PRAYOGI DWI SULISTYO

Sastrawan Suminto A Sayuti (Kiri) menegaskan, karya sastra loka harus dikaji sesuai dengan budaya tempat asal karya tersebut diciptakan pada Seminar Antarbangsa Kesusastraan Asia Tenggara yang diselenggarakan Majelis Sastra Asia Tenggara di Jakarta, Senin (11/9/2017).

Apa yang memungkinkan kota-kota di mancanegara menjadi bagian dalam karya-karya sastra Indonesia? Beberapa karya sastra Indonesia yang mengangkat latar kota-kota di luar negeri dan berbagai peristiwa di dalamnya ditulis oleh para pengarang Indonesia yang tengah atau pernah berada di mancanegara.

Sebagian dari mereka mengikuti studi lanjut, seperti Budi Darma di Amerika. Ada juga sastrawan yang sudah menetap di Jerman, seperti Suprijadi Tomodiharjo yang banyak berkisah tentang eksil Indonesia di Eropa. Di Belanda pengarang asal Indonesia, Joss Wibisono, tinggal di sana dan menuliskan cerita-cerita bertema pascakolonial. Novelis Iwan Setyawan berada di Amerika untuk bekerja dan menarasikan kisah berlatar negeri Paman Sam. Sementara Aan Mansyur terinspirasi kisah dalam film Ada Apa dengan Cinta 2yang juga mengangkat latar Amerika hingga Aan menulis Tidak Ada New York Hari Ini.

Selain karena kesempatan para pengarang Indonesia pergi dan tinggal di Eropa dan Amerika, kemunculan kota-kota di dua wilayah mancanegara tersebut dalam karya sastra Indonesia sering kali merupakan konsekuensi relasi historis antarbangsa yang melahirkan narasi penjajahan, migrasi, komunitas diaspora, dan fenomena eksil. Kota-kota besar, seperti New York dan Amsterdam, dikenal sebagai kota-kota modern yang multikultural, karena dinamis, terus berkembang, dan dihuni juga oleh para pendatang.

Jika Budi Darma banyak mengeksplorasi tokoh-tokoh kulit putih secara dominan, misalnya dalam novel Olenka dan kumpulan cerpen Orang-orang Bloomington, pengarang Indonesia yang melahirkan buku tahun 2000-an, seperti Joss Wibisono, Iwan Setyawan, dan Aan Mansyur, lebih terfokus untuk menggambarkan kota-kota tersebut sebagai ruang bagi dinamika kehidupan Indonesia.

Tumpuan asa

Kota-kota di Eropa dan Amerika banyak menjadi tumpuan harapan para pendatang. Ruang metropolitan di negara-negara pelaku penjajahan yang dalam kajian post-colonial disebut "pusat" menjadi bagian dari obsesi dan mimpi orang-orang dari negeri yang (pernah) dijajah. Dalam novelet Nai Kai (2017) karya Joss Wibisono, gambaran tentang seorang dari Indonesia yang sukses di Amsterdam membuktikan bahwa orang dari negeri terjajah bisa mengaktualisasikan diri dan meraih kesuksesan.

Nai Kai adalah budak dari Indonesia yang dibawa ke Belanda oleh seorang tuan Belanda. Di "Negeri Kincir Angin" itu Nai Kai sukses menjadi penyanyi orkestra dan menjadi artis berpengaruh. Di mata Nai Kai, Amsterdam adalah kota yang indah dan mewah.

Pernyataan tersebut di satu sisi memang menunjukkan penilaian terhadap Amsterdam sebagai kota yang mengagumkan. Namun, di sisi lain dia seperti ingin mengkritisi perkembangan ibu kota Belanda itu. Sebagai negara bekas penjajah Indonesia, Belanda telah mengeruk banyak keuntungan dari eksploitasi alam Indonesia yang sangat mungkin digunakan untuk membangun kota-kota di Belanda.

Sebagai orang yang berasal dari bumi Indonesia, Nai Kai tak mau begitu saja menyerahkan seluruh hatinya untuk Belanda, untuk kota Amsterdam, seperti pernyataannya, "Dari Kanal, Amsterdam tampak lebih mewah, ya? … lebih menarik lagi mencari tahu dari mana keindahan dan kekayaan ini berasal."

Amsterdam dengan demikian adalah ruang bagi Nai Kai untuk mengkritisi sekaligus beraktualisasi diri, meraih asa, dan berkreativitas. Nai Kai tidak hanya berekspresi di gedung kesenian Belanda, seperti di gedung Felix Meritis di Keizersgracht, Amsterdam, tetapi juga di Jerman. Dengan melakukan lawatan untuk konser ke sejumlah kota di Eropa, Nai Kai telah mendekonstruksi stereotip budak dan julukan inlander yang dulu dilekatkan pada diri, kemudian menjelma figur yang diterima dan diapresiasi oleh masyarakat Eropa

Membangkitkan kenangan

Para pendatang dari Indonesia yang tinggal di luar negeri sering kali tak bisa melepaskan diri dari berbagai kenangan selama mereka di Indonesia. Kenangan-kenangan yang muncul dalam pikiran tentang negeri asalnya, Indonesia, bisa menjadi obat kerinduan. Dalam novel 9 Summers 10 Autums karya Iwan Setyawan (2011), kota New York menjadi ruang bagi "aku", tokoh utama dan sahabatnya, seorang bule asal Kanada, untuk mengenang kembali waktu yang telah mereka lewati ketika berada di Indonesia. Sang sahabat, Nico, adalah pelajar asal Kanada yang dulu pernah mengikutistudent exchange di kota asal sang tokoh utama, yaitu Batu, Jawa Timur.

Sementara itu, penyair Aan Mansyur melalui puisinya "Tak Ada New York Hari Ini" (2016) menggambarkan aku liris yang tak bisa lepas dari bayang-bayang masa lalu. Aku liris seperti teraleniasi di New York: Tidak ada New York hari ini/Tidak ada New York kemarin/Aku sendiri dan tidak berada di sini/Semua orang adalah orang lain/Bahasa ibu adalah kamar tidurku/Kupeluk tubuhku sendiri,/Dan cinta—kau tak ingin aku/Mematikan mata lampu/ Jendela terbuka/Dan masa lampau memasukiku sebagai angin….Menegasikan "New York", aku liris seperti ingin menjauh dari kota itu, menghapuskan ingatan dan pengalamannya. Namun, kenangan, masa lalu di tanah airnya, tak pernah bisa dilupakannya.

Baik Aan Mansyur maupun Iwan Setyawan menggunakan New York dalam karya mereka, tetapi keduanya menampilkan Central Park secara berbeda. Aan Mansyur menampilkan Central Park secara muram karena sang aku liris tengah larut dalam kesedihan. Sementara Iwan Setyawan menggambarkan Central Park di musim semi yang menjadi latar pertemuan dua sahabat yang tengah merasakan bahagia karena bisa bertemu setelah lama berpisah. Upaya keduanya untuk mengingat kembali masa-masa indah yang telah dilewati menunjukkan harmoni alam (Central Park) dan orang-orang di dalamnya.

Dalam puisi Aan Mansyur yang berjudul "Pagi di Central Park" suasana terasing dan kesepian juga terasa. Aku liris seperti kesulitan untuk menumbuhkan rasa bahagia di New York. Kesedihan aku liris dalam penggalan puisi di atas dikonstruksi melalui suasana yang tidak menyenangkan, seperti melalui gambaran gelandangan yang tidak dikenal. Lebih jauh, suasana alam di Central Park juga tidak mendukung, "kolam yang dalam dan diam" bukanlah lanskap keindahan yang membuat riang. Suasana ini diperparah dengan memori aku liris atas seseorang di Indonesia. Pada konteks ini, kota New York telah menjadi bagian yang mengonstruksi kondisi psikologis aku liris yang terasing dan mengalami kegalauan.

Membaca karya sastra Indonesia yang menggambarkan kota-kota di Amerika dan Eropa, kita akan diantarkan dalam narasi lintas batas dengan gambaran yang tidak hanya geografis, tetapi juga sosial dan kultural tentang tokoh-tokoh berlatar Indonesia. Sering kali kota-kota itu di satu sisi menjadi ruang yang membuat orang Indonesia terjebak dalam kenangan. Sementara di sisi lain kota-kota itu juga menjadi ruang bagi orang-orang Indonesia untuk beraktualisasi diri dan meraih impian.