Yogyakarta, tentu saja, adalah tempat berakar Heri Pemad. Ia memulai segala sesuatu di sana, dari bawah sekali, yaitu sejak ia menempuh studinya di Seni Lukis ASRI/ISI Yogyakarta hingga ia menjadi "penata pameran" terbaik di Indonesia (begitulah pendapat saya) sejak ia bergiat selaku pengantar undangan pameran hingga ia mengukuhkan Art Jog dengan reputasi tinggi.

Dalam pandangan saya, Art Jog (yang sudah berjalan 10 tahun ini) hanya bisa lahir dan tumbuh besar di Yogyakarta, "ibu kota" seni rupa modern/kontemporer Indonesia. Namun, status ibu kota itu, sebelum adanya Art Jog, hanya berlaku bagi kaum seniman, pengamat, sejarawan seni, kolektor, dan pedagang seni. Saya berani mengatakan bahwa sejak adanya Art Jog, terutama dalam enam tahun terakhir ini, Yogyakarta adalah ibu kota seni rupa bagi khalayak luas Indonesia.

Meskipun Yogyakarta adalah dapur utama seni rupa Indonesia sejak masa revolusi kemerdekaan hingga zaman reformasi pasca-Orde Baru hingga hari ini, hanya Heri Pemad (dan tim-nya tentu) yang mampu menghidupkan segala kekayaan potensi dan aktualitas seni rupa itu dalam hubungannya yang erat dengan komunikasi dan apresiasi yang seluas-luasnya di tingkat publik.

Keunggulan Art Jog, bagi saya, terutama adalah karena ia menggabungkan sifat biennale dan sifat art fair. Selaku semacam biennale, ia menampilkan perkembangan mutakhir seni rupa Indonesia dengan pilihan dan sudut pandang yang saksama; sementara—kita tahu—tidak satu pun biennale di Indonesia (termasuk di Yogyakarta sendiri) yang bisa mengelola diri dengan baik. Selaku semacam art fair, Art Jog tidak menempuh konvensi art fair (misalnya dengan menyewakan booth), tetapi menjelmakan diri sebagai semacam seni instalasi raksasa (yaitu karya bersama Heri Pemad dan kaum seniman terlibat), gelanggang pesta tafsir, penikmatan, dan interaktivitas.

Saya sudah mengatakan berkali-kali bahwa Art Jog tak bisa digandakan di kota lain. Tidak akan pernah ada art fair di Indonesia yang bisa berkiprah sebulan penuh seperti Art Jog (ingat, misalnya, bahwa Art Jakarta dan Art Stage di Jakarta hanya berlangsung tiga-empat hari, salah satu sebabnya ialah bahwa sewa tempat—area hotel yang berada di dalam mal—sangat mahal).

Sementara itu, sejumlah biennale seni rupa di Indonesia memang bisa terselenggara sebulan penuh, tetapi jangan pernah membandingkan itu semua dengan Art Jog karena berbagai biennale itu hanya "pameran wacana" yang cenderung gersang.

Bagi saya, Art Jog hanya bisa tumbuh besar karena informalitas Yogyakarta. Yaitu bahwa kehidupan seni-budaya dan segenap perangkatnya di kota tersebut adalah seperti sektor informal berukuran raksasa dan—dalam pendapat saya—ada dalam versinya yang terbaik di Indonesia.

Karena informalitas—katakanlah, misalnya, sifat hubungan perkawanan dan "kekeluargaan", baik dalam hal kreativitas maupun segala bentuk perwujudannya, yaitu jejaring di antara para seniman, para tukang dan perajin, segenap penyedia jasa dan barang, segenap pemilik tempat pameran, dan akhirnya segenap pranata dan sarana wisata, yang menjelma ke sektor modern—itulah Art Jog bisa mulai dan tumbuh jadi besar.

Art Jog mendewasa tidak melulu dan tidak terutama oleh faktor keuangan.

Adalah informalitas berskala dan bermutu istimewa itu pula yang membuat Art Jog mudah merangsang begitu banyak pameran lain Yogyakarta pada saat serentak. Total ada sekitar seratusan pameran selama Art Jog berlangsung, satu sama lain membentuk jejaring bernama Jogja Art Weeks.

Itulah pula jejaring ekonomi kreatif yang bertolak dari segenap daya upaya masyarakat sipil. Jejaring yang sangat berdaya melipatgandakan kepemirsaan dan turisme nasional dan internasional.

Demikianlah, Art Jog adalah jawaban jitu terhadap kerapuhan institusionalisasi dalam medan seni rupa Indonesia.

Simpul dunia

Jika Art Jog sangat diuntungkan oleh "faktor keistimewaan" Yogyakarta (yang tak terdapat di wilayah lain), bagaimana pula dengan Art Bali yang akan dibuka pada 9 Oktober ini dan berlangsung sebulan?

Bali selaku simpul sangat penting dalam pariwisata dunia; dan Bali sebagai lumbung warisan kesenian dan bakat-bakat seni: barangkali dua faktor itu cukup untuk "memukul" Heri Pemad untuk memulai Art Bali?

Bali sudah tentu layak menjadi etalase penting seni rupa kontemporer Indonesia. Namun, selama ini, pariwisata Bali terkungkung ke dalam orientalisme berkepanjangan, neo-orientalisme yang pada akhirnya memberi gambaran bahwa Bali dan segenap Indonesia hanya mampu mengelap-ngelap warisan masa lampau yang berbau kemenyan.

Tentu saja kita tahu bahwa Bali tidak melulu seperti itu. Dengan segenap warisannya, Bali sanggup memberikan jawaban kontemporer untuk segenap permasalahan Indonesia dan global sekaligus.

Ia bukan hanya menghasilkan "seni lukis Bali" yang sudah termasyhur ke seluruh buana, melainkan juga—ke abad ke-20 dan ke-21—sangat berdaya melahirkan seniman kontemporer, seperti Made Wianta, Nyoman Erawan, Made Djirna, Gusti Ayu Kadek Murniasih, Nyoman Masriadi, Made Wiguna Valasara, dan Gede Mahendra Yasa. Para seniman ini telah memberikan Bali yang lain, yang subersif, yang kontemporer.

Art Bali tampaknya harus dilihat sebagai daya upaya untuk membuat jejaring kreativitas, produksi, komunikasi, dan distribusi seni rupa dari hulu hingga ke hilir. Ini jejaring yang belum ada bahkan ketika turisme Bali kini sudah bercorak pascamodern dan transkultural sebagaimana kita lihat pada arsitektur perhotelan dan bisnis kuliner, misalnya.

Sebagai satu contoh sederhana belaka: sekalipun Bali tetap ajek melahirkan bakat-bakat baru seni rupa di alam kemerdekaan Indonesia, sebagian besar nama seniman kontemporer yang disebut di atas (Wianta, Erawan, Djirna, Masriadi, dan Valasara, misalnya) menempuh akademi seni rupa mereka di luar Bali, tepatnya di Yogyakarta.

Belum ada sarana yang cukup untuk menjembatani bakat alam dan pendidikan seni mutakhir antara kekuatan tradisi setempat dan institusi kesenian kontemporer yang melembaga.

Lebih daripada potensinya untuk melahirkan terus-menerus bakat-bakat seni, Bali layak mengembangkan jejaring produksi dan distribusi seni kontemporer yang mendunia, yang memberikan segenap luaran dan jeroan Bali yang bukan sekadar "Pulau Dewata" atau "Pulau Surga".

Art Bali hanya sebuah permulaan yang sederhana. Jika Art Jog sanggup merangsang jejaring Jogja Art Weeks dan membuat kota Jawa dan sekitarnya itu menjadi gelanggang seni kontemporer selama sebulan penuh, dengan cara yang sama—demikianlah kita berharap—Art Bali akan mampu berbuat serupa.

Ya, keserupaan itu akan mulai terlihat dengan cara berhati-hati, dalam skala yang lebih kecil, dalam bentuk Bali Art Road.

Apabila Art Jog lahir di pangkuan Festival Kesenian Yogyakarta dan kemudian memisahkan diri untuk menjadi semacam inti dalam Jogja Art Weeks, kini Art Bali menepatkan waktunya dengan pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia di Nusa Dua—Namun, tentu saja, sebentar lagi, ia harus melepaskan diri segera dari perhelatan negara semacam itu; ia harus mengarungi lautan spekulasi dengan dayanya sendiri.

Jalan bagi Heri Pemad dan segenap pemangku kepentingan seni rupa Indonesia dalam membesarkan Art Bali masih sangat panjang. Selaku "penggemar" Art Jog, saya bubuhkan harapan bahwa Art Bali harus melampaui segala mitos yang membaku-bekukan Bali: ia mesti berupaya keras membangkitkan "desa-desa dunia" di pulau tersebut sebagai simpul-simpul jejaring dapur ataupun etalase seni rupa kontemporer Indonesia yang bersukma global. Di titik ini, saya sadar bahwa saya sudah terlalu banyak berharap.