Deklarasi kampanye damai 23 September 2018 sedikit terganggu dengan langkah elite politik. Kampanye damai dikhawatirkan hanya menjadi sekadar jargon.
Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono walkout dari tempat deklarasi kampanye damai. Yudhoyono memprotes Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena deklarasi damai dilakukan tidak sesuai dengan aturan. Paling tidak itulah kritik Yudhoyono kepada KPU. Namun, kritik itu dibantah oleh KPU.
Media sosial pun gaduh gara-gara cuitan seorang elite politik yang bisa ditafsirkan mendegradasi pasangan calon. Cuitan itu dilaporkan ke polisi. Kegaduhan di media sosial kian menjadi-jadi ketika cuitan elite politik pun ditabuh oleh media arus utama yang meminta tanggapan dari elite politik lain. Polemik pun terus terjadi.
Inikah wujud kampanye damai yang diharapkan? Kampanye damai tidak cukup hanya retorika di atas panggung. Tidak cukup hanya tanda tangan di atas piagam. Kampanye damai menuntut komitmen dan tanggung jawab untuk melaksanakan. Kampanye damai juga bukan berarti hanya terkesan festival gagasan, tanpa adu gagasan dan bagaimana mewujudkan gagasan itu. Kampanye damai harus dimaknai dengan upaya menguliti visi dan misi calon, kemudian memperdebatkannya di ruang publik.
Kita mendorong pasangan calon Joko Widodo-Ma'ruf Amin serta Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mengurai visi dan misi keduanya. Jokowi membawa visi dan misi meneruskan jalan perubahan untuk Indonesia maju: berdaulat, mandiri, berkepribadian, berlandaskan gotong royong. Prabowo-Sandi membawa tema empat pilar menyejahterakan Indonesia.
Membaca visi dan misi kedua pasangan, sebenarnya tidak tampak ada perbedaan signifikan. Kedua pasang calon sama-sama menghendaki Indonesia yang berdaulat di bidang ekonomi dan politik. Pasangan Prabowo-Sandi lebih banyak menekankan pada Indonesia berdaulat yang adil dan makmur dengan mendasarkan pada Pasal 33 dan 34 UUD 1945. Sementara kata kunci dominan dari pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin pada kata gotong royong.
Di bidang hukum, Jokowi-Ma'ruf Amin menginginkan penegakan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya. Sedangkan Prabowo-Sandi menawarkan pembangunan keadilan di bidang hukum yang tidak tebang pilih.
Visi dan misi besar itulah yang seharusnya menjadi bahan kampanye. Visi dan misi bukan hanya sekadar dokumen pelengkap pendaftaran calon ke KPU. Visi dan misi seharusnya diturunkan lebih operasional agar masyarakat memahaminya. Sebut saja mengenai "revitalisasi revolusi mental" yang ada di pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin, harus bisa dijelaskan apa maksud dan bagaimana bentuk konkretnya. Bahasa yang terlalu akademik butuh penjabaran apa yang mau dilakukan.
Kampanye idealnya dimanfaatkan untuk membedah visi dan misi pasangan calon, termasuk operasionalisasinya dalam bahasa rakyat. Kampanye model demikian, disertai dengan debat gagasan, akan membawa pemilu lebih rasional dan mendorong pemilih menggunakan akal sehat sebelum menjatuhkan pilihan.
Kompas, 28 September 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar