA).. Namun, pokok soalnya bukan sekadar memastikan bahwa jumlah pohon yang ada di seantero Jakarta tidak berkurang, melainkan bagaimana trotoar yang sudah cantik dan lebar tetap nyaman dijalani di tengah deru mesin mobil yang terus-menerus memolusikan udara.
Jalan Thamrin-Sudirman kuyup dengan gedung kantor yang aktivitas utamanya berlangsung dari pagi hingga sore. Bagaimana mungkin mengharapkan trotoar gersang tanpa pohon peneduh itu akan bisa nyaman dilintasi di bawah terik matahari Jakarta yang bisa mencapai 32 derajat celcius?
Seharusnya, pohon-pohon rindang itu bisa diangkat dan ditanam kembali dengan lebih rapi di tepian trotoar baru, bukan malah dipindahkan ke tempat yang sudah relatif hijau. Coba lihat trotoar Orchard Road di Singapura yang superlebar, tetapi tetap menjaga kelestarian pohon-pohon besar yang menjadi tempat bersarang ribuan burung.
Trotoar seharusnya hanya untuk pejalan kaki, bukan juga untuk sepeda. Kalau mau membuat jalur khusus sepeda, itu harus tetap berada di atas jalan, bukan di trotoar. Kalau perlu, dibuat semacam pembatas yang memisahkan jalur sepeda dengan jalur mobil.
GUNAWAN SETIOWIJOSO
Jl Kawi Kios 24-25, Bareng, Klojen, Malang, Jawa Timur
Tanggapan Panitia Simposium Bedah Tragedi 1965
Sehubungan dengan tulisan Kiki Syahnakri di Kompas (26/9) halaman 6, "Penuntasan Konflik 1965", kami selaku Panitia Sim- posium Nasional "Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan" yang diselenggarakan di Hotel Aryaduta, Jakarta, 18-19 April 2016, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Simposium Aryaduta, menyampaikan beberapa hal.
Kepanitiaan Simposium Aryaduta diketuai oleh Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo (ketua panitia merangkap ketua komite acara) dengan Suryo Susilo (Ketua Forum Silaturahmi Anak Bangsa/FSAB) sebagai ketua komite pengorganisasi dan Mayjen Pol (Purn) Sidarto Danusubroto (anggota Wantimpres) selaku ketua Dewan Penasihat.
Dengan dukungan Kemenko Polhukam dibentuklah kepanitiaan yang melibatkan wakil kalangan perguruan tinggi dan akademisi, Komnas HAM, Dewan Pers, sejarawan, dan beberapa aktivis.
Kemudian diundang sebagai narasumber dan peserta simposium unsur-unsur dari pemerintah, praktisi hukum, aktivis HAM, ahli sejarah, ahli psikologi dan disiplin ilmu lainnya, tokoh masyarakat, para veteran, aktivis Angkatan '66, pemuka agama, dan wakil berbagai organisasi seperti Pepabri, Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD), Angkatan Laut (PPAL), dan Angkatan Udara (PPAU), Pemuda Panca Marga, FKPPI, Pemuda Pancasila, juga komunitas korban Peristiwa '65 seperti Pakorba, IPT'65, termasuk juga YPKP'65.
Dengan demikian, tidak benar apabila dinyatakan bahwa penyelenggara Simposium Aryaduta adalah YPKP'65 dengan dukungan pemerintah seperti yang ditulis oleh Kiky dalam artikel tersebut.
Kami sampaikan hal ini untuk mendudukkan fakta yang sebenarnya dan sekaligus koreksi untuk diketahui masyarakat.
SURYO SUSILO
Atas Nama Panitia Simposium Aryaduta
Museum Itu Rusak
Untuk mengenang jasa Mendur Bersaudara, pada 11 Februari 2013 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan Monumen dan Museum Alexius Impurung Mendur dan Frans Soemarto Mendur di Kelurahan Talikuran, Kecamatan Kawangko Utara, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.
Minggu lalu, saya mengunjungi monumen dan museum yang di dalamnya terdapat galeri foto ini. Saat ini beberapa foto sudah rusak; gambarnya pudar.
Foto Soekarno membacakan teks Proklamasi tak lagi tergantung di dinding, tapi dibiarkan di lantai. Beberapa tripleks terlepas dan dibiarkan jatuh ke lantai. Mohon perhatian penanggung jawab museum.
HOCK FERDY WINDAH
Jalan Domas, Sidorejo, Salatiga, Jawa Tengah
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Oktober 2017, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar