only the lyrics are messed up".
Hans Christian Andersen
Jika pernah Anda menghadiri sebuah panggung (konser) musik dangdut, saya kira Anda akan merasakan satu hal yang sama: banyak penonton yang menari (berjoget) dengan khusyuknya. Perhatikan lebih saksama. Kekhusyukan itu berlangsung sama persis di lagu apa saja. Tidak peduli judul, isi lagu (lirik), bahkan penyanyinya.
Apa yang membuat mereka tenggelam dalam satu macam suasana hati (emosi) atau batin tampaknya lebih ditentukan oleh satu sebab yang sama: musik. Bukankah itu pula yang Anda lihat dan rasakan ketika memasuki ruang yang jauh lebih eksklusif bahkan elite, katakanlah sebuah diskotek di hotel berbintang. Terlebih saat musik yang menggelegar bergenre house music dengan DJ yang memainkan piringan dan peralatan memanipulasi suara. Semua bergoyang, tidak peduli bagaimana liriknya, tak peduli apa kata-katanya (yang justru kerap dirusak dari aslinya).
Ini bukan sekadar fakta atau fenomena di mana sebuah lagu tetap membekas bahkan abadi walau syair atau kata-katanya diubah dalam perjalanan waktu. Kita tahu banyak sekali lagu, satu bangsa, lagu rakyat, lagu daerah, lagu pop, dan sebagainya yang bertahan begitu lama walau syairnya diubah oleh para penggunanya. Entah dipelesetkan, dibuat parodi, dijadikan negatif, atau diterjemahkan ke bahasa lokal semaunya.
"Lir ilir", "Nina Bobo", "Bubuy Bulan", atau "Kolam Susu" tetap dinyanyikan. Tak peduli liriknya tepat atau kacau. Bukankah ribuan komposisi klasik mulai dari Chopin hingga Haydn, Tschaikoviksy hingga Bernstein lebih banyak tak butuh kata, tetapi dapat mencipta cerita yang membuat pendengarnya menitikkan air mata atau menjadi patriot bangsa.
Beberapa penyanyi masa kini, mulai dari Edith Piaff, Aretha Franklin, sampai Janis Joplin atau yang lebih mutakhir macam Lara Fabian, Whitney Houston, hingga Alexandra Burke (terutama pada singel "Halelluya") adalah maestro melodi yang mampu membawa pendengarnya ke dunia "lain", bahkan saat mereka tak paham bahasa (liriknya). Beberapa penyanyi pada tingkat register, 4-5 oktaf ke atas, dapat membuat kita menangis hanya bersyukur ia diberkahi "suara malaikat" yang menggetarkan dawai di kalbu kita.
Semua itu saya kira menjadi bukti jika sebuah not (suara tunggal berdurasi dan berketinggian) ternyata jauh lebih mampu memengaruhi emosi dan jiwa pendengarnya ketimbang sebuah huruf atau morfem. Keduanya sebagai partikel dasar dari masing-masing seni yang diwakilinya—musik dan sastra—bahkan jadi penuh makna ketika membentuk satuan dasar baru yang membawa pesan: nada dan kata.
Hanya tampaknya, nada sebagai bahan dasar (ingredient) dari melodi ternyata mampu melampaui kata dalam posisinya yang sama sebagai bahan pembentuk kalimat.
Nada memang berbeda secara fundamental dengan kata dalam soal memengaruhi obyek atau pihak yang menerimanya. Nada yang dibentuk atau dicipta secara sengaja sebagai gelombang dengan frekuensi dan amplitudo tertentu, memasuki diri sang obyek langsung pada bagian di mana sebuah gelombang mampu mencapainya. Emosi dan jiwa (psikhe) adalah bagian diri obyek yang secara langsung terpengaruh karena memang alat dan cara kerjanya sama. Sementara kata tertransmisi pada obyek untuk langsung masuk ke bagian kognitif dari kesadaran, yang kebanyakan hanya makhluk bernama manusia punya kemampuan menerima dan memahaminya.
Romantisme penyair
Selama ini kita, dari kalangan sastrawan setidaknya, begitu percaya jika bahasa adalah puncak pencapaian kebudayaan simbolik manusia. Sastra pun dianggap berada di pucuk pohon budaya itu karena ia dianggap mampu merengkuh banyak makna hanya dalam beberapa huruf. Bayangkan, hanya dengan antara 20 dan 30 huruf berbagai bahasa dunia mampu merepresentasikan dunia, kehidupan dan alam nyata, seolah kata dan bahasa menjadi pengganti kebenaran hidup dan alam itu sendiri.
Dalam konstelasi itulah puisi bertengger seolah di ujung tertinggi piramida kebudayaan bahasa. Ungkapan penyair wanita modern Amerika Serikat, Rita Dove, misalnya, banyak diamini pelbagai kalangan, bahwa "puisi adalah bahasa dalam puncaknya yang paling murni dan paling bertenaga". Dan, siapa pernah menolak ungkapan Plato yang menyatakan "Puisi jauh lebih mendekati kebenaran ketimbang sejarah". Bahkan.
HD Thoreau, penyair dan filsuf Amerika ternama awal abad ke-19, itu menegaskan lagi, "Bila puisi menegaskan seluruh kebenaran, filsafat (hanya) mampu menjelaskan sebagian kecil saja dari itu".
Puisi adalah puncak peradaban. Dan, penyair adalah nabi yang menciptakannya. Sekurangnya, ahli filsafat ternama, Karlina Supelli, pernah menyatakan, penyair adalah dia yang berada dalam batas "tugas marjinal" di antara kenabian dan kemanusiaan.
Namun, dalam kenyataannya, kata-kata, sesubtil apa pun, sehebat apa pun klaimnya termasuk mampu merengkuh makna hingga menyaingi mantra, ternyata ia hanya mampu mencapai perangkat fisis obyek penerimanya (reseptor) di level kedua, otak kiri alias kesadaran kognitifnya. Ketika ia berusaha menjangkau lebih dalam, maka ia mendaraskan kata-kata itu dalam bentuk gelombang yang notatif: puisi meminjam melodi, untuk dapat mencapai hati dan jiwa, menciptakan keharuan atau kesadaran (enlightening), apalagi katarsis. Bukan kata berarti tapi nada yang melampaui, bukan puisi yang menggetarkan tapi melodi mengatasi.
Kata yang menghina makna
Fakta yang belum pernah terjelaskan ini, setidaknya di media-media seni negeri ini selama ini, mungkin bisa menjadi bahan penyadaran betapa kata-kata, sehebat apa pun gaya, paralingual hingga pilihan diksinya, bukanlah segala-galanya.
Bukanlah karya budaya yang perlu terlalu dipuja apalagi dijadikan rujukan, terlebih membuat produsennya menjadi orang ternama, selebritas sebagaimana bintang sinema.
Karena kita tahu, terlebih belakangan hari ini, ketika kehidupan berbudaya kita, khususnya dalam berkomunikasi (dengan seluruh perangkat atau media canggih yang digunakannya), telah membuat kita—seluruh bangsa—seperti tenggelam, lebih tepat tercekam, oleh ritus berbahasa dan produksi kata-kata yang bukan melampaui kenyataan yang ingin diwakilinya, tetapi membohongi, memanipulasi, mempermainkan, menghina, hingga membunuh akal sehat yang ada di dalam bahasa itu sendiri.
Kita kini mengalami semacam disrupsi bahasa jika tidak dapat dikatakan wabah atau bencana bahasa, yakni ketika bahasa tidak lagi digunakan atau berfungsi sebagaimana awalnya ia ada. Karena bahasa justru menjadi patetik karena bukan hanya ia merusak komunikasi dan relasi baik yang harus dibangunnya, ia malah merusak bahkan kadang membunuh makna yang tersimpan lama di dalamnya.
Pada titik itulah, kerusakan bahasa atau patetisme linguistik yang ada dalam masyarakat kita memengaruhi para pendekar bahasa, para pengarang dan sastrawan. Jujur saja, mereka yang selama ini dianggap sebagai "Guardian of Galaxy (of Language)" kalah total oleh Thanos yang menjadi sumber sakit jiwa bahasa itu. Para pendekar bahasa itu sudah tidak mampu lagi menjadi ksatria pembawa dan produsen bahasa yang terjaga "moral, etika, dan fungsinya".
Tidak mengherankan dalam situasi budaya semacam itu, puisi kian terpinggir, tersingkirkan, bahkan mungkin mati perlahan atau menjadi zombie. Biar tetap diterbitkan, kumpulan puisi mengonggok di gudang, enggak laku. Merasa hidup segar dan sehat, tetapi itu hanya romantisme, bahkan melodrama karena dalam kenyataannya puisi mati, tidak dihargai sama sekali, dibeli sedikit sekali, bahkan royaltinya tidak cukup untuk biaya hidup sebulan penyairnya.
Melodi sebagai aksi
Gejala di atas juga memperlihatkan bagaimana prosa kini jauh mengungguli puisi, seperti pernah saya tulis lebih dari 10 tahun lalu di harian ini. Lebih menggiriskan, prosa cyber yang dilansir via media-media sosial belakangan ini benar-benar membuat publik di seluruh bangsa kehilangan daya puitiknya.
Keangkuhan, romantisme, apalagi gaya "Chairil" atau "Baudellaire" sudah mampus jadi kuburan yang dicukur semaknya pun tidak oleh anak cucunya.
Tapi, sementara itu, not, nada, dan melodi kini kian membahana. Dalam ukuran apa pun, musik kini menempati posisi teratas dalam piramida kebudayaan kita, juga bangsa-bangsa di dunia. Secara bisnis, mungkin hanya industri persenjataan militer yang mampu mengunggulinya. Perfilman, mungkin menyainginya, tetapi tentu saja hanya itu terjadi di Hollywood (Amerika Serikat) sebagai buah dari operasi intelijen budaya CIA pasca-PD II di seluruh dunia.
Musik ternyata dan memang sebenarnya adalah bahasa paling universal. Saya kira ia juga kesenian, atau penemuan artistik homo sapiens paling purba. Bukan seni rupa apalagi sastra.
Musik sejak awal begitu esensial bagi (hidup) manusia. Tak ada suku bangsa seprimitif apa pun yang tak memilikinya. Dan, melodi adalah satuan terpenting dari musik yang membuatnya bermakna banyak melampaui artistika apa pun.
Sesungguhnya, keindahan dan kekuatan pertama yang kita jumpai dari apa pun bahasa adalah rima atau lagu dan perangkat paralingualnya. Bahkan, hal-hal melodius itu bisa mengubah atau menentukan makna. Bukankah semesta dan hidup ini kita hayati lebih sebagai melodi ketimbang puisi? Bukankah begitu pula kebudayaan dibentuk sejak masa purba?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar