Setelah empat tahun berkuasa, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla tak hanya dinilai berhasil menurunkan angka kemiskinan hingga satu digit, tetapi juga sukses menurunkan angka ketimpangan sosial.
Seperti dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan di Indonesia pada Maret 2018 sebesar 9,82 persen, turun dari Maret 2017 yang sebesar 10,64 persen dan lebih rendah dari September 2017 yang sebesar 10,12 persen. Di era Reformasi, baru pertama kali ini tingkat kemiskinan di Indonesia berhasil ditekan di bawah angka dua digit. Sebelumnya, tingkat kemiskinan selalu di atas 10 persen, bahkan mencapai 23,4 persen di 1999, atau selepas krisis 1997-1998.
Untuk rasio gini yang menggambarkan pemerataan pengeluaran, BPS mencatat selama periode September 2017-Maret 2018 angkanya 0,389. Rasio ini membaik dibandingkan Maret 2017 dan September 2017 yang 0,393 dan 0,391. Rasio gini pada Maret 2018 merupakan yang terendah sejak tujuh tahun terakhir.
Di tengah kondisi ekonomi dunia yang memanas akibat perang dagang AS-China, kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Sentral AS, dan situasi politik dalam negeri menyongsong Pemilu 2019, keberhasilan menurunkan jumlah penduduk miskin menjadi 25,95 juta orang per Maret 2018—dari 27,77 juta pada Maret 2017—tentu prestasi tersendiri. Selama tiga tahun terakhir, kebijakan dan program pembangunan yang difokuskan pada pembangunan infrastruktur, investasi sumber daya manusia (khususnya di pendidikan dan kesehatan), serta reformasi birokrasi, menurut pemerintah sudah berjalan pada jalurnya. Sejauh mana penurunan angka kemiskinan benar-benar berlangsung kontinu dan merefleksikan meningkatnya kadar keberdayaan masyarakat miskin?
Menurut BPS, sejumlah faktor memengaruhi penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia. Selain inflasi yang rendah, faktor yang tak kalah penting adalah kucuran bantuan sosial tunai dari pemerintah yang tumbuh 87,6 persen pada triwulan I-2018. Di samping itu, penyaluran program beras sejahtera (rastra) dan bantuan pangan nontunai (BPNT) pada triwulan I-2018 yang sesuai jadwal, dengan realisasi distribusi rastra mencapai 99,62 persen pada Maret 2018, juga menjadi faktor yang mempercepat upaya penurunan penduduk miskin.
Faktor lain yang diduga membuat angka kemiskinan turun hingga satu digit adalah masa dilakukan survei BPS. Ketika survei dilakukan pada saat masa panen raya, tentu wajar jika jumlah penduduk miskin di Indonesia yang sebagian besar petani dan buruh tani menjadi turun.
Berbasis aset
Michael Sherraden (2015) dalam bukunya, Assets and the Poor: A New American Welfare Policy, menyatakan di luar kebijakan penyantunan modal usaha dan bantuan sosial yang sifatnya amal-karitatif, santunan kesejahteraan yang mendorong terjadinya akumulasi aset merupakan cara yang lebih baik untuk mengatasi kemiskinan ketimbang cara-cara yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan langsung konsumsi seperti dilakukan oleh pemerintah pada era sekarang ini ataupun era-era sebelumnya.
Fungsi aset di sini, menurut Sherraden, tidak semata-mata baik untuk dimiliki dan menjadi penyangga kelangsungan hidup masyarakat miskin, tetapi juga akan mampu menstimulasi berbagai macam konsekuensi perilaku, seperti meningkatkan stabilitas keluarga, membuat orang menjadi lebih fokus berusaha, memungkinkan masyarakat miskin berani mengambil risiko, menciptakan orientasi ke massa depan, meningkatkan pengaruh sosial, dan mendorong pengembangan kualitas SDM.
Berbeda dengan pendapatan (income) yang merujuk pada arus sumber daya dalam sebuah keluarga, atau sesuatu yang diasosiasikan dengan konsumsi terhadap barang dan jasa atau pelayanan serta terhadap standar hidup, yang dimaksud dengan aset merujuk pada jumlah kekayaan yang ada dalam keluarga dan implikasinya kemudian.
Jika kebijakan santunan bagi orang miskin biasanya dibangun dengan kerangka income statement, yang lebih mengedepankan arti penting stok keuangan dan akumulasi, maka kebijakan penanggulangan berbasis aset lebih dirancang berdasarkan kerangka neraca keuangan rumah tangga yang didasarkan pada arti penting tabungan, investasi, dan akumulasi aset ketimbang pada konsep pendapatan, pengeluaran, dan konsumsi.
Sherraden menyatakan aset yang dimiliki dan dibutuhkan masyarakat miskin tidak selalu berupa aset yang nyata, seperti tabungan, properti, dan peralatan produksi, tetapi bisa berupa aset tak nyata (intangible asset). Kemampuan mengakses sumber-sumber permodalan, kepemilikan modal sosial dan modal budaya, koneksi, dukungan organisasi, modal politis, dan sebagainya, meski tak kasatmata, itu semua niscaya akan sangat produktif mendorong peningkatan kadar keberdayaan masyarakat miskin daripada sekadar bantuan modal seperti selama ini dikembangkan pemerintah.
Untuk memastikan agar program penanggulangan kemiskinan benar-benar tepat sasaran dan mampu mengurangi angka kemiskinan secara berkelanjutan, yang dibutuhkan adalah perbaikan pada kualitas belanja negara, khususnya dari sisi distribusi bantuan serta mengoptimalkan efektivitas berbagai dana yang dikucurkan ke masyarakat miskin dalam bentuk aset daripada sekadar bantuan modal usaha. Bantuan untuk si miskin seyogianya tak hanya dilihat sebagai bantuan kemanusiaan, tetapi lebih dipahami sebagai bentuk investasi ke masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar