Harian Kompas secara berturut-turut mengulas dampak penggunaan gawai yang terhubung dengan sistem daring pada anak-anak yang dapat membuat mereka kecanduan.
Dilaporkan, sejumlah anak mengalami "gangguan jiwa" akibat kecanduan gawai (Kompas, 23/7/2018). Diingatkan juga bahwa hal tersebut seharusnya bisa dicegah dengan melibatkan orangtua dan pengelola sekolah dengan membatasi penggunaan gawai pada anak (Kompas, 24/7). Selanjutnya, tentang perlunya kebijakan pemerintah membatasi gawai untuk anak (Kompas, 25/7) dan pada Kompas (26/7) dilaporkan tentang ikhtiar mencegah siswa hanyut dalam tsunami digital.
Itu semua menunjukkan, kecanduan dan dampak negatif gawai pada anak-anak sudah jadi keprihatinan dan masalah mendesak kita bersama. Semua pihak, mulai dari negara hingga keluarga, harus terlibat dalam ikhtiar melindungi anak-anak dari dampak negatif yang muncul dari gawai mereka. Kebijakan pembatasan perlu disambut baik, tetapi harus diimbangi dengan kebijakan literasi digital, termasuk ikhtiar penguatan literasi digital keluarga sebagaimana diulas Dedy Permadi dalam "Darurat Literasi Digital Keluarga" (Kompas, 26/7).
Hal tersebut perlu digarisbawahi kembali mengingat sesungguhnya keluarga berposisi sebagai ujung tombak penting dalam merespons masalah krusial tersebut. Namun, perlu disadari juga, mengemukanya berbagai masalah terkait dampak negatif penggunaan gawai pada anak- anak sesungguhnya juga semakin menyadarkan kita akan efektivitas peran semua anggota keluarga sebagai bagian integral dari lingkungan yang lebih luas, sebagai entitas yang memiliki tanggung jawab menanamkan nilai-nilai mulia sekaligus mampu memproteksi hal-hal negatif.
Hal tersebut dapat dipahami mengingat keluarga merupakan bagian integral dari tripusat pendidikan, yakni keluarga itu sendiri, sekolah atau lembaga pendidikan, dan masyarakat. Anak- anak kita memang memperoleh pendidikan di sekolah dengan berbagai kebijakan formal yang cukup ketat serta mendapat pengaruh dan masukan dari lingkungan masyarakat, tetapi lingkungan keluargalah yang memiliki peran besar sebagai filter moral. Keluarga sebagai inti dari masyarakat yang lebih besar, bagaimanapun, merupakan garda depan dalam proses penanaman nilai-nilai budi pekerti luhur kepada anak-anak.
Peran strategis
Secara sosiologis, keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang berfungsi mengembangkan perilaku anggota keluarga dalam wujud penempaan jiwa dan semangat hidup menuju cita-cita kebahagiaan hidupnya. Setiap keluarga, dalam konteks ini termasuk keluarga Indonesia, dengan demikian memiliki idealisme dalam mengelola hidup demi kebahagiaan semua anggotanya.
Karena itu, terkait posisi strategis dan peran keluarga inilah diperlukan kemampuan mereka dalam penguatan literasi digital. Orangtua dan segenap anggota keluarga yang dewasa tidak boleh sekadar permisif, bahkan tidak tahu-menahu atau tidak punya kepedulian, tetapi semakin dituntut untuk melek digital. Mereka harus memiliki wawasan dan pengetahuan yang cukup seputar perkembangan teknologi informasi dan segala konsekuensinya.
Dalam konteks ini perlu direnungkan kembali pandangan Eric Schmidt dan Jared Cohen dalam bukunya, The New Digital Age: Reshaping the Future of People, Nations, and Business (2013). Schmidt dan Cohen, antara lain, menegaskan bahwa di era digital baru, media daring atau internet berkembang makin besar dan kompleks tiap detik sekaligus merupakan sumber kebaikan yang luar biasa di satu sisi dan benih kejahatan mengerikan di sisi lain. Dewasa ini, kita baru menyaksikan dampak awalnya di panggung dunia dan semua lapisan masyarakat ketika konektivitas semakin mudah terjangkau dan melibatkan segala usia.
Kalau setiap anggota keluarga tidak menyadari fenomena demikian, barangkali sedikit saja yang akan merasa terpanggil untuk memiliki wawasan dan kemampuan yang layak dalam penguasaan dunia digital. Karena itu, orangtua dan anggota keluarga dewasa barangkali hanya bisa melakukan pendekatan konservatif, sekadar memberi nasihat kepada anak-anak agar tidak menyalahgunakan gawai mereka. Ini bisa dipahami mengingat orangtua tidak paham peta jalan dunia digital yang sesungguhnya. Namun, manakala orangtua memiliki kecerdasan atau setidaknya wawasan digital, tentu akan muncul pendekatan yang lebih tepat, tidak berhenti sebatas nasihat dan asal membatasi.
Kasalehan keluarga
Pendekatan itu terkait dengan dua pendekatan yang bisa saling terkait, keluarga sebagai institusi dan companionship (Burgess dan Locke, 1960). Dalam keluarga institusional, hubungan dan dinamika antar-suami-istri dan anggota keluarga ditentukan oleh faktor-faktor di luar keluarga, seperti adat, pendapat umum, dan hukum. Sementara dalam keluarga, companionship lebih didasarkan atas pengertian dan kasih sayang, timbal balik, dan kesepakatan antar-anggota keluarga. Gabungan atas dua pendekatan itu dapat menghasilkan formula bahwa keluarga harus terbuka dan peka terhadap lingkungan sekitar, mampu mengikuti perkembangan, dan senantiasa menambah wawasan. Akan tetapi, di sisi lain, yang tak kalah penting adalah suasana kasih sayang dan komunikatif di antara semua anggota keluarga. Itu semua mencerminkan kesalehan keluarga.
Ibarat pasukan, dalam keluarga seharusnya ada unsur seperti komandan yang berfungsi sebagai unsur pemutus dan ada kepala staf sebagai pelaksana. Menurut tradisi dan konsep keluarga Indonesia, komandan dijabat oleh suami dan istri sebagai kepala stafnya. Terlepas dari itu, keduanya harus kompak dan harmonis. Sesibuk apa pun, mereka tetap harus mengekspresikan tanggung jawabnya pada masa depan anak-anak yang notabene masa depan keluarga dan masyarakat. Dalam konteks inilah, tiap-tiap anggota keluarga dituntut memiliki kesalehan individu yang menopang kesalehan keluarga. Lingkungan keluarga harus memfasilitasi dan mengontrol kesalehan individu, didukung kesalehan sosial dalam lingkungan yang lebih luas.
Dengan berbasis konsep kesalehan keluarga yang terkoneksi dengan praktik kesalehan individual anggotanya dan kesalehan sosial masyarakat, kita bisa mengembangkan suatu model yang tepat bagi pembimbingan anak- anak di era digital dewasa ini agar mereka tidak terjerumus ke ranah kejahatan yang mudah ditemukan di dunia maya. Dengan konsep itu pula, kita bisa menjaga anak-anak agar tetap sehat jiwa raga, terbebas dari jerat kecanduan gawai dan dampak negatif digital yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar