Tujuan utama dari revolusi rakyat di negara-negara Arab, termasuk Mesir, adalah menciptakan sistem politik yang lebih perwakilan dan partisipatori, sistem ekonomi yang lebih adil, dan peradilan yang independen.

Akan tetapi, sepertinya, tujuan tersebut sulit atau sekurang-kurangnya belum akan terpenuhi hingga saat ini. Bahkan, pemilu presiden yang akan dilaksanakan pada 26-28 Maret mendatang pun memberikan isyarat kuat belum terpenuhinya harapan rakyat yang tujuh tahun silam mengobarkan revolusi yang berakhir dengan tumbangnya pemerintahan Presiden Hosni Mubarak yang dianggap tidak adil dalam banyak hal, termasuk dalam bidang politik dan ekonomi.

Menurut berita yang tersiar, Abdel Fatah el-Sisi, yang kini menjabat sebagai presiden setelah menyingkirkan presiden terpilih dalam pemilihan demokratis pertama setelah revolusi, Muhammad Mursi, merupakan satu-satunya kandidat presiden. Kandidat lainnya, satu per satu, hilang.

Salah satu calon lawan El-Sisi, yakni mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Sami Anan, ditahan dengan tuduhan pemalsuan tanda tangan dan penghasutan. Calon lainnya, Khaled Ali, pengacara hak-hak asasi manusia, batal mendaftarkan diri karena para pendukungnya ditahan.

Persoalannya menjadi sangat lain, andai kata, El-Sisi menjadi satu-satunya kandidat presiden dalam pemilu mendatang karena memang tidak ada tokoh lain yang sehebat dia; atau tidak ada tokoh lain yang mendapat dukungan dari rakyat. Apabila demikian yang terjadi, memang, ia dipandang sebagai satu-satunya tokoh yang mampu menyelamatkan Mesir saat ini, yang menghadapi banyak persoalan, antara lain masalah keamanan.

Akan tetapi, El-Sisi menjadi satu-satunya kandidat presiden karena para kandidat lainnya "dicegah maju" dengan berbagai cara. Dua kandidat dari sipil pun—Khaled Ali dan Mohammed Anwar—memilih mengurungkan pencalonannya.

Tentu, apa yang terjadi di Mesir ini menjadi isyarat yang tidak baik bagi perkembangan demokrasi di negeri berpenduduk sekitar 96 juta jiwa itu. Memang, harus diakui, bukan hanya Mesir, masalah kepemimpinan menjadi persoalan besar bagi negara-negara di kawasan Timur Tengah. Sebelum Revolusi Musim Semi 2011, hampir semua negara di Timur Tengah dipimpin oleh para tokoh kuat, yang memiliki dan berusaha menggenggam kekuasaan selama-lamanya; sementara sejumlah negara lainnya berbentuk kerajaan. Negara-negara yang dipimpin oleh tokoh-tokoh kuat dan sangat berkuasa itu sebut saja Libya, Tunisia, Mesir, dan juga Suriah.