Hingga Minggu (25/11/2018) sore, tim "Merah Putih" terseok di peringkat keempat klasemen Grup B Piala AFF Suzuki 2018, di atas juru kunci Timor Leste. Tim asuhan Bima Sakti baru mengemas tiga poin dari tiga pertandingan, hasil satu-satunya kemenangan adalah 3-1 atas Timor Leste.

Dua laga lainnya berakhir dengan kekalahan, yakni 0-1 dari Singapura dan 2-4 dari Thailand. Apa daya, Indonesia gagal lolos ke semifinal, dan harus mengubur mimpi untuk menjuarai Piala AFF.

Empat tim yang melaju ke semifinal adalah Thailand, Filipina, Malaysia, dan Vietnam. Sebagian besar semifinalis kebetulan juga kesebelasan yang pernah merebut trofi AFF, kejuaraan sepak bola antarnegara se-ASEAN.

Thailand lima kali juara atau terbanyak, yakni pada perhelatan 1996, 2000, 2002, 2014, dan 2016. Malaysia dan Vietnam sama-sama sekali juara. "Harimau Malaya", sebutan tim Malaysia, menjadi kampiun pada 2010. Tim "Naga Emas" Vietnam pada 2008. Filipina belum pernah menang. Singapura pernah empat kali juara (1998, 2004-05, 2007, dan 2012).

Bagaimana dengan Indonesia? Prestasi terbaik tim "Merah Putih" hanya sebagai runner up atau pemenang kedua Piala AFF, yakni lima kali, pada 2000, 2002, 2004-05, 2010, dan 2016. Di tingkat Asia Tenggara, prestasi terbaik Indonesia adalah meraih medali emas SEA Games Filipina 1991, atau 27 tahun silam. Ada gelar juara pada 2013, yakni juara Piala AFF U-19, saat kejuaraan itu dihelat di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Namun, gelar paling prestisius tetap gelar di level senior.

Pertanyaan yang kembali mencuat adalah mengapa kita harus menunggu sekian lama untuk menjadi juara di Asia Tenggara?

Pembinaan berkelanjutan menjadi solusi yang utama terhadap pertanyaan ini. Kompetisi berjenjang, mulai dari U-10, U-12, U-14, yang berlanjut hingga U-23, yang diharapkan menjadi kunci bagi lahirnya kompetisi senior bermutu, wajib segera diwujudkan. PSSI sebagai federasi, jika menemui kendala dalam menggelar kompetisi berjenjang, bisa menjadi penasihat bagi operator liga usia muda, yang banyak diprakarsai pihak swasta.

Namun, PSSI atau lembaga yang dibentuknya, sebut saja PT Liga Indonesia, sebaiknya tetap menjadi operator liga senior. Hanya sejumlah catatan kritis yang mewarnai Liga Indonesia, kini bernama Liga 1, harus segera dibenahi.

Sejumlah catatan itu, di antaranya, pembersihan liga dari faktor-faktor di luar lapangan yang kerap menentukan hasil pertandingan, misalnya pengaturan skor, lalu pembenahan perwasitan, pembenahan profesionalisme klub, dan evaluasi terhadap komunitas suporter yang kerap menimbulkan masalah.

Bagi PSSI, yang juga penting adalah kesediaan introspeksi diri dan menerima masukan dari berbagai pihak demi perbaikan ke depan. Tentu PSSI tidak harus bertanggung jawab sendiri atas masa depan sepak bola nasional. Banyak pihak bisa dilibatkan.

Cukup sudah penantian panjang publik pencinta sepak bola Indonesia, atas berakhirnya kemarau prestasi tim nasional senior, sejak tahun 1991.

Kompas, 26 November 2018

#tajukrencanakompas 

#kompascetak 

#AFF