Data emisi global 2014 (WRI, 2018) menempatkan Indonesia pada posisi emiter karbon terbesar kelima dengan 2.470 MtCO2e (megaton setara CO2).

Dalam komitmen global untuk mengurangi emisi karbon, Indonesia menargetkan mengurangi emisi dari perkiraan 2.869 MtCO2e menjadi 2.037 MtCO2e pada 2030. Caranya melalui berbagai upaya pengelolaan emisi.

Komitmen itu tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC) yang diterima Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) tahun 2015, dan dokumen ini menjadi bagian dari skema Perjanjian Paris.

Untuk memenuhi komitmen tersebut, Indonesia memperkuat dimensi pembangunan rendah karbon melalui penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis atas Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2020-2024, menggunakan intensitas emisi sebagai salah satu parameter perencanaan.

Intensitas emisi menggambarkan besaran emisi yang dihasilkan (ton setara CO2 atau tCO2e) untuk mencapai peningkatan produk domestik bruto (PDB). Semakin kecil angka intensitas, semakin baik kualitas pembangunan rendah karbon.

Analisis atas data emisi gas rumah kaca dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan PDB dari Badan Pusat Statistik tahun 2014 menunjukkan bahwa Indonesia mengeluarkan emisi 174,53 tCO2e untuk setiap kenaikan PDB senilai Rp 1 miliar.

Bandingkan dengan India dan China yang membutuhkan emisi jauh lebih kecil untuk setiap kenaikan PDB dengan jumlah sama, yaitu 106 tCO2e dan 73 tCO2e.

Hasilnya, total PDB Indonesia pada 2014 adalah 890,8 miliar dollar AS, jauh lebih kecil dari India dan China dengan PDB masing-masing 2,04 triliun dollar AS dan 10,48 triliun dollar AS.

Sebagai contoh, intensitas emisi Bengkulu dengan ekonomi berbasis perkebunan dan pertanian adalah 2.042,49 tCO2e dengan PDB Rp 24,6 juta.

Sementara DKI Jakarta yang bertumpu pada ekonomi jasa memiliki intensitas emisi 37,60 tCO2e dengan PDB Rp 174,7 juta. Tampaklah bahwa karakter perekonomian provinsi memengaruhi besaran emisi yang dihasilkan.

Dengan demikian, strategi dan program pembangunan nasional dan daerah harus dirancang agar pengurangan emisi berlangsung efektif dengan pertumbuhan ekonomi optimum. Inilah esensi pembangunan rendah karbon.

Rencana pengurangan

Pengurangan emisi secara efektif ditekankan dalam laporan Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) yang terbit 8 Oktober lalu. Hal ini sejalan dengan amanat Perjanjian Paris yang meminta negara-negara, termasuk Indonesia, untuk membuat rencana pengurangan emisi yang lebih ambisius pada 2020.

Laporan IPCC menggarisbawahi sulitnya menahan kenaikan suhu Bumi di bawah 1,5 derajat celsius. Namun, kapasitas teknologi, pemahaman sains, dan kemampuan pembiayaan secara global telah memadai untuk mengatasi perubahan iklim.

Yang dibutuhkan adalah kemauan politik dan kepemimpinan tiap-tiap negara. Dengan situasi saat ini, kita hanya punya 12 tahun menuju terlewatinya ambang 1,5 derajat celsius.

Apa yang dapat dilakukan Indonesia untuk secara efektif mengurangi emisinya dalam rentang waktu pendek tersebut?

Pertama, menyusun rencana pembangunan jangka menengah yang mengarusutamakan pembangunan rendah karbon secara lintas sektoral dan lintas tingkat kepemerintahan.

Sebagai contoh, penggunaan energi terbarukan sudah pasti membutuhkan kolaborasi Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, Kementerian BUMN, KLHK, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Orkestrasi kerja kolaborasi tersebut untuk efisiensi belanja pembangunan melalui perencanaan dan penganggaran yang integratif.

Peran Bappenas, Kementerian Keuangan (penganggaran), dan Kementerian Dalam Negeri (pelaksanaan di daerah) menjadi kunci untuk memastikan kerja kolaborasi ini efektif dan efisien.

Presiden perlu menjadi penanggung jawab kolaborasi mengingat agenda perubahan iklim dan pengurangan emisi akan memastikan keberhasilan program yang dicanangkan pemerintah.

Kedua, NDC Indonesia menyebutkan energi sebagai sumber emisi terbesar mulai 2026. Maka, transisi dari energi berbasis fosil menuju energi terbarukan adalah mutlak.

Laporan IPCC menyebutkan bahwa emisi dari kegiatan manusia harus ditekan hingga 45 persen pada 2030 dan 0 persen pada 2050. Artinya, dekarbonisasi sektor energi harus dilakukan signifikan. Energi terbarukan harus menjadi pasokan listrik hingga 70-80 persen pada 2050.

Tahun ini, Indonesia telah membukukan bauran energi terbarukan 12,5 persen dari target 23 persen pada 2025. Ini adalah target pengurangan emisi yang perlu dan bisa ditingkatkan secara lebih ambisius.

Misalnya, mendorong permintaan listrik tenaga surya hingga 1 GW melalui regulasi listrik tenaga surya atap untuk rumah tangga dan industri. Hal ini akan mengakselerasi transisi menuju energi terbarukan.

Ketiga, sejalan dengan perluasan energi terbarukan, pengurangan bertahap penggunaan batubara perlu dilaksanakan secara sistematis dan terencana.

Energi terbarukan

Indonesia perlu berinvestasi besar pada energi terbarukan seperti tenaga angin dan surya yang semakin murah. Kepemimpinan pemerintah untuk menghentikan investasi pembangkit listrik berbahan bakar batubara menjadi kunci.

Keempat, mulai menyerap emisi selain mencegah pengeluaran emisi. Restorasi hutan dan lahan termasuk lahan gambut adalah cara menyerap emisi secara alami sekaligus memupuk dan mempertahankan cadangan air, keanekaan hayati, dan jasa lingkungan lainnya.

Restorasi juga bermanfaat ekonomi. Penelitian WRI bertemakan "New Restoration Economy" (2018) dan inisiatif Bonn Challenge yang berafiliasi pada PBB (2011) menunjukkan bahwa setiap 1 dollar AS yang dikeluarkan untuk restorasi lahan kritis akan menghasilkan manfaat ekonomi hingga 30 dollar AS dan Indonesia memiliki lebih dari 24 juta hektar lahan kritis.

Indonesia membutuhkan kepemimpinan visioner dan memihak masa depan berkelanjutan agar mampu dan konsisten mengurangi emisi sekaligus menjaga pertumbuhan ekonomi yang baik.