Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 22 November 2018

Lagi-lagi Korupsi Lagi//Jalan Jatibaru untuk Siapa? (Surat Pembaca Kompas)


Lagi-lagi Korupsi Lagi

Upaya pemberantasan korupsi harus berlangsung ajek, tidak boleh terhenti. Harian Kompas adalah salah satu yang menyadari pentingnya hal ini.

Demikian pula jika kita membaca penelitian Transparancy International, bahwa meskipun secara formal sistem peradilan di Indonesia independen, praktiknya banyak korupsi dan dipengaruhi oleh kekuatan politik (BTI 2016, ICS 2016).

Tajuk Rencana dan berita utama Kompas edisi 26 Oktober 2018 menyimpulkan Indonesia telah memasuki darurat korupsi. Melawan korupsi perlu keterlibatan semua unsur masyarakat, termasuk via pesan moral. Viralnya pesan moral Imam Prasodjo dalam menyikapi putusan praperadilan SN, misalnya, menjadi contoh.

Di sisi lain, Tipikor memperoleh penilaian baik dalam independensi dan pemberian hukuman kepada pejabat pemerintah yang terbukti korupsi. Kasus Akil Mochtar (2013) dan Patrialis Akbar adalah contoh kinerja Tipikor.

Namun, KPK dan Tipikor yang notabene paling gigih dan dapat dukungan moral masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi justru diganggu oleh mereka yang secara formal mewakili kepentingan rakyat.

Dalam situasi seperti ini, ketegasan eksekutif sangat dibutuhkan dan mendesak karena gagasan-gagasan besar yang prorakyat dapat tergerus oleh luasnya perilaku koruptif. KPK tentu ada kekurangan di sana sini, tetapi sebagai institusi dengan kepercayaan tinggi dari masyarakat, harus didukung dan dilindungi.

Suatu artikel menarik mengenai korupsi di Nigeria terbit 2011. Disebutkan korupsi di Nigeria sudah jadi kanker sosial, membuat bangsa Nigeria kehilangan nurani dari lapisan paling tinggi sampai paling rendah. Maka, perjuangan melawan korupsi adalah perjuangan moral.

Karena itu, yang ditunggu rakyat sekarang adalah tindakan konkret: tangkap koruptor, periksa, adili, hukum! Contohlah China dan Korea Selatan dalam menerapkan hukuman. Ini sejalan dengan Tajuk Rencana Kompas yang mendorong Presiden Joko Widodo mengambil langkah radikal dan memimpin sendiri pemberantasan korupsi.

Hadisudjono Sastrosatomo
Jl Pariaman, Pasar Manggis, Setiabudi,
Jakarta Selatan

Jalan Jatibaru untuk Siapa?

Setelah penutupan Jalan Jatibaru, 22 Desember 2017, untuk keperluan pedagang kaki lima menuai protes, akhirnya Pemprov DKI pada 12 Agustus 2018 menutup Jalan Jatibaru untuk pembangunan JPM (jembatan penyeberangan multiguna). Tujuannya menampung pedagang kaki lima.

Namun, hingga memasuki bulan ke-11, Jalan Jatibaru belum juga dibuka, dari rencana buka 15 Oktober. Warga Jatibaru yang harus menanggung kesulitan karena permukiman mereka dikurung pagar. Warga yang memiliki kendaraan bermotor tidak bisa keluar masuk rumah sehingga akhirnya mengganggu kegiatan usaha.

Semula penutupan Jalan Jatibaru masih memungkinkan kendaraan bermotor dan mobil keluar masuk pada pukul 18.00-08.00. Namun, dengan pemagaran, otomatis selama 24 jam warga Jatibaru tidak dapat mengeluarkan kendaraannya.

Selain itu, akses trotoar pun akhirnya digunakan oleh motor yang lalu lalang karena tidak bisa keluar ke Jalan Jatibaru Raya. Hal ini sangat berbahaya untuk pejalan kaki. Belum lagi tiang-tiang JPM di sepanjang trotoar, tiang listrik, dan sampah yang sulit terangkut.

Sama halnya dengan penutupan Jalan Jatibaru untuk PKL Desember lalu, pembangunan JPM dan pemagaran kali ini juga tidak didiskusikan dan disosialisasikan kepada warga.

Bukankah kami selaku warga juga berhak menggunakan jalan itu? Bagaimana evakuasi warga di Jalan Jatibaru kalau sampai terjadi kondisi darurat? Kenapa kami yang dikorbankan?

Suparman

Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat

Kompas, 21 November 2018
#suratpembacakompas 

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger