Proses pembahasan akhir dari RUU Pertanahan yang sedang berlangsung memperlihatkan bahwa pemerintah dan DPR berniat segera mengesahkan RUU Pertanahan.
Salah satu titik pembahasan utama dalam RUU Pertanahan adalah pendaftaran tanah. Hal ini sangat terkait dengan pembahasan bab lainnya, yaitu reforma agraria, penyelesaian konflik pertanahan, dan desain kelembagaan pertanahan cum agraria kelak. Beberapa pokok pikiran tentang pendaftaran tanah sistematis belum sepenuhnya diatur oleh perumus RUU Pertanahan.
Pertama, tujuan utama dari pendaftaran tanah bukanlah penerbitan sertifikat hak atas tanah. Pendaftaran tanah haruslah dilakukan secara sistematis dari desa ke desa secara partisipatif sehingga seluruh wilayah Indonesia punya peta bidang tanah. Dengan demikian, pendaftaran tanah sistematis dan lengkap sebenarnya ditujukan untuk mendapatkan informasi bidang tanah hingga potret ketimpangan di satu wilayah. Ini adalah informasi penting dalam mendesain kebijakan pembangunan ekonomi wilayah, pajak pertanahan, dan aneka kebutuhan lainnya. Dalam reforma agraria, pendaftaran tanah menyediakan data pertanahan yang akurat tentang obyek dan subyek reforma agraria.
Karena tujuan yang demikian, maka wilayah berlaku pendaftaran tanah di Indonesia haruslah pada seluruh tanah di Indonesia. Pemisahan rezim tanah antara Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) haruslah dihentikan oleh RUU ini kelak. Seluruh tanah di Indonesia yang dibedakan secara fungsi ke dalam kawasan hutan dan non-hutan tidak menghilangkan kewajiban bahwa semua tanah wajib didaftar, dicatat, jelas lokasinya dalam peta, jelas hubungan hukumnya terhadap tanah oleh sebuah instansi pertanahan tunggal yang bersih.
Kedua, RUU Pertanahan harus mengatur secara jelas kewajiban institusi pertanahan menjalankan proses pendaftaran tanah secara partisipatif dan transparan. Keterbukaan sistem pendaftaran tanah, proses pemberian hak dan penerbitan sertifikat hingga akses publik terhadap dokumen-dokumen itu mesti diatur dengan baik dan terang. Karena itu, perancang RUU wajib mengaitkannya dengan UU Keterbukaan Informasi Publik yang telah berlaku.
Pandangan dalam Kementerian ATR/BPN yang menganggap warkah tanah dikecualikan dari informasi publik tidak dapat diteruskan, apalagi dibenarkan. Pemerintah punya kewajiban bahwa semua proses pemberian hak pada dasarnya adalah pelayanan publik yang terbuka. Tahun lalu, Mahkamah Agung juga telah memutuskan dokumen HGU adalah dokumen publik. Sebagai catatan, putusan ini belum dijalankan oleh Kementerian ATR/BPN.
Berangkat dari pendaftaran tanah, RUU Pertanahan penting memberikan mandat kepada pemerintah untuk membangun Sistem Informasi Pertanahan Nasional (SITN) yang dapat diakses publik. Sistem ini adalah ciri pokok dari negara modern terkait pertanahan yang hingga kini belum direalisasikan secara nasional. Dalam mewujudkan hal ini, selain koordinasi lintas kelembagaan, akan mendorong pemerintah mengedepankan penggunaan teknologi informasi secara menyeluruh terkait dengan tanah. Apalagi, dalam sistem informasi pertanahan akan dapat memperlihatkan kesatuan data antara nomor kependudukan, perpajakan yang berpadu, dan pertanahan.
Perlu keterbukaan
Karena keterbukaan tersebut, sistem informasi pertanahan yang terbuka selalu dapat banyak tentangan. Selama ini, ketertutupan informasi pertanahan telah menyembunyikan data tentang ketimpangan dan celah menghindari kewajiban menjalankan reforma agraria. Ketertupan juga berelasi dengan percaloan, spekulasi tanah, menutupi kekayaan pribadi yang diperoleh dengan cara buruk, hingga penghindaran pajak.
Selain itu, dalam RUU Pertanahan DPR hendak mengatur batasan luas tanah kepada korporasi. Sekali lagi, pendaftaran tanah dan sistem informasi pertanahan merupakan dasar penting mengatur pembatasan luas.
Dengan informasi pertanahan yang baik, data daerah terkait kepadatan penduduk dan ketimpangan tanah akan terpampang. Inilah dasar utama pembatasan luas. Para perumus RUU Pertanahan harus mendorong pemerintah menggunakan cara pandang ini dalam mengatur pembatasan luas, yakni ketimpangan dan kepadatan penduduk. Selama ini angka luasan, semisal 10.000 hektar, tidaklah mencegah pengusaha memonopoli tanah luas. Hanya dengan membentuk badan hukum usaha baru, atau anak usaha, perusahaan dapat kembali memperoleh tanah.
Hal tersebut diperburuk karena pemberian hak atas tanah tak memperhatikan prioritas hak atas tanah pada lapangan usaha agraria sebagai mana diatur dalam UUPA Pasal 12 dan 13. Pasal ini mengingatkan kepada pemerintah bahwa pemberian HGU kepada perusahaan bukanlah prioritas, dibandingkan dengan pemberian HGU kepada koperasi yang dimiliki masyarakat sebagai usaha menciptakan pertanian modern yang dimiliki rakyat.
Mengacu pada pembahasan- pembahasan di atas, kita membutuhkan desain baru kelembagaan pertanahan yang kredibel dan dipercaya rakyat. Dalam RUU Pertanahan mestilah diatur tentang proses penataan kelembagaan ATR/BPN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar