Dengan tumbangnya pelbagai rezim di dunia Arab yang dikenal sebagai Kebangkitan Dunia Arab (Arab Springs), media sosial sering dianggap sebagai alat positif demokrasi.
Filsuf Jerman, Jurgen Habermas, walau mengakui internet mengaktifkan para pembaca dan penulis dari akar rumput secara bebas dan egaliter, pesimistis karena internet hanya membawa diskusi yang terfragmentasi dan tidak berakhir pada satu ruang publik. Menurut Habermas, dengan meningkatnya opini oleh massa, meningkat pula kebutuhan dan peran pers berkualitas, baik majalah politik maupun surat kabar nasional.
Namun, filsuf Søren Kierkegaard (1813-1855) dari awal sudah melihat cacat ruang publik pada media massa saat itu karena: (1) setiap orang dapat beropini, padahal tidak memiliki pengalaman langsung atau bukan ahli dalam hal tersebut, serta (2) orang yang beropini tidak diwajibkan atau memiliki tanggung jawab atas pendapat tersebut.
Kondisi dan ciri era pasca-kebenaran
Setidaknya ada tiga kondisi yang mendukung tumbuhnya era pasca-kebenaran saat ini. Pertama, pada level filosofis, berkembangnya pemikiran-pemikiran pascamodern yang menggugat obyektivitas, universalitas kebenaran, kemapanan konsep kebenaran klasik sebagai kesesuaian antara pernyataan dan kenyataan. Manusia seolah-olah dihadapkan pada banyak jenis kebenaran sehingga berkata benar, benar versi siapa?
Kedua, dukungan keberadaan teknologi yang mempermudah penciptaan teks/gambar/video, menggandakan, memanipulasi, menyunting, dan menyebarkan secara masif melalui internet. Setiap orang dapat menjadi pembuat dan penyebar berita saat ini.
Terakhir, ketiga, pola pikir masyarakat pelaku sendiri yang ditandai budaya instan: ingin berhasil, sukses, terkenal, tampil secara mudah/cepat atau ingin segera menyelesaikan masalah yang kompleks atas perasaannya yang tidak aman, terancam, teraniaya sehingga sering kali jalan yang ditempuh adalah cara instan dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam hal ini proses berpikir yang ketat dan sulit pun sering diabaikan.
Indonesia pun tidak terkecuali memasuki era pasca-kebenaran. English Oxford Dictionary mendefinisikan pasca-kebenaran (post-truth) sebagai "berkaitan atau menunjukkan keadaan saat fakta obyektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan emosi dan kepercayaan pribadi".
Ralph Keyes dalam buku The Post Truth Era, Dishonesty and Deception in Contemporary Life (2004) menyatakan era ini ditandai dengan kebenaran diganti dengan yang sekadar dapat dipercayai. Manipulasi kreatif dalam kebohongan dilakukan, termasuk penggunaan eufimisme (misalnya kata "gusur" diganti dengan "geser"). Data yang diinginkan dipotong, dipilih, disunting untuk suatu kesimpulan yang diinginkan pelaku bagi pendengarnya. Dusta pun berganti dengan istilah yang indah: "kebenaran alternatif" atau "fakta alternatif".
Istilah fakta alternatif digunakan konselor Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Kellyanne Conway, ketika membela penyebutan jumlah hadirin inaugurasi Trump oleh Sean Spicer yang diklaim melebihi jumlah hadirin inaugurasi pada waktu Barack Obama, tanpa sumber yang jelas ataupun komparasi waktu yang tepat. Padahal, data penumpang angkutan dan bukti perhitungan fotografis menyatakan klaim Spicer tersebut salah.
Berbohong karena banyak yang percaya sudah tak lagi dianggap berbohong dan tidak lagi menimbulkan rasa malu/berdosa, bahkan jika itu digunakan atas nama agama. Segenap kesalahan/keburukan tertutupi dengan emosi dan kepercayaan massa sehingga fakta obyektif menjadi kurang memiliki pengaruh.
Masyarakat ataupun hukum sepertinya tidak dapat berbuat apa-apa dan menelan itu semua karena massa yang percaya padanya juga banyak jumlahnya. Sesat pikir ini dalam logika disebut sebagai argumentum ad populum, "dianggap benar" karena yang percaya banyak, dengan didukung penyebaran masif oleh industri hoaks seperti sindikat Saracen.
Filsuf seperti Immanuel Kant sudah menyatakan bohong adalah tetap bohong dan pada dirinya adalah jahat. Entah dibilang dengan niat baik atau buruk, karena pertama-tama kebohongan menghancurkan martabatnya sebagai manusia, merugikan orang lain, dan masyarakat dengan merusak tatanan hukum.
Sementara Francis Fukuyama dalam bukunya, Trust, sudah menunjukkan bahwa dengan adanya tingkat kepercayaan yang tinggi, yang ditandai dengan kejujuran, masyarakat memperoleh keuntungan stabilitas politik dan ekonomi yang kuat. Tanpa adanya kepercayaan, biaya melakukan bisnis akan naik banyak karena pelbagai kecurigaan masyarakat. Bahkan, Fukuyama tidak segan- segan menggariskan bahwa di setiap masyarakat yang berhasil secara ekonomi mereka dipersatukan oleh kepercayaan, nilai yang lebih besar daripada kepentingan diri atau golongan saja. Era pasca-kebenaran justru menggantikan dasar peradaban dan negara yang sehat, yakni kepercayaan dengan dasar yang rapuh yang dipenuhi kecemasan dan kecurigaan. Ketika Indonesia terus dihadapkan dengan fantasi sebagai fakta, masyarakat akan kehilangan landasannya dalam kenyataan, saling curiga serta terpecah belah yang akan merugikan secara politik dan ekonomi Indonesia secara keseluruhan.
Menghadapi era pasca-kebenaran
Bagaimana kita harus menghadapi bahaya era pasca-kebenaran ini? Pertama, walau terdengar klise, angkat kembali soal kejujuran sebagai syarat penting dalam berkata dan bertindak. Nilai yang diakui bersama semua agama dan kepercayaan ini harus jadi titik tolak dalam menolak pelbagai kebohongan yang ada.
Segenap kebohongan menggunakan internet perlu ditanggapi dan dikoreksi secara bersama-sama menggunakan teknologi internet pula. Masyarakat harus memilih dan menilai kejujuran seorang calon pejabat berdasarkan karakter yang dapat dilihat dari rekam jejak yang panjang, bukan ucapan saat menjelang pemilihan umum. Media internet dapat menolong mengangkat rekam jejak para pejabat/ calon pejabat ini juga. Sementara janji yang sudah diucapkan wajib ditagih dan jangan didiamkan, untuk melawan kebohongan.
Kedua, hukum harus berpihak pada kejujuran dan harus dapat menghukum setiap kebohongan dan jangan biarkan yang jujur terhukum atau tidak mendapatkan penghargaan. Setiap opini harus disertai tanggung jawab si pembawa berita. Ia tidak boleh berlindung atas nama massa/masyarakat/agama ataupun anonim dan tidak bisa dikenai tanggung jawab atas kebohongan atau fitnah yang dilakukan. Negara harus meniadakan impunitas terhadap kesalahan yang diperbuat. Dalam hal ini, pendaftaran KTP untuk setiap nomor telepon seluler memang perlu untuk menghindari anonim dan pertanggungjawaban bilamana diperlukan. Setiap kebijakan dari pemerintah pusat atau daerah yang menguntungkan kebohongan atau ketidaktransparanan wajib digugat/dikoreksi.
Ketiga, peranan pers yang berkualitas dibutuhkan untuk mengimbangi hoaks atau berita yang tidak benar. Masyarakat dituntut untuk merujuk pada media tepercaya yang dapat diuji secara waktu.
Keempat, dengan informasi berlimpah, justru pendidikan yang wajib dikuatkan adalah kemampuan berpikir logis dan kritis serta pendidikan Pancasila. Pendidikan berpikir logis dan kritis agar generasi muda mampu membedakan informasi benar atau sampah, menghindari pelbagai sesat pikir ataupun bias, serta mampu mengambil kesimpulan secara benar. Pendidikan Pancasila agar mampu merekatkan segenap golongan di Indonesia dengan dasar nilai-nilai bersama dan untuk kepentingan seluruh bangsa, bukan pada satu golongan semata.
Kelima, sesungguhnya internet hanya menciptakan koneksi, bukan relasi. Kesetiakawanan sosial, kerja sama riil, serta komunikasi antar-golongan ataupun antaragama tetap perlu ditingkatkan dalam praktik hidup sehari-hari dan dalam dunia nyata. Soekarno menyebutnya sebagai gotong royong. Jika itu dilakukan, empati dan relasi riil sebagai satu warga negara Indonesia dapat mengikis banyak prasangka dan kecurigaan di masyarakat. Demokrasi, apalagi yang bermusyawarah dan bermufakat, tidak bisa diciptakan hanya melalui internet, tetapi membutuhkan juga interaksi nyata dalam kehidupan sehari-hari oleh para pelakunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar