"Demokrasi kita adalah demokrasi yang tumbuh dari masyarakat kita sendiri. Bukan demokrasi Amerika maupun demokrasi Eropa."

Soekarno

Kenapa masih ada beberapa pihak di negara ini yang mempersoalkan tentang demokrasi Pancasila? Inilah yang sebenarnya jadi masalah besar.
Dugaan saya, pertama, mereka yang menolak demokrasi Pancasila karena tak paham apa yang dimaksudkan demokrasi oleh Bung Karno. Tak paham karena enggan memahaminya. Ada apriori atas Soekarno. Kedua, karena perbedaan pilihan politik sehingga yang tak jadi pilihannya dianggap salah dan harus ditinggalkan, diganti dengan yang lain.

ANTARA/ASEP FATHULRAHMAN

Sejumlah aktifis JRDP (Jaringan Rakyat Untuk Demokrasi dan Pemilu) mengikuti Konsolidasi Pengawasan Pilkada Bebas Kecurangan di Serang, Banten, Jumat (23/3/2018). JRDP mendorong partisipasi warga agar tahapan kampanye, pemungutan hingga penghitungan suara dalam Pilkada Serentak bebas dari semua bentuk kecurangan dan politik uang hingga bisa terwujud Demokrasi Pancasila yang berkualitas di Indonesia.

Memperhatikan proses demokrasi yang masih awam dan belia di Indonesia, kita dengan mudah dapat menyaksikan sebagian kelompok masyarakat alergi dengan Pancasila dan demokrasi Pancasila sebagai bagian dari milik bangsa ini. Mereka ingin mengubahnya dengan yang lain, yang dianggap lebih sesuai.

Prinsip dasar

Prinsip demokrasi Pancasila itu setidaknya dua hal. Pertama, tanggung jawab pribadi sebagai makhluk Tuhan. Kedua, tanggung jawab sosial sebagai sesama manusia di muka bumi.

Demokrasi semacam itu jelas berbeda dengan demokrasi yang lazim di Eropa dan Amerika. Ditambah lagi demokrasi Pancasila dilaksanakan di atas asas musyawarah mufakat. Berdialog untuk menyelesaikan persoalan adalah jalan utama yang harus ditempuh. Tak ada menang-menangan, merasa paling menang sendiri dan paling hebat sendiri, yang lain jahat dan berengsek.

Demokrasi kita saat ini lazim disebut sebagai demokrasi prosedural. Demokrasi ritual pemilihan umum lima tahunan. Tentu saja ini salah satu elemen demokrasi dalam arti partisipasi politik warga untuk menentukan pilihan politiknya secara bebas dan tanpa tekanan/teror. Demokrasi prosedural adalah demokrasi ritualistik ala Eropa-Amerika yang dikritik Bung Karno.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Pengamat dan praktisi hukum tata negara Refly Harun berbicara dalam diskusi yang mengangkat topik strategi dan tantangan rakyat dalam mengawal dan membangun demokrasi Pancasila di Jokowi Center, Jakarta Pusat, Kamis (16/10/2014). Diskusi dalam rangka menyambut pelantikan presiden Republik Indonesia ke-7 Joko Widodo tersebut juga dihadiri narasumber lainnya seperti , Yudi Latif, Philips J Vermonte, Ray Rangkuti, serta Wandy Nicodemus Tuturoong.

Namun, yang paling prinsip dari demokrasi Pancasila adalah tanggung jawabnya sebagai makhluk individual yang bertuhan. Sebagai manusia bertuhan, maka harus memiliki keyakinan segala sesuatu yang dikerjakan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Khalik, Tuhan Yang Maha Pencipta dan Maha Kuasa. Kuasa atas segalanya, atas makhluk-Nya.

Selain tanggung jawab individual pada Tuhan, juga tanggung jawab sosial. Bukti tanggung jawab sosial adalah jika kita melihat rakyat-masyarakat sengsara, maka kita bertanggung jawab menyelamatkannya. Kita tak eksploitatif atas masyarakat-rakyat melarat dengan pelbagai dalil keagamaan yang indoktrinatif.

Karena itu, tidak berdasar menolak demokrasi di Indonesia. Indonesia menerapkan demokrasi Pancasila karena memang inilah yang paling membedakan dengan demokrasi di negara lain. Di Eropa-AS, Tuhan tidak pernah dibawa dalam proses politik. Politik adalah publik, sementara itu Tuhan adalah privat.


Sementara di Indonesia, Tuhan jadi bagian tak terpisahkan dalam diri seseorang yang lahir dan jadi warga negara Indonesia. Terlebih jika menjadi pejabat publik, politikus atau pun birokrat. Pertanyaan tentu muncul, kenapa orang beriman (bertuhan) tetap korupsi, pongah, angkuh, memandang rendah orang lain, dan diskriminatif?

Semua itu karena Tuhan hanya jadi "teman" ketika mendapatkan musibah. Tuhan jadi "teman" saat menderita. Tuhan bahkan "dibawa" saat menghujat lawan politik. Namun, Tuhan tidak pernah "dihadirkan" dalam ranah publik dan politik secara bersamaan. Inilah yang sedang kita saksikan di negeri ini.

Tuhan hanya jadi milik para pengkhotbah, para guru mengaji, dan kaum alim nonpolitikus. Tuhan tak bersemayam bersama para politikus di negeri yang berketuhanan ini. Inilah malapetaka yang tengah terjadi saat proses demokrasi berjalan nyaris tanpa batas.

Masyarakat pascasekuler

Kini seolah kebenaran itu datang dari mana saja. Bahkan saat ini kebenaran macam itu bisa datang dari igauan, angan-angan maupun utopia yang dirancang untuk menunjuk pada ketiadaannya kepercayaan pada yang selama ini lazim dianggap benar. Berita bohong alias hoaks itulah saat ini yang dianggap kebenaran. Hoaks adalah rezim kebenaran paling mutakhir di tengah masyarakat pascasekuler.

Masyarakat yang lebih percaya pada berita bohong tentu berbahaya untuk kemajuan peradaban bangsa. Masyarakat pecandu hoaks (berita bohong) merupakan ciri-ciri masyarakat tak beradab. Membenci karena berita bohong. Mencaci-maki karena berita bohong. Mencintai juga karena berita bohong. Bahkan membunuh teman juga karena berita bohong.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Mahasiswa bersama Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila Yudi Latief (berkacamata, kiri) melakukan Deklarasi Pancasila di kampus Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Mrican, Yogyakarta, Senin (21/5/2018). Selain untuk menyambut Bulan Pancasila pada Juni mendatang, kegiatan tersebut juga untuk memperkuat penanaman nilai-nilai Pancasila pada generasi muda.

Saat ini kita sedang gencar menikmati berita bohong sebagai rezim kebenaran yang masif. Jika rezim kebohongan ini tak segera kita sadari, yang akan berkembang dalam politik kita tidak lain adalah ketidakpercayaan pada orang lain yang berbeda haluan politik dan paham keagamaan. Mereka yang berbeda adalah lawan yang harus dimusnahkan. Mereka yang berlainan adalah sesat dan kafir. Inilah rezim kebohongan dan ketidakpercayaan yang menjalar di negeri kita ini.

Apakah ini tanda-tanda masyarakat pascasekuler? Tentu bukan! Bryan  S Turner dalam Religion and Society in the Postmodern World (2015) menyatakan, masyarakat pascasekuler adalah masyarakat yang tumbuh subur dalam kesalehan individual. Terlalu banyak individu yang rajin beribadah pada Tuhan. Menghadap Tuhan merupakan kehausan spiritual. Menghadap Tuhan adalah kebutuhan.

Karena itu, tidak benar jika dalam masyarakat yang memiliki paham ketuhanan kemudian meninggalkan ritual-ritual kesalehan individual. Bahwa seseorang sebagai warga negara berhak untuk tidak beribadah pada Tuhan—bahkan tidak percaya pada Tuhan, tetapi tidak untuk mengajak, memamerkan ketidakpercayaannya itu kepada publik. Seseorang tidak dapat seenak hatinya memobilisasi masyarakat lain untuk menolak keberadaan Tuhan dan melawan Tuhan. Ini semua bertentangan dengan demokrasi Pancasila yang berketuhanan.

KOMPAS/DHANANG DAVID ARITONANG

Seminar Membumikan Pancasila, Merawat Kebinekaan di Jakarta, Senin (30/4/2018)

Di situlah masyarakat pasca- sekuler, bukan masyarakat pascakebenaran, yang sebenarnya merupakan masyarakat yang harus saleh secara individual sekaligus saleh secara sosial. Saleh dalam beribadah kepada Tuhan. Saleh pula dalam berpolitik, saleh dalam berekonomi, dan saleh dalam berbudaya. Pendek kata, masyarakat pascasekuler merupakan karakteristik masyarakat yang saleh individual dan sosial. Masyarakat pascasekuler adalah yang tidak tunduk pada rezim kebohongan. Rezim hoaks adalah musuh besar dan utama dari masyarakat pascasekuler.

Demokrasi Pancasila dengan demikian merupakan bukti konkret sebuah gagasan penuh dengan keteladanan, kebajikan, serta kesantunan. Demokrasi Pancasila mengajarkan orang untuk tunduk pada Tuhan dan berbuat bijak dalam bermasyarakat maupun bernegara. Sebaliknya: bukan hadir sebagai manusia pongah, merasa paling benar, paling hebat, dan paling penting.