"Sebelum kamu menggali lubang, menanam pohon, menyiramnya, dan membuatnya bertahan hidup, kamu tidak berbuat apa-apa. Kamu hanya bicara." –Wangari Maathai, peraih Nobel Perdamaian pada 2004, pendiri Green Belt Movement.
Tak banyak dari kita menyadari, pada Rabu, 21 November 2018, adalah Hari Pohon Sedunia. Pada hari itu sukarelawan Genuk di Semarang, Jawa Tengah, mengajak warga Semarang mencabut paku dari pohon. Warga Padasari, Tegal, bersama ribuan pelajar menanam 4.000 pohon di sepanjang jalan.
Hari menanam pohon ditetapkan tahun 1872 sebagai penghormatan terhadap Julius Sterling Morton (1832-1902) yang dengan gigih menanam pohon di padang rumput dan gurun. Dia memimpikan padang rumput dan gurun menjadi hutan.
Morton yang menjabat sebagai Menteri Pertanian pada pemerintahan Presiden Amerika Serikat Grover Cleveland meminta pemerintah menetapkan hari libur khusus untuk menanam pohon. Lahirlah Arbor Day (Hari Pohon) pada 22 April–bertepatan dengan hari lahir Morton. Belum ditemukan informasi pergeseran tanggal Hari Pohon ke tanggal 21 November.
Morton berhasil mengubah daerah peternakan Nebraska City menjadi kawasan hutan dan pertanian. Dia pun meminta pemerintah membentuk biro khusus untuk mencatat informasi tentang anggrek dan hutan. Menurut dia, "Biografi dari semua pohon yang ditanam di negara bagian akan membawa pada temuan fakta-fakta berharga yang memberikan pelayanan luar biasa pada kemanusiaan."
Dia benar. Jika kita mau sejenak berhenti dan menyentuh pohon mungkin kita bisa mengingat jasa-jasanya, yang selama ini hanya kita pandang sebagai sekedar fungsi. Pohon besar jelas bisa berfungsi sebagai peneduh.
Pohon adalah rumah bagi beragam hewan dan tumbuhan lain besar dan kecil. Pohon mampu meredam dan menyerap polutan udara dan gas karbon dioksida, di sisi lain adalah penghasil oksigen yang kita butuhkan untuk bernapas, penjaga siklus air, menyuburkan tanah, menjadi salah satu faktor pembentuk iklim mikro, penghasil bahan untuk obat, pangan, dan papan bagi manusia.
Profesor dokter hewan, Maathai, dengan gerakan sabuk hijaunya telah mengangkat kehidupan perempuan di Kenya dan di bagian lain Afrika yang terpuruk menjadi mandiri dan sejahtera.
Pada awal pemerintahan Orde Baru, pohon lantas menjadi pusat sorotan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat (ekonomi). Manfaat pohon dalam tataran terendah untuk pemanfaatan kayunya menjadi komoditas baru. Hutan, sebagai rumah beragam pohon, menjadi sumber daya alam yang harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Undang-Undang No 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan menjadi titik awal eksploitasi hutan secara besar-besaran dan intensif. Pengusahaan sumber daya alam hutan secara intensif ini dikatakan merupakan pelaksanaan Amanat Penderitaan Rakyat yang tak boleh ditunda-tunda lagi demi pembangunan ekonomi nasional untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat (REDD-Antitesis Reboisasi, Muhammad Ansor, dan kawan-kawan, 2010).
Setelah itu, eksploitasi hutan menjadi tak terkendali dan luasan hutan pun makin tergerus. Kondisi ini berjalan semakin berkembangnya perdagangan komoditas berbasis hasil hutan, mulai dari produk kayu, berbagai produk kebutuhan sehari-hari mulai dari minyak goreng hingga produk kosmetik yang membutuhkan minyak kelapa sawit, produk kertas, dan bahan pakaian.
Eksploitasi hutan diawali dengan penebangan kayu yang didapatkan dari izin hak pengusahaan hutan (HPH). Ketika hutan telah kehilangan kayu aslinya, muncul fasilitas izin hutan tanaman industri (HTI), dan disusul dengan perizinan lain untuk usaha pertambangan dan perkebunan besar, terutama kelapa sawit yang pertumbuhannya luar biasa.
Seiring dengan eksploitasi tersebut muncul beragam dampak merugikan terhadap ekologi dan masyarakat yang hidup di dalam dan di sekitar hutan. Keanekaragaman hayati menghilang dengan cepat, konflik lahan bermunculan, daerah-daerah hilir menjadi rentan terhadap bencana dan kualitas lingkungan hidup merosot.
Masyarakat adat terusir dari rumah mereka yang telah mereka diami sejak nenek moyang mereka. Masyarakat yang hidup di dalam dan di sekitar hutan kehilangan sumber pangan mereka akibat hilangnya lahan berladang dan hewan penghuni hutan sebagai sumber pangan mereka.
Kerap terdengar kalimat dari warga masyarakat adat di mana-mana. "Dulu kami tidak perlu uang, tetapi kebutuhan kami terpenuhi dari hasil hutan tempat kami tinggal."
Lubang yang sama
Kerusakan tersebut kemudian dijawab dengan kebijakan penanaman pohon untuk penghutanan kembali (reboisasi). Pemerintah Orde Baru tahun 1969 memulai kebijakan melalui Inpres Penghijauan dan Reboisasi. Kebijakan penghutanan kemudian diperluas menjadi penanaman kembali pada hutan dan lahan.
Program-program itu terus berlanjut dengan berganti-ganti nama seperti Gerakan Nasional Reboisasi Hutan dan Lahan (GNRHL) yang lebih dikenal sebagai Gerhan, gerakan penanaman 1 miliar pohon, dan yang terakhir One Man One Tree (OMOT).
Semuanya dicanangkan melalui acara seremonial. Namun, setelah itu tidak jelas laporan pelaksanaannya. Yang pasti, triliunan rupiah telah digelontorkan untuk itu.
Penanaman pohon bukan hal sederhana. Tak sesederhana membongkar lubang di tanah, menyirami, dan langsung dibiarkan tumbuh sendiri. Pada kenyataannya, seperti diucapkan Maathai, menyirami dan merawatnya hingga bertahan hidup adalah sebuah proses yang membutuhkan ketelatenan. Butuh waktu dan perhatian penuh.
Penanaman pohon di suatu hamparan lahan atau kawasan hutan seperti masalah yang saat ini dihadapi Indonesia bukanlah sekadar urusan biologi tumbuhan. Menanam pohon adalah urusan rekonstruksi sosial ekonomi.
Ketika penghancuran hutan membawa kemiskinan, maka penanaman pohon seharusnya bisa membangun kembali jejaring ekonomi masyarakat dan setidaknya mengembalikan sebagian budaya masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar