TOTO SIHONO

  

Pilkada serentak yang akan dilaksanakan 27 Juni 2018 menyisakan tanda tanya soal seberapa inklusif sistem politik Indonesia mendorong partisipasi politik perempuan.

Lihatlah data rekapitulasi kandidat yang sudah dilansir di laman resmi Komisi Pemilihan Umum. Dari total 573 calon gubernur dan bupati yang akan berkompetisi di 171 daerah, hanya ada 49 perempuan. Untuk calon wakil gubernur dan wakil bupati, kondisinya hampir sama. Dari 573 calon, perempuan berjumlah 53 orang saja.

Yang paling parah kalau kita menilik data calon pemimpin di tingkat provinsi. Dari 58 pasang calon gubernur dan wakil gubernur yang akan berlaga Juni, hanya ada dua calon gubernur dan lima calon wakil gubernur perempuan. Ini berarti secara keseluruhan jumlah calon perempuan hanya 3,4 dan 8,6 persen.

Memang minimnya partisipasi perempuan dalam politik juga terjadi di negara maju. Di Amerika Serikat, misalnya, hanya ada enam gubernur perempuan dari 50 negara bagian. Namun, jika dibandingkan kondisi Indonesia memang menyedihkan. Dari 34 provinsi, tak satu pun gubernur perempuan sedang menjabat.

Angka tersebut tentu bukan hal yang menggembirakan. Di tengah semangat global yang ingin meletakkan partisipasi perempuan sebagai arus utama politik modern, kita boleh melihat ini sebagai sebuah kemunduran.

PBB, misalnya, menempatkan kesetaraan jender sebagai satu dari 17 sustainable development goals, target pembangunan berkelanjutan yang disepakati secara universal. Salah satu indikator kesetaraan jender adalah persamaan kesempatan sekaligus persamaan representasi politik kaum perempuan.

Tren pengarusutamaan perempuan dalam politik hari ini tentu dilakukan dengan alasan- alasan mendasar. Laporan Inter- Parliamentary Union, lembaga nirlaba yang bekerja sama dengan parlemen di seluruh dunia, menyebutkan, dibandingkan dengan laki-laki, anggota parlemen perempuan di mana pun cenderung mementingkan isu-isu sosial sebagai prioritas legislasi. Isu- isu ini antara lain hak-hak pensiun dan jaminan hari tua, cuti melahirkan, tempat penitipan anak, dan kesetaraan pendapatan.

Isu sosial tersebut sering secara sinis dianggap sebagai "agenda perempuan". Pandangan seperti ini kurang tepat dan senyatanya tidak menggambarkan tuntutan hidup yang kian kompleks dewasa ini.

Ambil contoh tempat penitipan anak. Ini adalah hak pokok yang sudah seharusnya menjadi keprihatinan kita bersama. Di kota sebesar dan sesibuk Jakarta, idealnya sudah harus ada inisiatif yang digagas oleh pemerintah provinsi untuk menciptakanpublic day care. Sekurang-kurangnya pemerintah provinsi menekan perusahaan-perusahaan besar (atau dengan memberikan insentif pajak, misalnya) agar menyediakan tempat penitipan anak yang aman dan nyaman agar kedua orangtua si anak bisa bekerja dengan tenang.

Isu kepastian soal jaminan hari tua juga tak kalah penting. Jaminan hari tua bisa menjadi program perlindungan sosial bagi setiap pekerja menyongsong hari tua. Dengan kepastian ini, para pekerja yang sudah tua tak perlu terlalu mengkhawatirkan nasib anak-anaknya ke depan jika kelak mereka pensiun.

Karena itu, "agenda perempuan" tak boleh dilihat secara sempit. Justru isu-isu sosial ini jika dilaksanakan secara efektif dapat mendatangkan kesejahteraan yang bisa dinikmati semua orang, tak hanya kaum perempuan.

Dua sebab

Mengapa partisipasi calon perempuan dalam Pilkada 2018 demikian rendah? Apa yang bisa dilakukan agar ke depannya jumlah calon perempuan bertambah? Betapapun pentingnya dua pertanyaan ini, kita hanya bisa menjawabnya secara spekulatif.

Kita bisa menyebut setidaknya dua hal. Pertama, kultur politik yang masih feodalistik dan patriarkal. Kedua, rendahnya pengetahuan publik soal kesetaraan jender. Sudah jadi rahasia umum, mayoritas parpol di Indonesia berjalan atas kontrol pendiri partai. Meritokrasi tidak pernah secara sungguh-sungguh dijalankan dan tergantikan oleh patronisme politik yang kental.

Kita juga sangat jarang mendengar ketua atau pengurus perempuan di tingkat DPP, DPD, atau DPC. Sebagian besar keputusan-keputusan strategis partai, seperti pencalonan kepala daerah atau penentuan nomor urut kandidat dalam pemilu, dikerjakan oleh pengurus laki-laki.

Secara tak langsung, hal ini boleh jadi mengecilkan peluang perempuan untuk diusung sebagai kandidat di dalam pemilu.

Yang menyedihkan, kalaupun ada politisi perempuan yang menduduki jabatan publik di tingkat nasional dan daerah, posisi tersebut didapatkan lebih karena faktor kekerabatan. Misalnya, ia anak perempuan atau istri seorang pejabat tinggi atau pimpinan partai tertentu, bukan murni karena kualitas personalnya yang menonjol. Ini membuat kita patut skeptis soal sejauh mana keberadaan mereka di jabatan publik benar-benar merepresentasikan "agenda perempuan".

Soal lain, lemahnya pemahaman masyarakat tentang kesetaraan jender. Pandangan dikotomis bahwa perempuan harus mengurus masalah domestik rumah tangga dan laki-laki sebagai pencari nafkah masih sangat mengakar di Indonesia. Padahal, tuntutan kehidupan saat ini yang ditandai biaya hidup yang kian tinggi seharusnya membuat cara pandang dikotomis perlahan-lahan memudar.

Selain itu, di sejumlah tempat di Indonesia ada aturan-aturan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan, seperti pemberlakuan jam malam dan larangan keluar tanpa ditemani mahram (suami atau saudara kandung). Dalam konteks kampanye politik di pilkada, aturan seperti ini jelas membatasi ruang gerak kandidat perempuan dalam berkampanye dan mendekatkan diri ke konstituen.

Rendahnya pemahaman akan kesetaraan jender membuat calon perempuan sulit bersaing dengan calon laki-laki di pilkada. Ini karena banyak pemilih yang masih menilai jabatan politik, seperti kepala daerah dan anggota Dewan, adalah jabatan laki-laki.