Dalam forum pertemuan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional, Oktober 2018 di Bali, Presiden Joko Widodo menganalogikan kondisi ekonomi global saat ini seperti narasi serial  Game of Thrones (GoT). Muncul istilah "Winter is Coming"  yang bermakna amat dalam.

Sebelumnya Presiden Jokowi pernah mengilustrasikan ekonomi global seperti cerita film Avengers: Infinity Wars (Avengers) dalam forum ekonomi dunia ASEAN di Vietnam pada September lalu.

Mengetengahkan narasi serial film dalam forum tinggi dunia merupakan upaya Jokowi untuk mengingatkan potensi petaka ekonomi jika negara-negara dunia terus terperangkap dalam paradigma egosentrisme dan proteksionisme tanpa memperhatikan kepentingan bersama.

Baik GoT maupun Avengers memiliki benang merah sama. Film Avengers menceritakan sosok Thanos, yang khawatir sumber daya alam tidak akan cukup menghidupi semua penghuni galaksi sehingga setengahnya harus dikorbankan. Di sisi lain, para avengers ingin mencari solusi dengan duduk bersama.

Selanjutnya, serial film GoT diangkat dari novel A Song of Ice and Fire karya George Raymond Martin, bercerita tentang perebutan kekuasaan dan takhta dalam benua Westeros. Didorong nafsu berkuasa, muncullah berbagai intrik politik dan mufakat jahat untuk menguasai The Iron Throne, takhta kerajaan.

Padahal, ada ancaman lebih masif, yakni beyond the wall. Ancaman musim salju berkepanjangan itu dipimpin White Walker dan Night King, dengan pasukan mati bernama Wights. Kedua penguasa kegelapan tersebut dapat mengubah manusia menjadi Wights.

Refleksi 2018

Analogi dramatis yang disampaikan Jokowi sungguh relevan untuk merefleksikan ekonomi 2018. Sepanjang tahun ini, kondisi perekonomian global gaduh (mirip kondisi perpolitikan Tanah Air menjelang Pemilu 2019).

Pemantiknya adalah perang dagang yang melahirkan proteksionisme dan egosentrisme antar-negara. Padahal, ada ancaman bahaya nyata di depan mata seperti kelaparan, ketimpangan antar-negara, dan pemanasan global yang seharusnya membuat dunia bersatu padu mencari jalan keluar bersama.

Pemicu utama perang dagang dan proteksionisme adalah kebijakan American's First Presiden AS Donald Trump. Ia lebih mengutamakan kepentingan AS seiring defisit masif neraca perdagangan AS dengan China yang tercatat minus 375,2 miliar dollar AS per 2017, sebelumnya minus 347 miliar dollar AS dan minus 367,3 miliar dollar AS tahun 2016 dan 2015.

Tahun 2017, nilai ekspor AS ke China 130,4 miliar dollar AS, sangat kecil dibandingkan nilai impor 505,6 miliar dollar AS. Maka, Trump menerapkan tarif impor tinggi, mulai dari tarif impor baja 25 persen dan aluminium 10 persen, yang memicu pembalasan/retaliasi dari China.

Kekalutan ekonomi dan politik global berimplikasi serius pada negara berkembang seperti Indonesia. Pertumbuhan ekonomi suatu negara, selain bergantung pada aspek manajerial dan birokrasi pemerintah, dipengaruhi kondisi ekonomi global.

Percaturan ekonomi global memengaruhi neraca perdagangan melalui besaran nilai ekspor dan impor, neraca transaksi berjalan, nilai tukar mata uang, hingga suku bunga acuan. Kekeliruan negara adidaya melalui perang tarif berdampak buruk tidak hanya bagi negara yang bersengketa, tetapi juga bagi negara-negara lain.

Hampir mustahil suatu negara tidak berhubungan dagang dengan negara lain, apalagi di era globalisasi seperti sekarang. Tatanan ekonomi dan bisnis global sudah semakin kompleks, saling terhubung, dan membutuhkan satu sama lain.

Hal ini sejalan dengan teori keunggulan komparatif David Ricardo dalam bukunya, Principles of Political Economy and Taxation (1817). Ia menjelaskan bahwa perdagangan internasional terjadi apabila ada keunggulan komparatif antar-negara.

Keunggulan komparatif akan tercapai apabila suatu negara mampu memproduksi barang dan jasa lebih banyak dengan biaya lebih murah dibandingkan negara lain.

Sebagai ilustrasi, Jepang memiliki keunggulan komparatif produk elektronik, sementara Indonesia memiliki keunggulan komparatif atas Jepang dalam produk tekstil.

Bukannya Jepang tidak mampu memproduksi tekstil atau sebaliknya Indonesia tidak bisa membuat televisi, tetapi akan jauh lebih efisien jika kedua negara fokus pada keunggulan masing-masing dan berhubungan dagang.

Awan kelabu ekonomi global diperkirakan masih menggelayut di Nusantara. Kinerja pemerintah yang berkorelasi dengan perdagangan internasional turun, seperti neraca perdagangan Indonesia (NPI), neraca transaksi berjalan, nilai kurs, dan suku bunga acuan.

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), neraca transaksi berjalan defisit 8,8 miliar dollar AS atau 3,37 persen PDB pada triwulan III-2018. Defisit transaksi berjalan secara triwulanan sudah defisit sejak triwulan IV-2011.

Secara kumulatif tahun 2018, defisit mencapai 22,53 miliar dollar AS, melampaui defisit 2017 dan 2016 sebesar 17,33 miliar dollar AS dan 17 miliar dollar AS.

Penyebab utamanya adalah NPI secara kumulatif defisit 5,51 miliar dollar AS periode Januari-Oktober 2018. Meski nilai ekspor tumbuh 8,84 persen menjadi 150,88 miliar dollar AS, nilai impor tumbuh 23,37 persen menjadi 156,39 miliar dollar AS. Bandingkan dengan surplus NPI 11,86 miliar dollar AS pada periode sama tahun lalu.

Faktor utama pemicu defisit NPI adalah memburuknya kinerja neraca perdagangan migas yang defisit 10,74 miliar dollar AS periode 10 bulan pertama tahun 2018, dibandingkan defisit 6,6 miliar dollar AS pada periode sama tahun 2017. Sepanjang Januari-Oktober 2018, kinerja NPI mencatat surplus hanya pada Maret, Juni, dan September. NPI 2017 hanya defisit pada Juli dan Desember.

Berdampak ke rupiah

Defisit NPI 2018 berdampak pada pelemahan kurs rupiah terhadap dollar AS sekitar 12,4 persen dari level 13.610 per dollar AS pada awal Januari 2018 ke level 15.303 pada akhir Oktober 2018. Depresiasi nilai tukar rupiah ini memaksa BI menaikkan suku bunga acuan (BI Rate) per 16/11/2018 menjadi 6 persen.

Sepanjang 2018, BI Rate sudah naik 175 basis poin (bps) dibandingkan dengan penurunan 50 bps sepanjang tahun 2017 (dari 4,75 persen ke 4,25 persen).

Kebijakan menaikkan BI Rate merupakan langkah antisipatif dan strategi dalam merespons rencana kenaikan The Fed Rate serta mempertimbangkan ketatnya kondisi likuiditas global akibat perang dagang dan naiknya suku bunga global sehingga berimplikasi pelarian dana ke luar negeri.

Meskipun telah berupaya memulihkan neraca perdagangan melalui perang dagang, AS terkena imbas negatif dari kebijakannya sendiri, terutama pada Bank Sentral AS (The Fed). Per 31/10/2018, neraca The Fed secara kumulatif menurun 311 miliar dollar AS dibandingkan posisi pada awal 2018. Laju penurunan dari sisi aktiva neraca rata-rata 30 miliar dollar AS per bulan, lebih cepat sejak Maret 2018.

Penurunan neraca diperkirakan mencapai level 50 miliar dollar AS per bulan pada tahun 2019. Suku bunga LIBOR USD 3 bulan meningkat menjadi 2,56 persen atau 16 bps lebih tinggi dari akhir September 2018.

Tingkat suku bunga akan meningkat secara gradual agar penurunan aktiva The Fed tidak semakin dalam. Risiko kenaikan The Fed Rate dan perang dagang sempat memangkas 9 persen dari indeks saham rata-rata industri pada Indeks AS Dow Jones.

Komitmen pemerintah untuk mendorong liberalisasi perdagangan dan investasi dengan mengembangkan ekonomi inklusif serta berupaya menjembatani perbedaan (gap) antara negara adidaya AS dan China seperti pada Forum APEC 2018 (Kompas, 19/11/2018) patut kita apresiasi.

Namun, Indonesia wajib berbenah agar tidak semakin tertinggal dari negara lain, terutama dalam aspek pembangunan sumber daya manusia (SDM) dan ekspor.

Pembangunan aneka infrastruktur, seperti jalan, bandara, pelabuhan, waduk, dan jembatan, memang esensial, tetapi akan percuma jika negara tidak memiliki SDM tangguh.

Kita tentu berharap Indonesia melahirkan generasi kritis dan bukan generasi krisis, dalam arti krisis kepercayaan diri, daya kemampuan, dan sikap kepedulian untuk bersaing di era Industri 4.0.

Indonesia mutlak mengoptimalkan kesempatan dalam fase bonus demografi sampai 2030. Ada pula tantangan berupa hilangnya 52,6 juta lapangan kerja dalam 5 tahun mendatang karena digantikan otomatisasi merujuk pada studi McKinsey (2016). Pemerintah dan swasta harus terus mendorong daya saing melalui edukasi optimal agar manusia Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Meningkatkan ekspor juga menjadi kritikal aspek yang harus terus dibenahi agar mendorong surplus NPI. Selain itu, kurangi impor barang mewah dan bahan baku yang ada substitusinya di dalam negeri, serta memperjelas dan mempertegas regulasi penempatan devisa hasil ekspor.

Berdasarkan data BI, devisa hasil ekspor periode Januari-Juni 2018 adalah 69,88 miliar dollar AS, yang masuk ke dalam negeri 64,74 miliar dollar AS (92,6 persen). Adapun yang dikonversi ke rupiah hanya 8,62 miliar dollar AS atau 13,3 persen saja.

Mekanisme pemberian insentif dan sanksi harus dibuat komprehensif dalam koridor transparansi dan akuntabilitas agar devisa hasil ekspor tidak terus mengalir ke luar negeri.

Keadaan bisa saja kurang baik, tetapi sikap optimistis dan bekerja keras diperlukan menghadapi era baru industri digitalisasi. Mempersiapkan generasi unggul, membangun infrastruktur, dan reformasi birokratisasi adalah wujud nyata memperkuat ketahanan ekonomi nasional menghadapi badai perang dagang.