AFP/WANG ZHAO

Wakil Presiden Komisi Eropa Jyrki Katainen (kiri) dan Wakil Perdana Menteri China Liu He, Senin (25/6/2018), bersiap untuk mengadakan jumpa pers bersama di Beijing. Uni Eropa meminta China untuk mencegah kelebihan kapasitas di industri-industri, termasuk sektor teknologi tinggi, yang masuk dalam strategi Made in China 2025.

Di tengah meningkatnya pengaruh China, Uni Eropa meluncurkan strategi baru untuk membantu negara-negara Asia melaksanakan pembangunan.

Strategi Konektivitas Asia (Asia Connectivity Strategy)—demikian nama program bantuan yang digagas Uni Eropa ini—disebut akan mengembangkan terutama sektor transportasi, digital, dan energi. Uni Eropa menyatakan strategi tersebut mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan hak-hak pekerja.

Uni Eropa membantah bahwa Strategi Konektivitas Asia bertujuan menyaingi Prakarsa Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI) yang digagas China. Dikutip Financial Times pada pekan lalu, Kepala Urusan Luar Negeri Uni Eropa Federica Mogherini menyatakan, Strategi Konektivitas Asia bukan reaksi terhadap BRI atau prakarsa lainnya. Akan tetapi, sulit kiranya untuk tidak melihat Strategi Konektivitas Asia dalam kerangka merespons proyek jalur sutra modern China yang diluncurkan oleh Presiden Xi Jinping beberapa tahun silam itu.

Proyek ambisius BRI bertujuan menghubungkan tidak hanya Asia, tetapi juga Eropa dan Afrika. Dalam skema BRI, pembangunan infrastruktur mulai dari pelabuhan, jalan raya, hingga rel kereta, yang dibutuhkan negara-negara Asia, Afrika, dan Eropa, akan dibiayai Beijing. Montenegro di Eropa telah menerima bantuan China untuk pembangunan jalan. Ada pelabuhan di Sri Lanka yang juga dibiayai China. Uang dalam jumlah besar dikucurkan China untuk mewujudkan keberhasilan BRI.

Namun, kritik bermunculan. Ketidakmampuan Sri Lanka melunasi utang pembangunan pelabuhan disebut oleh banyak pihak sebagai tanda bahwa BRI memang didesain untuk menciptakan ketergantungan negara-negara itu terhadap China. Beijing membantah anggapan tersebut.

Di tengah kritik atas BRI yang menciptakan ketergantungan, kurangnya transparansi, dan minimnya penggunaan pekerja lokal, muncul gagasan dana pembangunan bagi Asia yang diprakarsai Washington, Juli lalu. Dibandingkan dengan miliaran dollar AS yang telah dikucurkan China, jumlah yang ditawarkan Washington tergolong kecil, 113 juta dollar AS. Belakangan, muncul rencana Uni Eropa ikut membiayai pembangunan Asia.

Situasi ini mengingatkan kembali kepada kita bahwa Asia sekarang merupakan pusat pertumbuhan dunia. Potensi Asia yang besar itu akan terwujud secara maksimal jika sarana infrastruktur mulai dari pelabuhan, pembangkit tenaga listrik, jalan raya, jembatan, hingga rel kereta tersedia secara baik.

China sangat menyadarinya sehingga tanpa ragu dana miliaran dollar AS, bahkan triliunan dollar AS, siap dikucurkannya guna mendukung konektivitas di Asia. Uni Eropa dan AS berusaha tidak kehilangan kesempatan itu. Dengan menawarkan program bantuan, diharapkan pengaruh mereka akan terasa di Asia.

Rasanya kondisi ini perlu kita maknai secara positif: negara-negara yang sedang membangun di Asia memiliki lebih banyak opsi sumber pinjaman. Dengan demikian, risiko ketergantungan dapat dikurangi dan negara peminjam akan lebih diuntungkan


Kompas, 28 September 2018