DPR ke Depan Lebih Buruk?
Menyimak "Profil Caleg Tak Banyak Berubah" pada berita utama Kompas (Senin, 24/9/2018) menambah dugaan bahwa kualitas DPR hasil Pemilu 2019 bisa tidak lebih baik dari periode 2014-2019.
Pada era DPR 2009-2014 banyak terjadi skandal. Dari bolos rapat, tidur saat rapat, menonton video porno di gawai saat sidang paripurna, sampai ramai-ramai korupsi. Akankah, DPR 2019-2024 mendatang muncul skandal sejenis atau bahkan lebih buruk?
Menyimak profil caleg pada Pemilu 2019 dibandingkan 2014, memunculkan dugaan tersebut di atas. Berkurangnya caleg berpendidikan di atas diploma/sarjana bisa mengurangi kualitas hasil pemikiran Dewan.
Bertambahnya caleg dengan pekerjaan swasta dan pengusaha bisa memunculkan keramaian baru. Demikian pula dengan masuknya artis menjadi wakil rakyat, yang pada periode sekarang tidak terasa kontribusi pemikirannya, apa yang bisa kita harapkan?
Jika ternyata caleg dengan pendidikan hanya diploma atau kurang yang duduk di kursi Dewan—bukan aktivis organisasi penegakan HAM dan menyejahterakan rakyat atau mantan mahasiswa pergerakan—maka bisa jadi perdebatan berkualitas dalam sidang parlemen akan berkurang. Kalaupun ada, yang terlihat mungkin seperti acara debat kusir. Kualitas undang-undang yang dihasilkan pun menjadi kurang bermutu.
Jangan-jangan, niat mereka menjadi anggota DPR memang sekadar cari duit? Apa bedanya dengan parlemen era Orde Baru: Datang, Duduk, Diam, dan Duit?
A RISTANTO
Agape, Jatimakmur,
Pondokgede, Kota Bekasi
Apa yang Kaucari, Advokat?
Tulisan Luhut Pangaribuan di Opini Kompas (22/9/2018) menimbulkan kesan bahwa seolah-olah advokat itu biang perpecahan. Terbukti sekarang ada 10 organisasi advokat, padahal semula dicita-citakan hanya satu yang disebut single bar. Sekarang tiap organisasi berlomba-lomba merekrut anggota sebanyak mungkin, tak peduli kualitas yang penting kuantitas.
Tiap organisasi advokat berlomba-lomba mengadakan kursus pendidikan advokat dengan biaya bersaing. Calon anggota tinggal memilih mau yang mana; yang penting lulus dan dapat menyandang predikat advokat dengan kartu tanda anggota. Yang baru dilantik menggantung kartu tanda anggota di dada, mondar-mandir di ruang tunggu pengadilan, sambil senyum percaya diri.
Biaya perpanjangan kartu anggota bersaing. Ada yang buka Rp 750.000, ada yang Rp 500.000. Tinggal pilih.
Menyandang predikat advokat itu tak gampang. Normalnya belajar ilmu hukum 5 tahun, ikut kursus advokat 3-6 bulan, magang pada advokat senior 2 tahun. Barulah ia peroleh pengetahuan hukum dan tata cara beracara di pengadilan yang memadai.
Namun, dalam praktik ada advokat yang menggugat sebuah yayasan sebagai badan hukum. Yang digugat hanya yayasan, tanpa disertai pengurus sehingga gugatan tak dapat diterima. Namun, kesalahan cacat normal ini diulangi lagi dengan obyek, subyek, materi kata-kata redaksinya 98 persen sama dengan gugatan pertama.
Seekor keledai tak akan terperosok untuk kedua kali ke lubang yang sama. Dengan kejadian seperti itu, apa daya masyarakat pengguna jasa advokat?
Salam Surjadi
Jakarta Selatan
Ingin Jadi Pegawai
Saya pekerja alih daya sebuah perusahaan BUMN. Di Kompas (22/9/2018) halaman 1 tersua "Tenaga Honorer Diangkat Jadi Pegawai". Pemerintah memutuskan mengakomodasi tenaga honorer jadi aparatur negara yang mencakup 735.825 orang. Pemerintah yang terhormat, saya adalah satu dari ribuan pekerja alih daya di negeri ini. Berharap pemerintah memberi kami kerja dan perhatian yang sama.
Wiwin Siagian
Kp Rawa Terate RT 005 RW 001, Kel Rawa Terate,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar