Dikatakan penyelamat nyawa karena cukai rokok yang disuntikkan pemerintah ke BPJS Kesehatan mampu menggerakkan lagi operasional  rumah sakit dan fasilitas kesehatan (faskes) di seluruh Indonesia, yang hampir berhenti akibat BPJS Kesehatan kehabisan dana akibat   defisit anggaran  dari tahun ke tahun.

Dari sisi ekonomi, alokasi cukai  rokok untuk mengatasi  dampak negatif  akibat rokok sudah sering dilakukan. Penggunaan pajak dosa (sin tax)  juga sudah dilakukan di negara maju yang sangat ketat terhadap peredaran rokok. Saat ini  dampak rokok yang menyebabkan gangguan kesehatan penduduk Indonesia telah diderita oleh warga negara Indonesia dan biaya pengobatan harus dibebankan ke  BPJS Kesehatan, maka alokasi ini sangat tepat.

Walau banyak yang berpendapat subsidi cukai rokok untuk menutup defisit BPJS ini langkah yang merugikan pendapatan daerah penghasil tembakau dan produk olahannya, alokasi cukai ini merupakan langkah darurat untuk menyelamatkan nyawa BPJS Kesehatan yang kritis akibat defisit yang terus berjalan dari tahun ke tahun. Tahun ini saja defisit tersebut diperkirakan menembus angka Rp 10 triliun.

Namun  yang perlu diketahui, subsidi ini bukanlah penyelesaian permanen dari defisit BPJS. Ibarat suatu penyakit, cukai rokok ini adalah obat simptomatik, yakni hanya penghilang gejala yang muncul. Sementara penyebab penyakitnya belum terselesaikan. Ibarat penyakit infeksi bakteri yang menyebabkan gejala panas badan, subsidi cukai rokok ini tak ubahnya obat penurun panas yang bersifat sementara dan akan muncul panas lagi apabila belum diberi antibiotik yang sesuai dengan bakteri penyebab infeksi ini.

Bakteri penyebab infeksi dalam keuangan  BPJS Kesehatan sudah teridentifikasi, antara lain, pertama, ketidaksesuaian antara iuran BPJS   yang dibutuhkan dan iuran premi yang dibayarkan peserta BPJS. Ketidaksesuaian ini menyebabkan "seting rugi" dalam anggaran keuangan BPJS. Kedua, pola penyakit yang berubah, di mana penyakit katastropik banyak diderita masyarakat Indonesia saat ini, seperti jantung, gagal ginjal, kanker, dan stroke. Ketiga, ketidakpatuhan peserta untuk membayar iuran secara rutin setiap bulan.

Naikkan iuran BPJS

Maka, sesungguhnya langkah paling solutif adalah menaikkan iuran BPJS ke nilai premi sesungguhnya. Namun, mengambil langkah ini bukanlah kebijakan yang populis, yang tidak akan diambil oleh pemerintah saat ini, apalagi menjelang pemilihan presiden dan pemulihan anggota legislatif tahun depan.

Menaikkan iuran premi BPJS ibarat menaikkan harga BBM bersubsidi. Akan ada dampak politik yang sangat besar bagi elektabilitas penguasa. Namun, sesungguhnya dampak lanjutan kenaikan premi tidak sebesar dan semasif kenaikan harga BBM bersubsidi atau kenaikan tarif dasar PLN. Sebab, premi asuransi BPJS tidak berhubungan langsung dengan proses produksi ataupun jasa yang berdampak langsung pada kenaikan harga barang.

Dalam kondisi ini dibutuhkan keberanian politik yang kuat untuk menaikkan iuran BPJS agar keberlangsungan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan bisa terpenuhi. Hal ini sudah disampaikan oleh Ikatan dokter Indonesia (IDI) kepada Presiden Jokowi saat bertemu di Istana Presiden, beberapa waktu lalu. Namun, tampaknya Presiden masih menghitung dampak ekonomi dan politik bagi pemerintahannya.

Perkembangan pola penyakit katastropik berbiaya tinggi menjadi tantangan tersendiri bagi bangsa ini. Hal ini berkaitan dengan pola pembangunan kesehatan bangsa dalam beberapa tahun terakhir lebih condong upaya kuratif dan rehabilitatif, dan sedikit melupakan upaya  promotif dan preventif. Padahal, beberapa penyakit katastropik yang sangat banyak menghabiskan dana BPJS sesungguhnya penyakit yang bisa dicegah pada upaya kesehatan promotif dan preventif. Di beberapa negara maju, upaya ini bisa menurunkan penyakit katastropik secara bermakna.

Upaya kesehatan promotif dan preventif yang dulu menjadi program pembangunan  dengan gerakan hidup sehat, yang menjadi prioritas pembangunan saat itu—sebagai bukti ribuan puskesmas dan jutaan posyandu dibangun—dampaknya sangat bermakna untuk mencegah timbulnya penyakit di masyarakat.   Namun, memang disadari bahwa dampak politik dan elektabilitas program pembangunan promotif ini sangat kecil dibandingkan kuratif sehingga kurang menjadi program utama pemerintah pasca-Reformasi.

Ke depan kita berharap pemerintah baru, Jokowi-Ma'ruf Amin ataupun Prabowo-Sandi, bisa merancang sebuah sistem pembangunan kesehatan yang holistik dan berkesinambungan. Hal ini agar permasalahan kesehatan nasional dapat teratasi secara paripurna: bukan hanya masalah kesehatan yang bersifat  kuratif seperti defisit BPJS, melainkan juga masalah kesehatan nasional lainnya yang bersifat preventif dan promotif. Dengan begitu, cita-cita jadi negara sehat dan sejahtera menjadi kenyataan.

Salah satu upaya promotif kesehatan yang harus terus digelorakan adalah  mengampanyekan pola hidup sehat di masyarakat. Di antaranya makan makanan bergizi dan seimbang, olahraga  rutin, dan tidak merokok. Dengan demikian, insiden penyakit katastropik yang umumnya dikarenakan pola hidup tidak sehat (termasuk merokok) bisa turun dan akhirnya biaya pengobatan penyakit ikut turun. Pada gilirannya defisit BPJS pun bisa teratasi. Pola pembangunan seperti ini akhirnya bisa menempatkan rokok pada tempatnya, yakni rokok adalah zat berbahaya  bagi kesehatan dan bukan "pahlawan kesehatan" seperti yang saat ini terjadi.