KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA

Muklis Abdul Kholik (kedua kiri), siswa kelas III SD Negeri 10 Cibadak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, menyalami gurunya sebelum masuk ke kelas, Senin (12/11/2018).

Suatu ketika, saya berkunjung ke Sekolah Anak Berkebutuhan Khusus Bhakti Luhur, Malang. Asisten kepala sekolah menemani saya berkeliling ke kelas-kelas, melihat kegiatan pembelajaran yang sedang berlangsung. Sambil berkeliling, dia bercerita bahwa pendiri sekolah tersebut, Romo Janssen, membangun sekolah itu karena terilhami perjuangan dan bakti Santo Vincentius, salah satu orang kudus yang dihormati umat Katolik.

Di sekolah itu, saya bertemu Ibu Merry, guru kelas di kelas tunarungu tingkat TK B, yang sudah mengajar sejak tahun 1984. Dia bercerita bahwa mendidik anak-anak tunarungu memerlukan kecakapan khusus. Konsentrasi guru untuk mendidik seorang anak tunarungu juga harus tinggi, apalagi kalau ada anak yang mogok belajar atau suka bertingkah semaunya.

Selama mendidik anak tunarungu, Ibu Merry memiliki banyak pengalaman mengesankan. Salah satunya adalah ketika ia mendapat seorang murid yang sama sekali tidak mau belajar. Hampir setiap hari dia hanya tidur, dari pagi sampai siang. Murid bernama Jorei yang bisu, tuli, dan low vision (berkemampuan melihat rendah karena rabun jauh dan menangkap sedikit cahaya) itu pada akhirnya dapat digerakkan motivasi belajarnya. Ibu Merry mendapat sebuah cara untuk mengurangi rasa kantuk murid itu yang dipengaruhi kondisi matanya: mengajar dengan cara menyalakan lampu seterang-terangnya.

Ibu Merry berkata, murid-murid di situ harus diajar dengan menggunakan sebanyak mungkin alat peraga. "Anak-anak seperti ini susah diajak tenang. Jika guru menyampaikan materi hanya dengan berceramah, mereka akan terus bergerak ke sana kemari," katanya. Mengajar anak- anak dengan kondisi demikian, guru harus inovatif dan tak jarang juga atraktif agar anak-anak bisa menyerap pelajaran.

Jorei tidak hanya senang diajar, tetapi juga sangat sayang kepada Ibu Merry. Suatu ketika, Ibu Merry sakit dan harus dioperasi di rumah sakit. Hampir sebulan Jorei tidak bertemu dengan guru kesayangannya itu. Begitu mereka bertemu, Jorei memeluk Ibu Merry erat-erat.

Ibu Merry pun bercerita bahwa murid-murid yang ada di Sekolah Anak Berkebutuhan Khusus Bhakti Luhur lebih banyak yang berasal dari keluarga tidak mampu. "Bahkan, ada yang dulunya di jalanan kemudian dibawa ke sini. Dengan latar belakang seperti itu, saya otomatis tidak terlalu memikirkan gaji. Menjadi pengajar sudah menjadi panggilan dalam hidup saya," katanya.

Menghidupi "panggilan"

"Panggilan"—masihkah kata itu menjadi napas bagi para guru? Belakangan kita mendengar guru-guru honorer berdemonstrasi. Mereka menuntut diangkat menjadi pegawai negeri sipil, tentunya disertai harapan dan keinginan agar kesejahteraan lebih meningkat dan kehidupan lebih terjamin.

Merespons demonstrasi guru, Staf Khusus Presiden Adita
Irawati menyatakan bahwa pemerintah tetap membuka peluang kepada guru honorer, yakni dengan mendaftarkan diri sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) bagi tenaga honorer yang sudah berumur di atas 35 tahun. "Peraturan pemerintah tentang P3K sendiri saat ini tengah difinalisasi," katanya (Kompas.com, 2/11/2018).

Kesejahteraan memanglah penting, tetapi—di sisi lain—seringkah para guru merenungi hal penting lainnya: meningkatkan kompetensi mendidik dan mengajarnya? Tentang hal ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah menyampaikan kritik saat berbicara di Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Gedung PGRI, Jakarta, Juli 2018, bahwa "… sertifikasi itu tidak mencerminkan apa-apa. Bukan dia tersertifikasi berarti profesional menjadi guru." (Kompas.com, 10/7/2018)

Peningkatan kompetensi mendidik dan mengajar bisa menjadi hal yang sering dipikirkan guru jika mereka "terpanggil" sebagai guru. Dalam taraf ini, seseorang menjadi guru bukan semata-mata karena tak ada lagi pekerjaan lain yang bisa ditekuni atau malah menjadi jalan pintas untuk sekadar menyambung hidup.

"Panggilan" berhubungan dengan keyakinan dan kebulatan tekad, yang akhirnya berimbas pada peningkatan kompetensi. "Panggilan" semacam itulah yang mendatangi benak Romo Janssen yang telah meninggal pada 20 April 2017. Ia dikenang banyak orang sebagai pejuang kemanusiaan untuk para penyandang disabilitas. Kisah Romo Janssen dan guru lain di bangsa ini dekat dengan "panggilan". Karena sudah "terpanggil", mereka pun menjadi pahlawan pendidikan yang karya dan pemikirannya terus dikenang.

Sartono Kartodirdjo, sejarawan terkemuka dan guru, pernah menyebutkan bahwa beberapa ilmuwan yang ada di Indonesia lahir karena bagi mereka, … hidup ini tidak ditentukan oleh nasi (dalam Swantoro, 2002). Mereka mendalami sejarah karena mereka benar-benar mencintai sejarah. Ia menceritakan, beberapa orang yang hampir abai terhadap uang, mempelajari sejarah dengan ketekunan yang amat tinggi, hingga ilmu itu bagai jadi sebuah jalan lain untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.

Bukan hanya ilmuwan yang demikian. Jika kita menengok sejarah, para empu pembuat keris atau kitab melakukan hal yang sama. Mereka berpuasa seraya merenung, mendekatkan diri kepada Yang Mahakuasa, bereksperimen, juga berkarya. Hasilnya, karya-karya mereka tahan lama, terus-menerus dipelajari, dan menginspirasi.

Karya yang besar tak serta-merta lahir, tetapi karena sebuah ilmu dan pekerjaan benar-benar digeluti dengan intensitas dan pengorbanan tidak setengah-setengah, bahkan disertai meditasi. Sayangnya, kita hidup pada masa ketika orang berlomba-lomba mengajarkan kesuksesan dengan cara yang mudah, dalam waktu yang singkat, dan menggunakan tenaga yang sedikit. Dengan realitas demikian, masihkah kita menemukan "panggilan" untuk bekerja dan berkarya dengan sepenuh hati, termasuk menjadi guru?
Selamat Hari Guru, selamat menunaikan panggilan hidup di ruang kelas!