Ketika sedang berkampanye di Lakeville, Minnesota, seorang ibu pendukung McCain mengeluarkan kata-kata bernada rasis terhadap Obama. Senator McCain serta-merta merebut mikrofon dan memotong pembicaraan ibu itu, "Tidak benar Ibu. Obama adalah kepala keluarga dan warga Amerika yang baik. Saya hanya berbeda pandangan dengan dia tentang isu-isu mendasar negeri ini. Dan inilah tujuan saya berkampanye melawannya. Tidak. Dia bukan orang Arab."

Salah seorang pendukung McCain langsung menanggapi pernyataannya dengan mengatakan ia takut kepada "kepala keluarga dan warga Amerika yang baik" itu. McCain menjawab agar jangan takut kepada Obama kalaupun dia jadi presiden AS. Pernyataan McCain yang terakhir dibalas seruan "huuuu" sambil mengumpati Obama sebagai pembohong dan teroris. Dengan tenang McCain menjawab, "Saya akan berjuang. Berjuang mengalahkan Obama, tetapi dengan cara terhormat. Saya menghormati senator Obama dan segala pencapaiannya."

Dari cerita tersebut ada beberapa hal yang menarik perhatian. Pertama, hoaks dalam suatu kontestasi politik, bahkan dalam pilpres di mana pun, hampir selalu terjadi. Kedua, perlawanan terhadap hoaks yang menerpa Obama justru dilakukan McCain yang notabene adalah kompetitornya. Ketiga, kedewasaan dalam berpolitik dengan menjunjung tinggi moral dan etika untuk bertarung dengan cara- cara yang terhormat. Padahal, AS adalah negara yang demokratis, sekuler, dan sangat bersifat individualistis.

Bandingkan dengan Indonesia yang memiliki nilai-nilai luhur Pancasila, justru penyebaran hoaks melalui media sosial dalam masa—bahkan jauh sebelum—kampanye kian membabibuta. Lebih memprihatinkan lagi, pelakunya tak hanya oknum-oknum tak bertanggung jawab, tetapi juga oleh mereka yang menjadi tokoh publik.

Pemuka agama yang seharusnya menyebarkan kedamaian dan kesejukan justru melontarkan kalimat-kalimat agitasi propaganda, menyebar kebencian dan memfitnah sehingga berpotensi menghasut dan memecah belah bangsa. Artis yang jadi politisi karbitan mengeluarkan umpatan terhadap calon tertentu yang cenderung merendahkan martabat. Ada juga aktivis yang mencari sensasi ataupun motivasinya dengan menyebar berita bohong sehingga menimbulkan kegaduhan di media sosial. Ada pula politisi Senayan yang mengeluarkan ujaran kebencian, padahal seharusnya mengajarkan kesantunan dalam berpolitik.

Sejatinya, kampanye adalah wadah pendidikan politik untuk menyampaikan visi-misi pasangan calon mana kala ia terpilih. Kampanye adalah cara untuk meyakinkan pemilih bahwa ia layak dipilih karena memenuhi kriteria sebagai seorang pemimpin negara. Kampanye adalah cara untuk menunjukkan berbagai prestasi yang telah dicapai sebagai wujud pengabdian terhadap bangsa dan negara sehingga ia tepat untuk dipilih.

Namun, tampaknya visi-misi dan promosi diri terhadap apa yang telah dicapai tidak cukup meyakinkan pemilih untuk memilihnya sehingga perlu menyerang dan mendiskreditkan hal-hal yang bersifat pribadi pasangan calon lainnya. Padahal, secara eksplisit hal ini dilarang dalam kampanye.

Pasal 280 UU Pemilu melarang materi kampanye yang mempersoalkan dasar negara. Demikian juga larangan terhadap materi yang bersifat menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan atau peserta pemilu yang lain. Materi kampanye pun dilarang menghasut dan mengadu domba perseorangan atau masyarakat.

Menjerat hoaks

Dalam perspektif hukum pidana, pada hakikatnya hoaks adalah suatu kejahatan. Salah satu fungsi hukum pidana adalah melindungi kepentingan individu, termasuk di dalamnya perlindungan terhadap martabat dan  nama baik. Substansi hoaks dalam hukum pidana dapat berupa penistaan, fitnah, menyebar kebencian, kebohongan, penghasutan. Oleh karena itu, banyak instrumen hukum yang dapat digunakan untuk menanggulangi hoaks.

Dalam konteks hoaks saat sekarang, paling tidak ada empat instrumen hukum yang dapat dipakai untuk menjerat pelaku: 1) UU Pemilu; 2) UU Informasi dan Transaksi Elektronik; 3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; dan 4) UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

Pasal 280 UU Pemilu berisi sejumlah larangan dalam berkampanye. Kelemahan Pasal a quo, pelaku tak dapat dikenai penahanan karena ancaman pidana di bawah lima tahun (Pasal 521 UU Pemilu). Artinya, tidak memenuhi syarat obyektif penahanan. Selain itu, batasan kampanye juga tidak jelas dan sulit dibedakan dengan kegiatan lain yang acap menggunakan atribut partai sehingga akan menimbulkan perdebatan mengenai usur terminologi kampanye.

Apabila hoaks itu menggunakan media sosial, dipastikan memenuhi unsur dalam UU ITE yang akan di– juncto–kan dengan sejumlah pasal dalam KUHP. Pasal mana yang akan diterapkan tentunya disesuaikan substansi hoaks tersebut. Jika substansi hoaks berupa penistaan, yang tepat diterapkan adalah Pasal 310 KUHP.

Apabila isi dari hoaks adalah fitnah, bisa dijerat dengan Pasal 311 KUHP. Lain halnya jika substansi hoaks berisi kebencian bernuansa suku, agama dan ras, dapat dijerat dengan pasal-pasal penyebar kebencian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 KUHP. Namun, terkadang hoaks tersebut berisi agitasi propaganda yang membakar massa untuk bertindak anarkis. Jika demikian, yang diterapkan adalah Pasal 160 atau Pasal 161 KUHP tentang penghasutan. Jika hoaks tersebut berupa berita bohong yang menimbulkan kegaduhan, dapat dijerat dengan Pasal XIV UU Nomor 1 Tahun 1946.

Dalam menanggulangi hoaks pada masa kampanye, Polri harus bertindak tegas memproses pelaku. Hal ini sebagai terapi kejut untuk mengirimkan pesan kepada publik, khususnya para pendukung pasangan calon, agar berkampanye dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, persatuan, dan kesatuan sehingga tercipta pemilu yang nyaman dan damai.