Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 26 November 2018

Untuk KPK dan KPU//Aparatur Sipil Bukan Buruh//Bahasa ”Kompas” (Surat Pembaca Kompas)


Untuk KPK dan KPU

Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Pemilihan Umum masing-masing adalah badan publik (UU No 14/2008). Dalam Pasal 9 undang-undang itu, badan publik wajib menyediakan informasi dan diumumkan secara berkala paling singkat enam bulan sekali.

Demikian juga partai politik sebagai badan publik diwajibkan secara berkala mengumumkan kegiatan dan kinerja masing-masing, misalnya tentang orang-orang atau kader yang telah menjadi tersangka, terdakwa, dan terpidana atas putusan badan peradilan (Pasal 18).

Dalam konteks hak informasi publik, kepada setiap badan publik disediakan sarana, baik media elektronik maupun bukan elektronik. Masalahnya apakah situs KPK dan KPU serta semua partai politik telah melaksanakan kewajiban menyampaikan secara berkala lewat media tentang kader, kepala daerah, pejabat publik yang telah berstatus tersangka, terdakwa, terpidana?

Tampaknya KPU belum menyampaikan kader atau pemimpin partai politik yang terpidana, bekas koruptor yang menjadi caleg dalam tahun 2018 ini.
KPK mestinya mengumumkan secara berkala kader partai politik yang telah berstatus tersangka, terdakwa, terpidana. Bentuknya bisa rekapitulasi dan peringkat.

Setijono Widjojo Kulon Progo, DI Yogyakarta

Aparatur Sipil Bukan Buruh

"Pemerintah siapkan rumah untuk ASN — Bukan kampanye, kan?" (Pojok Kompas, 8/11/2018).

Rapat yang dibuka Presiden Joko Widodo itu dihadiri menko, menteri, sampai orang nomor 1 di Otoritas Jasa Keuangan, menargetkan rumah untuk 900.000 aparatur sipil negara (ASN) yang saat ini sudah memiliki Taspen, Jaminan Kecelakaan Kerja dan Kematian, sampai Tunjangan Pensiun yang dibiayai APBN tahun berjalan. Di situlah enaknya jadi ASN, majikannya pemerintah yang pegang dana APBN.

Untuk menjaga rasa keadilan sosial diimbau (dengan sangat) agar presiden mengembalikan hak 43 juta buruh untuk bisa membayar uang muka KPR, yaitu dengan melaksanakan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional Tahun 2004 (yang mengatur Jaminan Hari Tua/JHT).

Dalam UU itu, JHT baru boleh dicairkan sesudah 10 tahun, bertujuan agar sedikitnya total JHT saat bisa "ditarik" mencapai 9 kali upah sehingga dapat digunakan buruh untuk membayar uang muka KPR.

Coba hitung 30 juta buruh, jika masing-masing memiliki saldo JHT sedikitnya 6 kali upah, maka dengan asumsi seorang berupah Rp 2 juta sebulan, akan terdapat total saldo JHT Rp 360 triliun yang dapat memperkuat ekonomi nasional.

Odang Muchtar Anggota Tim Persiapan UU SJSN 2011

Bahasa "Kompas"

Saya agak menyayangkan penerbitan artikel opini di Kompas (2/11/2018), "Ihwal PT Berkelas Dunia". Lepas dari isinya yang berbobot, ada penggunaan bahasa Inggris di tengah-tengah serangkaian kalimat bahasa Indonesia.

Bukan saja ini terasa aneh, tetapi juga sangat kontradiktif dengan semangat Kompas yang beberapa hari sebelumnya memuat artikel yang mengimbau agar generasi muda merasa bangga berbahasa Indonesia dan tidak mencampurnya dengan bahasa asing.

Kedua kata Inggris itu, performed dan men-discourage, sebenarnya sudah bisa diungkapkan dengan bahasa Indonesia, yaitu "berkinerja optimal" dan "melemahkan semangat". Mengapa harus menyisipkan bahasa Inggris?

Perihal berbahasa memang perkara sepele bagi sebagian orang. Sampai detik ini, tidak ada seorang pun yang ditangkap polisi atau dipenjarakan karena mencampuradukkan bahasa asing dalam bahasa Indonesia. Namun, justru di situ diuji kemauan kita untuk menjunjung tinggi bahasa kita sendiri.

Patrisius Djiwandono Taman Sulfat, Malang, Jawa Timur

Catatan Redaksi

Maaf atas kekurangcermatan kami. Terima kasih atas masukan Saudara.

Kompas, 26 November 2018
#suratpembacakompas 

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger