AP PHOTO/VINCENT THIAN

Pengendara sepeda motor melewati jalan yang berada di bawah bendera koalisi Front Nasional atau Barisan Nasional di Kuala Lumpur, Malaysia, Selasa (10/4/2018). Pemilu Malaysia ditetapkan berlangsung pada 9 Mei mendatang. Kubu oposisi menilai tanggal pemberian suara yang ditetapkan jatuh pada tengah pekan itu merugikan penentang Perdana Menteri Malaysia Najib Razak, politisi yang tergabung dalam koalisi Barisan Nasional.

Malaysia sebentar lagi mengadakan pemungutan suara dalam rangka pemilihan anggota parlemen. Bagi PM Najib Razak, pemilu ini mungkin yang terberat.

Dalam pemilu tersebut, ada dua kekuatan utama yang bersaing ketat. Salah satunya ialah koalisi Barisan Nasional (BN), tempat Najib bernaung. Adapun kekuatan utama lainnya, Pakatan Harapan, "dipimpin" oleh Mahathir Mohamad, mantan Perdana Menteri Malaysia yang menyeberang dari kubu Najib.

Situasi menjelang pemungutan suara pada 9 Mei mendatang tidak menguntungkan Najib dan kubunya. PM Malaysia ini sejak beberapa tahun terakhir terseret kasus dugaan penyalahgunaan dana perusahaan milik negara 1MDB. Penggelapan uang terjadi hingga lintas negara sehingga Amerika Serikat dan sejumlah negara lain ikut menyelidiki dugaan korupsi tersebut.

Selain korupsi, isu peningkatan biaya hidup rakyat juga menerpa Najib dan kubunya. Penyebab kesulitan itu, diklaim oleh kelompok yang berseberangan dengan Najib, ialah pajak pertambahan nilai yang diterapkan pemerintah dalam rangka mendongkrak pendapatan negara.

Dalam wawancara dengan kantor berita AP, beberapa hari lalu, Mahathir mengklaim ada tren perubahan dukungan kelompok masyarakat Melayu. Mereka perlahan-lahan kini beralih mendukung oposisi. Hal ini tampak pada sejumlah kegiatan yang diadakan Pakatan Harapan.

Mahathir yang mundur pada 2003 setelah berkuasa selama 22 tahun memperkirakan oposisi memerlukan tambahan 30 persen suara dari kelompok pendukung Najib agar Pakatan Harapan bisa memenangi pemilu. Peralihan dukungan yang diklaim oleh Mahathir itu diharapkan bisa memenuhi persentase tersebut. Bagaimanapun, menurut pria berusia 92 tahun itu, di tengah tekanan terhadap Najib, tetap tidak mudah untuk merebut kekuasaan. Peluang untuk mewujudkannya tak lebih besar dari 50 persen.

Di sisi lain, melihat riwayat dua pemilu sebelum tahun 2018, tren perolehan suara sesungguhnya "tidak berpihak" kepada Barisan Nasional. Pada 2008, BN merebut 140 dari 222 kursi parlemen nasional atau Dewan Rakyat. Dengan kata lain, koalisi itu tak mampu merebut dua pertiga kursi parlemen. Padahal, dalam pemilu sebelumnya (tahun 2003), BN yang mengandalkan dukungan masyarakat Melayu di pedesaan meraih 198 kursi atau lebih dari dua pertiga total kursi.

Pada tahun 2013, perolehan BN turun lagi menjadi 132 kursi. Selain itu, meski unggul dari sisi kursi parlemen, BN menghadapi kenyataan pahit bahwa total suara (popular vote) yang dikantongi mereka tidak sampai 50 persen.