KOMPAS/HANDINING

.

Efek ekor jas (coat-tail effect) adalah salah satu pertanyaan penting semua aktor politik di Indonesia menjelang pemilihan umum serentak 2019. Fokus soal adalah: apa pengaruh elektoral calon presiden terhadap partai pengusungnya? Karena pengusung calon presiden pasti koalisi sejumlah partai, pertanyaan menjadi bertambah: terhadap partai pengusung yang bukan partai asal calon presiden, apa pengaruh elektoral yang dibawa seorang calon presiden?

Kajian ilmiah mengenai efek ekor jas (EEJ) umumnya didasarkan pada penelitian pemilu serentak dalam sistem presidensial dua partai seperti, utamanya, di Amerika Serikat (AS). Kesimpulan umumnya adalah terdapat hubungan yang positif antara kekuatan elektoral seorang calon presiden dan partai yang mengusungnya. Artinya, seorang calon presiden atau presiden yang populer dengan tingkat elektabilitas yang tinggi akan memberikan keuntungan positif secara elektoral kepada partai yang mengusungnya sebagai calon.

Sebaliknya, seorang calon presiden atau presiden yang tidak populer dengan tingkat elektabilitas yang rendah akan memberikan dampak negatif kepada perolehan suara partai yang mengajukan dia sebagai calon presiden.

Sebagai ilustrasi, dari perspektif EEJ, kemenangan telak Partai Demokrat, baik di DPR maupun Senat AS, pada Pemilu 2008 antara lain akibat tingginya popularitas dan elektabilitas Barack Obama yang juga memenangi kursi kepresidenan. Sebaliknya, kekalahan telak Partai Republik, baik di DPR maupun Senat AS, pada pemilu itu antara lain diakibatkan rendahnya popularitas dan penerimaan masyarakat AS terhadap George W Bush yang diusung partai tersebut pada pemilu sebelumnya.

Akibat adanya EEJ ini, di setiap pemilu AS yang berlangsung setiap dua tahun (untuk DPR dan Senat) selalu ada fenomena calon anggota DPR atau Senat yang ramai-ramai mengasosiasikan dirinya dengan calon presiden atau presiden yang populer. Sebaliknya juga terjadi fenomena calon anggota DPR atau Senat yang ramai-ramai menjauhkan dirinya dari seorang calon presiden atau presiden yang tidak populer atau tidak disukai masyarakat ketika pemilu akan berlangsung.

Untuk Pemilu 2018, yang akan memilih kembali semua anggota DPR dan sepertiga anggota Senat, para calon dari Partai Republik mencoba sedapat mungkin menjauhkan diri dari Donald Trump. Presiden Trump adalah seorang presiden AS yang sangat tidak populer sepanjang sejarah Amerika. Selama tahun pertama kepresidenannya, tingkat kepuasan publik terhadapnya hampir selalu di bawah 40 persen.

Jadi, EEJ adalah fenomena yang sangat penting dalam siklus pemilu serentak dalam sistem presidensial. Fenomena yang sama juga terjadi untuk pemilu dalam sistem presidensial multipartai seperti di Amerika Latin. Dalam sistem multipartai di mana presiden dicalonkan oleh koalisi partai pengusung, yang sudah pasti adalah ada hubungan positif antara calon presiden dan partai dari mana presiden berasal. Meskipun masih terbatas jumlahnya, kajian ilmiah juga menunjukkan adanya hubungan positif antara calon presiden dan kekuatan elektoral partai-partai anggota koalisi pengusung calon presiden.

Namun, ada syaratnya, partai-partai koalisi yang bukan partai sang calon presiden harus menunjukkan asosiasi yang kuat dengan sang calon. Dengan kata lain, partai yang dianggap paling kuat asosiasinya dengan calon presidenlah yang akan memperoleh dampak (baik positif maupun negatif) dari popularitas dan elektabilitas sang calon.

Dalam penelitian mereka mengenai EEJ di Brasil dan Chile, Andre Borges dan Mathiu Turgeon (2017) menemukan apa yang mereka sebut diffused coattail effect yang dapat kita terjemahkan bebas sebagai EEJ yang terdistribusi secara tidak proporsional. Dalam pemilu serentak di Brasil dan Chile, partai yang dianggap partai formatur koalisi (pembentuk koalisi, yakni presiden) memperoleh dampak EEJ paling besar. Adapun partai-partai anggota koalisi lainnya memperoleh dampak EEJ tergantung pada kuat lemahnya asosiasi mereka dengan sang formatur koalisi di mata publik pemilih.

Dengan demikian, besar kecilnya pengaruh EEJ terhadap partai anggota koalisi di luar partai presiden atau calon presiden akan sangat tergantung pada seberapa kuat dan efektif upaya partai-partai tersebut mengasosiasikan dirinya dengan sang calon presiden atau presiden yang mereka usung.

Skenario untuk Pemilu 2019

Karena ketentuan soal ambang batas pencalonan presiden 20 persen telah ditetapkan final oleh Mahkamah Konstitusi, pasti pencalonan presiden dalam pemilu serentak 2019 akan berbentuk koalisi. Dengan asumsi koalisi Presiden Jokowi solid, maka hanya akan ada dua kubu calon presiden, yaitu kubu Jokowi dan kubu Prabowo Subianto.

Kalau koalisi Jokowi tidak solid, ada kemungkinan muncul poros baru. Yang pasti, semua kubu pasti berbasis koalisi. Dapat diduga kita akan menemukan fenomena diffused coattail effect.

Kubu Jokowi adalah kubu yang calon presidennya relatif paling jelas saat ini, yaitu Jokowi sendiri. Karena itu kita bisa mulai menganalisis fenomena EEJ yang terdistribusi tidak proporsional tersebut.

Indikasi adanya diffused coattail effectsudah mulai terlihat di kubu Jokowi. Dalam sejumlah survei nasional Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) sepanjang 2017, tingkat kepuasan publik (approval rating) terhadap presiden stabil di kisaran 65-70 persen. Ini diikuti dengan tingkat elektabilitas yang paling kuat dibandingkan calon-calon lawannya meskipun, menurut sejumlah pihak, belum aman.

Pada saat yang sama, tingkat elektabilitas partai presiden, yakni PDI Perjuangan (PDI-P), juga stabil di kisaran di atas 20 persen. Fluktuasi angka PDI-P juga sejalan dengan fluktuasi angka untuk Jokowi. Jika angka Jokowi naik, angka untuk PDI-P juga naik, dan sebaliknya.

Karena angka untuk partai-partai lain, dibandingkan perolehan suara Pemilu 2014, cenderung stagnan atau turun, naiknya suara PDI-P dapat dijelaskan oleh tingkat popularitas dan elektabilitas Jokowi, kader PDI-P yang sedang menjabat presiden. Dengan kata lain, patut diduga ada EEJ di sini.

Karena sejumlah partai di luar PDI-P sudah menunjukkan kepada publik, resmi atau tak resmi, bahwa mereka akan mencalonkan Jokowi kembali sebagai presiden dalam Pemilu 2019, fenomenadiffused coattail effect sudah mulai relevan. Golkar dan Nasdem adalah dua partai yang paling menonjol dalam hal ini.

Akan tetapi, mengapa perolehan suara keduanya stagnan dan cenderung lebih rendah dibandingkan Pemilu 2014? Dalam survei eksperimen oleh SMRC pada Desember 2017 ditemukan bahwa ada korelasi positif yang signifikan antara mencalonkan Jokowi dan tingkat elektabilitas Golkar. Jika Golkar mencalonkan Jokowi, elektabilitas Golkar meningkat, jika tidak mencalonkan Jokowi atau mencalonkan yang lain, elektabilitas Golkar cenderung stagnan atau menurun.

Manuver partai

Mengingat Golkar termasuk partai yang paling gencar mengampanyekan pencalonan kembali Jokowi, seharusnya dalam perspektif EEJ, suara Golkar pada Desember 2017 tidak stagnan atau menurun dibandingkan Pemilu 2014. Penjelasan soal ini kemungkinan ada dalam tubuh Golkar sendiri. Kita tahu sepanjang 2017, Golkar didera masalah serius korupsi. Bahkan ketua umumnya ketika itu, Setya Novanto, menjadi tersangka megakorupsi KTP elektronik. Survei SMRC Desember 2017 juga menemukan, masyarakat memersepsikan Golkar sebagai partai yang paling korup dibandingkan partai lain.

Kemungkinan yang terjadi adalah, suara Golkar sepanjang 2017 menurun tajam dibandingkan Pemilu 2014, tetapi penurunan itu dinetralkan oleh EEJ sehingga Golkar tetap berada pada posisi kedua atau ketiga dalam berbagai survei nasional elektabilitas partai-partai.

Nasdem adalah juga partai yang paling gencar mengampanyekan pencalonan kembali Jokowi. Namun, seperti Golkar, elektabilitas Nasdem masih belum beranjak atau malah turun menurut berbagai survei SMRC. Fenomena untuk Nasdem kemungkinan disebabkan upayanya untuk secara kuat mengasosiasikan diri dengan Jokowi belum sekuat Golkar atau upayanya masih belum efektif. Akibatnya, EEJ belum terlihat di Nasdem. Penjelasan yang sama bisa diberikan untuk partai lain anggota koalisi Jokowi yang dalam pandangan publik mungkin akan mencalonkan kembali sang presiden untuk periode kedua.

Mengingat adanya EEJ ini, sepanjang tahun politik 2018 dan 2019 tampaknya kita akan mendapati makin banyak partai anggota koalisi Jokowi yang menggencarkan upayanya mengasosiasikan diri lebih kuat dengan presiden untuk mendapatkan EEJ yang positif. Tentu ini dengan catatan apabila tingkat kepuasan publik kepada presiden tetap di angka yang tinggi seperti saat ini.

Partai anggota koalisi Jokowi yang merasa tidak mempunyai kemampuan atau kemauan untuk mengasosiasikan diri dengannya punya satu pilihan: mencari calon yang lebih populer dan membangun asosiasi yang kuat dengannya. Di luar itu, partai-partai oposisi mungkin juga akan mulai memperjelas bangunan asosiasinya dengan calon nomor dua terpopuler saat ini, yaitu Prabowo, atau calon lain yang dianggap bagian dari kubu Prabowo.