Terkuaknya kasus kekerasan seksual yang dialami salah seorang mahasiswi UGM, yang dilakukan oleh sesama mahasiswa dalam program KKN, cukup menyentakkan dan membuat keguncangan di kalangan internal dan eksternal kampus.

Kasus terjadi pada 2017 dan pernah ditangani dengan membentuk tim investigasi yang telah menelurkan putusan dan rekomendasi. UGM juga membangun kebijakan antipelecehan seksual untuk mencegah terjadinya kasus-kasus sejenis dalam bentuk peraturan rektor.

Sayangnya, hasil tim investigasi cenderung tidak dilaksanakan. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan dari korban dan korban merasa hak-haknya tidak terpenuhi.

Kasus kekerasan seksual di kampus bukan fenomena baru. Kasus kekerasan seksual baik di kampus maupun di luar kampus sudah semestinya dianggap serius. Pada tahun 2017, Badan Pusat Statistik (BPS) memublikasikan, sekitar 28 juta perempuan Indonesia telah mengalami kekerasan dan sebagian besar adalah kekerasan seksual (Kompas, 31/10/2017). Dari data tersebut termasuk data kekerasan seksual yang terjadi di wilayah publik dan domestik, termasuk yang terjadi di institusi-institusi pendidikan.

Walaupun peristiwa kekerasan seksual cenderung tinggi, tidak serta-merta peristiwa kekerasan seksual dilaporkan oleh para korban. Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendata  pada tahun 2017 terdapat 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan kepada lembaga layanan korban dan penegak hukum.

Dari data tersebut, kekerasan seksual menempati urutan pertama (76 persen) dalam kekerasan di ranah publik dan menempati urutan kedua (31 persen) pada ranah privat (Komnas Perempuan, 2018). Dari kasus yang dilaporkan oleh para korban, hanya sekitar 5 persen dari kasus yang dilanjutkan ke proses pengadilan.

Selain itu, Forum Pengada Layanan untuk Perempuan Korban Kekerasan (FPL) mendata sebanyak 85 persen pelaku kekerasan seksual adalah orang terdekat, seperti orangtua, saudara, suami, pacar, tetangga, teman, dan guru. Sebanyak 100 persen perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual sudah direncanakan dan ditarget oleh para pelakunya. Dari data tersebut, ada 43 persen kekerasan seksual dilakukan dengan ancaman/intimidasi dan kekerasan dan 57 persen dengan menggunakan tipu muslihat (ICJR, 2017).

Faktor penghambat korban mengakses keadilan

Ada faktor-faktor yang berpengaruh mengapa terjadi kesenjangan antara jumlah peristiwa kekerasan dengan jumlah kasus yang dilaporkan dan kasus yang diproses secara hukum. Aturan hukum pidana yang terbatas, mekanisme penanganan korban yang lemah , dan cara pandang aparat penegak hukum yang cenderung abai, menganggap tidak penting dan menyalahkan korban (blaming the victim) merupakan faktor dominan yang menghambat para korban untuk mengakses keadilan.

Aturan-aturan hukum khususnya hukum pidana positif di Indonesia cenderung tidak merepresentasikan berbagai bentuk kekerasan seksual yang dialami perempuan korban. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur bentuk kekerasan seksual secara terbatas, yaitu perkosaan dan perbuatan cabul. Pasal 285 KUHP berbunyi, "Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun."

Para ahli hukum pada umumnya menafsirkan bahwa perkosaan dalam pasal ini terbatas terhadap dan mensyaratkan adanya sexual intercourse yang konvensional di mana masuknya alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan dan mengeluarkan mani. Batasan yang sempit dalam pasal pemerkosaan ini berdampak pada tidak dimasukkannya bentuk paksaan lainnya sebagai pemerkosaan, seperti halnya paksaan oral seks, anal seks, atau memasukkan sesuatu ke dalam vagina selain alat kelamin.

Bukan berarti kekerasan seksual lainnya tidak dapat dijerat hukum pidana. Kejahatan di atas tetap dapat dijerat dengan perbuatan cabul seperti diatur dalam Pasal 289 yang berbunyi, "Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan."

Pasal perbuatan cabul di atas bisa jadi satu solusi. Hanya saja, pasal perbuatan cabul lebih meletakkan penyerangan seksual sebagai penyerangan terhadap kehormatan kesusilaan ketimbang sebagai penyerangan terhadap integritas tubuh. Rasa susila yang dipersoalkan oleh pasal perbuatan cabul bukan penyerangan terhadap tubuh perempuan. Hukuman dalam pasal perbuatan cabul pun lebih rendah daripada hukuman terhadap pelaku pemerkosaan. Padahal, bagi korban, dampak perbuatan perkosaan dan perbuatan cabul relatif sama, sama-sama menimbulkan trauma yang mengubah kehidupannya.

Perkosaan dan KUHP

Baik pasal perkosaan maupun pasal perbuatan cabul di dalam KUHP diletakkan di dalam bab tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan. Maknanya, kejahatan ini diselimuti dengan nuansa moral dan moralitas, ketimbang sebagai nuansa kejahatan serius, kejahatan yang membahayakan diri dan tubuh perempuan. Peletakan perkosaan dan percabulan sebagai kejahatan kesusilaan menjadikan peristiwa kekerasan senantiasa dikaitkan dengan nilai-nilai kesopanan.

Dampak lanjutannya bukan hanya pelaku yang disasar, melainkan korban pun ditengok sejauh mana  korban berperilaku sopan  dan sesuai dengan nilai-nilai kesopanan. Wacana kasus yang dilaporkan menjadi lebih dipenuhi dengan sorotan dengan kontribusi dan partisipasi korban kepada peristiwa kekerasan ketimbang kekerasan yang dilakukan oleh pelaku dan dampaknya terhadap korban.

Dalam kondisi hukum yang tidak ideal, mekanisme perlindungan korban yang berjalan pun tidak berperspektif korban. Perspektif korban merupakan bangunan nilai-nilai yang meletakkan kepentingan korban yang utama, dan memosisikan korban sebagai subyek ketimbang obyek. Dalam sistem hukum pidana di Indonesia, korban lebih dilihat sebagai alat untuk mengumpulkan bukti perkara ketimbang subyek yang memiliki kepentingan langsung terhadap kasus yang berjalan.

Korban tidak dilibatkan dalam proses persidangan kecuali kesaksiannya saja. Kepentingan korban dianggap diwakili dan telah terwakili oleh kepentingan aparat penegak hukum yang memproses kasus. Dalam bangunan sistem hukum yang demikian kepentingan dan kebutuhan korban terhadap akses keadilan menjadi terepresi dengan kepentingan aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum meletakkan kasus pidana sebagai kasus yang menyangkut kepentingan publik.

Publik dalam hal ini adalah masyarakat luas, bukan korban. Korban tidak dilibatkan dalam proses penentuan mekanisme yang tepat termasuk hukuman apa yang dirasa adil bagi korban. Korban pun diabaikan dalam proses yang berjalan, tidak mendapat informasi tentang kasusnya sudah sampai di mana dan sudah melalui proses apa. Korban seolah-olah harus menerima proses yang diputuskan.

Korban yang merasakan dampak langsung dari perbuatan pidana, tetapi aspirasinya dianggap tidak penting. Desakan korban untuk mengetahui proses hukum yang sedang berjalan dan tuntutan memenuhi kepentingannya seolah-olah dianggap sebagai gangguan oleh aparat penegak hukum. Alhasil, korban merasa bahwa proses yang dilaluinya tidak membawa keadilan untuknya.

Selain itu, sikap aparat penegak hukum atau pelaksana kebijakan yang mengabaikan dan tak menganggap serius kasus kekerasan seksual dan cenderung meletakkan kesalahan pada korban. Korban dipersalahkan karena dianggap ikut berkontribusi terhadap terjadinya peristiwa kekerasan seksual. Korban dipertanyakan mengapa ia berada di tempat kejadian dan pakaian apa yang digunakan.

Niatannya untuk melaporkan pun dipertanyakan apakah memiliki kepentingan-kepentingan tertentu. Korban bahkan diarahkan untuk memiliki rasa kasihan kepada pelaku dan membebankan kepada korban masa depan pelaku jika korban melanjutkan kasus. Korban pun masih ditanya dan diarahkan untuk menyediakan bukti-bukti bahwa benar kasus itu terjadi.

Sikap aparat penegak hukum atau pelaksana kebijakan yang sedemikian rupa meletakkan dan mendorong korban untuk menghentikan kasusnya untuk kepentingan pelaku atau bahkan nama baik masyarakat atau kelompok di mana korban dan pelaku berada.

Bias jender dan nilai patriarki

Pandangan aparat penegak hukum atau pelaksana kebijakan dipengaruhi oleh nilai-nilai yang patriarki yang lebih mengutamakan kepentingan laki-laki. Nilai-nilai ini sangat bias jender, memberikan dan meletakkan pelabelan-pelabelan tertentu yang negatif kepada perempuan ketimbang kepada laki-laki. Dalam konteks kekerasan seksual, misalnya, perempuan adalah pihak yang menimbulkan nafsu sehingga perempuan dibebani untuk menjaga perbuatannya sehingga tidak menimbulkan nafsu seksual laki-laki.

Jika laki-laki bergairah dan pada akhirnya melampiaskan nafsunya, maka dalam pandangan patriarki ini adalah kesalahan perempuan.

Bangunan budaya yang menyalahkan korban sesungguhnya dikuatkan dengan teori-teori viktimologi positivisme yang muncul pada era tahun 1960-an dan 1970-an. Teori ini meletakkan adanya keterhubungan perbuatan pelaku dengan perbuatan korban di mana korban dianggap punya kontribusi terhadap perbuatan pelaku.

Perlindungan korban

Teori viktimologi positivisme cukup lama dianut di Indonesia dan diajarkan kepada berbagai aparat penegak hukum. Teori viktimologi radikal dan kritis yang kemudian berkembang pada era 2000-an sesudahnya sesungguhnya mengkritisi pendekatan yang menyalahkan korban (Walkate, 2001; Eddyono, 2017). Teori viktimologi radikal meletakkan perbuatan pelaku ditekankan sebagai perbuatan yang disebabkan oleh diri pelaku sendiri di mana pelaku memiliki kontrol atas dirinya untuk berbuat dan tidak berbuat.

Pendekatan radikal menekankan pentingnya intervensi negara untuk melindungi korban. Pendekatan viktimologi kritis menekankan bahwa tidak ada relevansinya alasan-alasan yang menyebabkan korban menjadi korban dan tanggung jawab negara agar korban tidak mengalami reviktimisasi. Selain itu, pendekatan kritis berfokus pada korban memiliki hak baik hak atas pemulihan, penanganan, ganti rugi, dan kompensasi atas yang dialaminya.

Sayangnya, pendekatan kritis yang merupakan koreksi terhadap pendekatan viktimologi positivisme belum begitu populer di Indonesia, padahal pendekatan ini telah diintegrasikan ke dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban (tahun 2006 dan revisi 2014). Mahkamah Agung telah pula mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Penanganan Perkara Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum.

Peraturan-peraturan ini jelas telah memasukkan perspektif penghargaan terhadap korban. Namun, tampaknya pengetahuan dan pemahaman perspektif korban belum sampai ke berbagai lapis penegak hukum dan pelaksana kebijakan lainnya, termasuk di kalangan kampus.

Penanganan terhadap korban kekerasan seksual di UGM
merepresentasikan berbagai persoalan yang dihadapi oleh korban. UGM sesungguhnya punya kapasitas yang besar untuk menangani lebih baik kasus
kekerasan seksual. Sebagai seorang yang berada di dalam institusi UGM sesungguhnya saya berharap dan yakin UGM bisa menjadi pionir ke depan untuk pencegahan dan penanganan korban kekerasan seksual yang berperspektif korban dan keadilan.