Hari Minggu, 29 Juli 2018, pukul 05.47.39 WIB, wilayah Bali, Lombok, dan Sumbawa diguncang gempa tektonik. Dari hasil analisis, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dalam waktu kurang dari 4 menit sudah dapat mengetahui parameter gempa yang terjadi. Gempa memiliki magnitudo M = 6,4 dengan episentrum terletak pada koordinat 8,4 Lintang Selatan dan 116,5 Bujur Timur, tepatnya di darat pada jarak 47 kilometer arah timur laut Mataram, NTB, pada kedalaman 24 kilometer.
Hasil analisis peta tingkat guncangan (shake map) oleh BMKG, kurang dari 15 menit setelah gempa, memberi informasi telah terjadi guncangan kuat di Lombok bagian utara dalam skala intensitas VI-VII MMI (modified mercally intensity). Berdasarkan data ini diketahui wilayah Lombok utara dan timur mengalami kerusakan. Ternyata benar, sesuai laporan, memang terjadi kerusakan rumah di beberapa tempat di Lombok utara dan timur.
Secara tektonik, Lombok memang kawasan seismik aktif dan kompleks. Lombok sangat berpotensi diguncang gempa karena dikepung dua generator gempa dari selatan dan utara. Dari selatan terdapat generator gempa subduksi lempeng Indo-Australia yang menunjam ke bawah Pulau Lombok, sedangkan dari utara terdapat struktur geologi Sesar Naik Flores (Flores Back Arc Thrusting). Sesar naik ini jalurnya memanjang dari Laut Bali hingga Laut Flores, mencakup utara Bali, Lombok, Sumbawa, hingga utara Flores. Tak heran jika Lombok memang rawan gempa karena jalur sesar ini sangat dekat dengan Pulau Lombok.
Jika kita memerhatikan peta aktivitas gempa atau seismisitas Pulau Lombok, tampak di seluruh wilayah pulau penuh sebaran titik episentrum yang artinya memang banyak aktivitas gempa di Lombok. Meskipun kedalaman hiposenter dan kekuatannya bervariasi, tampak jelas wilayah lombok sering terjadi gempa yang pembangkitnya dari subduksi lempeng, Sesar Naik Flores, serta sesar lokal di Pulau Lombok dan sekitarnya. Dari peta seismisitas ini pun cukup menjadi dasar untuk mengatakan bahwa Lombok memang rawan gempa.
Jika ditinjau dari kedalaman hiposenternya, gempa Lombok merupakan jenis gempa kerak dangkal akibat aktivitas sesar aktif. Ini sesuai hasil analisis mekanisme sumber keluaran BMKG yang menunjukkan gempa yang terjadi memiliki tipe sesar naik. Dengan melihat lokasi episentrum, kedalaman hiposenter, dan mekanisme sumbernya, dugaan kuat yang jadi pembangkit gempa ini adalah Sesar Naik Flores. Sebab, titik episentrum hasil analisis BMKG berada di zona deformasi sistem sesar naik ini.
Bahan pembelajaran
Sejarah gempa dan tsunami akibat aktivitas Sesar Naik Flores cukup banyak. Catatan tertua adalah peristiwa gempa yang memicu tsunami di Buleleng, Bali, pada 22 November 1815. Selanjutnya gempa dan tsunami yang melanda Bali utara, Lombok, dan Bima pada 8 November 1818. Pada 29 Desember 1820 juga terjadi gempa yang memicu tsunami di Bima, selanjutnya terjadi lagi gempa dan tsunami di Bima pada 5 Maret 1836. Gempa Seririt Bali pada 4 Juli 1976 yang menewaskan 559 orang juga dipicu sesar ini. Terakhir, struktur Sesar Naik Flores memicu gempa dan tsunami Flores, 12 Desember 1992, dengan korban jiwa lebih dari 2.500 orang.
Gempa Lombok kali ini dilaporkan merusak banyak bangunan rumah, beberapa jembatan, dan tempat ibadah. Kerusakan sebagai dampak gempa terjadi di Desa Darakunci, Lombok Timur; Desa Sambik dan Desa Pendua, Lombok Utara; serta Desa Tepes Sepakat, Sumbawa Barat. Melihat dugaan pembangkit gempa ini adalah Sesar Naik Flores, tetapi kluster sebaran gempa susulan berarah utara-selatan, maka sangat penting dilakukan survei lapangan.
Data keberadaan rekahan permukaan (surface rupture) dan sebaran kerusakan sangat penting untuk menjawab tanda tanya pembangkit gempa ini sesungguhnya. Untuk itu, BMKG, Badan Geologi, ITB, dan Tim Pusat Studi Gempa Nasional segera memberangkatkan tim survei ke zona gempa Lombok.
Banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh warga, mengapa gempa dengan kekuatan M = 6,4 dapat berdampak sedemikian merusak. Perlu diketahui, zona gempa Lombok, khususnya yang di kawasan pesisir utara dan timur, lahannya tersusun oleh material tanah lunak berupa material pasir dan aluvium. Karakteristik tanah lunak semacam ini dapat menimbulkan resonansi gelombang gempa yang menyebabkan terjadinya amplifikasi guncangan gempa. Belum lagi kondisi struktur bangunan yang rusak ternyata tidak memiliki standar aman gempa. Tingkat kerusakan akibat gempa tidak hanya disebabkan oleh magnitudo dan jaraknya dari episentrum, tetapi kondisi tanah setempat dan mutu bangunan sangat menentukan tingkat kerusakan.
Hasil monitoring BMKG menunjukkan telah terjadi 130 gempa susulan dengan magnitudo terbesar M = 5,7 dan lima di antaranya adalah gempa susulan yang guncangannya dirasakan. Kekuatan gempa susulan tampak fluktuatif dan cenderung melemah. Berdasarkan kecenderungan magnitudo gempa susulan ini tampak kondisi tektonik di zona gempa menunjukkan semakin stabil.
Ada pembelajaran penting yang dapat diambil dari peristiwa ini. Pertama, keberadaan sesar aktif di wilayah Indonesia sangat banyak; ada 295 sesar aktif pembangkit gempa. Memahami keberadaan sesar aktif di dekat kita tinggal sangatlah penting untuk kajian mitigasi dan perencanaan pembangunan infrastruktur wilayah yang aman gempa. Kedua, perlunya sosialisasi mitigasi gempa yang berkelanjutan terkait pentingnya bangunan aman gempa. Hal ini penting karena korban luka dan meninggal bukan disebabkan oleh gempa, melainkan akibat bangunan yang roboh dan menimpa penghuninya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar