Kekhawatiran orang bahwa teknologi informasi komunikasi (TIK) telah jadi awan setan di langit dan siap melanda siapa pun yang tidak siap mulai tampak. Kita dapat mengenang teknologi nuklir yang bisa sangat efisien menghasilkan tenaga listrik, juga pada pemanfaatan lain bisa menjadi senjata mahadahsyat.
TIK dalam satu atau dua dasawarsa terakhir menjadi alat ampuh untuk beragam tujuan. Pada dekade 1990-an, dalam wujud surel dan SMS, ia menjadi sarana ampuh menggalang demo, termasuk aksi Reformasi di Indonesia.
Memasuki abad ke-21, dengan Facebook dan Twitter, yang lalu dikenal dengan sebutan media sosial (medsos), mendapat wajah dan peran baru. Ia memiliki karakter yang lazimnya dikaitkan dengan media konvensional, seperti informing (memberi informasi),engaging (mengikat), dan involving(melibatkan).
Di sini teman lama bisa ditemukan kembali, paguyuban tumbuh subur, reuni makin mudah digelar, dan komunikasi antarsaudara dan handai tolan mudah terselenggara. Namun, itu baru satu dimensi. Dimensi lainnya, medsos juga berpotensi dan ampuh untuk menggalang opini, atau untuk menggerakkan demo.
Dalam berita Kompas (2/10), medsos disebut berperan besar dan positif menggulirkan Arab Spring, yang mewujud dalam gerakan prodemokrasi yang berbuntut pergantian sejumlah rezim di Timur Tengah. Namun, setahun terakhir, kondisinya berubah. Medsos digunakan sebagai alat manipulasi untuk mengganggu Pilpres AS. Kini, sudah umum medsos digunakan untuk menyebarkan fitnah, kabar bohong, hujatan. Dunia maya dalam lingkup medsos faktanya telah menjadi medan laga perang informasi.
Dalam tulisan di New Policy Institute, peneliti Tim Chambers mengatakan, maraknya bot atau akun otomatis untuk membuat topik yang dipilih menjadi viral amat berbahaya bagi pemilu, dan buntutnya juga bagi demokrasi. Petisi, hasil jajak pendapat, dan rekomendasi dipalsukan, tambah Chambers. Medsos yang diharapkan jadi alat kebebasan berekspresi berubah jadi alat penguasa untuk mengontrol kehidupan. Oleh sifatnya yang global, dampaknya pun dirasakan jauh di negara yang jadi sasaran. Ini sungguh satu unexpected consequence yang luar biasa.
Pada sisi lain, masyarakat pengguna medsos punya ketergantungan, kalau bukan kecanduan, terhadap medsos. Bahkan, mereka lebih terampil menggunakan dan tidak atau belum siap memikul konsekuensinya. Padahal, di sini ada potensi perang informasi yang tidak hanya meliputi perang elektronik, perang siber, tetapi juga perang psikologis, termasuk pula manipulasi persepsi dan opini.
Pengguna medsos harus lebih cerdas dan tangguh memanfaatkan, tak sekadar menggunakan, medsos. Orang bahkan harus siap tempur menghadapi lawan tak kasatmata, tetapi hadir di layar komputer dan gawai.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Oktober 2017, di halaman 6 dengan judul "Menghadapi Wajah Ganda Medsos".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar